Pembicaraan mengenai film klasik di Indonesia tidak akan jauh dari permasalahan mengenai akses. Ternyata, permasalahan serupa juga dihadapi negara tetangga. Tak ingin terus dalam situasi itu, Toh Hun Ping, video artist asal Singapura, berinisiatif menghimpun dan mendistribusikan film klasik Malaysia dan Singapura. Melalui kanal YouTube miliknya, Toh menampilkan ratusan film klasik dengan berbagai genre secara gratis. Langkah Toh disambut baik para penikmat film melayu karena jika diakumulasi, film-film yang diunggahnya telah ditonton sebanyak jutaan kali dan terus bertambah.
“Saya terkejut dengan betapa briliannya mereka. Cara mereka bercerita, berakting, mise-en-scene, penyuntingan, lagu-lagu, dan lain-lain. Sama bagusnya dengan yang mungkin Anda temukan di film klasik dunia lainnya. Dan semuanya diproduksi di Singapura, 60 tahun yang lalu!” ujar Toh dalam The Culture Review Mag.
Masih dalam sumber yang sama, Daniyal Kadir, seorang kritikus film asal Malaysia menyebut bahwa permasalahan serupa juga dihadapi industri film Malaysia, yaitu kurangnya akses terhadap film klasik. Apa yang dilakukan oleh Toh menjadi catatan yang impresif karena turut menyelamatkan warisan sinematik Malaysia dan Singapura.
Masalah yang dihadapi Malaysia dan Singapura itu pun tak jauh berbeda dengan yang dihadapi Indonesia. Akses terhadap film klasik di negara ini masih belum meluas bagi masyarakat. Sementara itu, apabila melakukan penelusuran di YouTube, kita akan menemukan film-film klasik lokal kita diunggah oleh sejumlah channel anonim, alias bajakan.
Jatuh Bangun Pengarsipan Film Indonesia
Permasalahan lain yang masih mengakar hingga kini adalah upaya pengarsipan film klasik lokal yang minim – kalau tidak bisa dibilang buruk. Sinematek Indonesia yang merupakan lembaga arsip film Indonesia terbesar saat ini pun masih memprihatinkan. Banyak koleksi Sinematek Indonesia tidak terurus karena sulitnya perawatan, salah satunya akibat minimnya biaya operasional. Berbagai film klasik lokal yang menjadi aset sejarah bangsa ini pun satu per satu mulai rusak.
Baca juga: 5 Film Jerman Terpopuler di Perpustakaan Digital Goethe-Institut
Namun, beberapa tahun ini film klasik lokal mengalami perbaikan secara perlahan. Sejumlah pihak yang memiliki komitmen dan kecintaan yang besar pada film klasik Indonesia pun bergerak. Pada 2012 film Lewat Djam Malam (1954) berhasil direstorasi atas kerja sama Sinematek Indonesia dengan sejumlah pihak, termasuk World Cinema Foundation. Tren ini berlanjut dengan direstorasinya film-film klasik lain seperti Naga Bonar (1987) dan Tiga Dara (1956). Hasilnya, sebagian dari film-film tersebut kini bisa dinikmati melalui layanan OTT. Bahkan untuk film Lewat Djam Malam saat ini tersedia dalam format DVD dan diedarkan oleh Criterion, sebuah distributor film klasik bergengsi asal Amerika.
Wahana Nostalgia dan Pembelajaran
Saat industri film sempat berhenti dan banyak film baru yang tertunda akibat pandemi, penikmat film perlahan mulai bernostalgia dengan menonton film lawas. Hal ini menandakan bahwa film klasik masih memiliki tempat di hati masyarakat. Kebutuhan ini harusnya dapat dijawab dengan distribusi film klasik yang terbuka dan inklusif untuk seluruh lapisan masyarakat. Perlu ada langkah yang beriringan dari berbagai elemen di industri film Indonesia untuk mewujudkan cita-cita ini. Karena lebih dari sekadar wahana untuk bernostalgia, film-film klasik lokal ini pun mampu menjadi “jembatan” pengetahuan bagi generasi saat ini dan selanjutnya.