Jakarta – Konsep “personal is political” kerap digunakan oleh sineas dalam membuat suatu karya film berdasarkan pengalaman pribadi dengan sekaligus menyoroti isu tertentu. Baik ketimpangan sosial dan ekonomi, orientasi seksual, atau SARA. Konsep tersebut ternyata juga ditemukan dalam suatu unsur dari ekosistem perfilman yang luas yakni pemrograman film.
Bagi Krisna Bayu Aditama, programmer film pendek asal Universitas Dian Nuswantoro Semarang (UDINUS), film pendek bisa menjadi medium untuk menggambarkan kondisi ketimpangan sosial dan ekonomi masyarakat. Krisna menilai film pendek bisa menyajikan potret kondisi sosial yang saat ini terjadi dengan metode pemrograman yang terstruktur, relevan, dan otentik.
Namun, keresahan Krisna yang akhirnya dituangkan dalam suatu program pemutaran film pendek juga berangkat dari pengalaman pribadinya. Salah satunya telihat dari empat film yang disusun oleh Krisna dalam lokakarya program film pendek berjudul “Ciat-Ciat Bertahan Hidup”. Empat film pendek yang dikurasinya itu menyoroti sejumlah aspek sosial (dan personal) yang sama, yaitu pengalaman kelompok kelas pekerja yang marjinal di kota metropolitan.
Program film pendek tersebut ditayangkan pada salah satu lokakarya UMN Film & Animation Festival (UCIFEST) 13, yang berlangsung selama 11-14 Mei 2022. Pada lokakarya tersebut, Krisna menayangkan empat film yang dinilai memiliki relevansi terhadap apa yang saat ini terjadi di tengah masyarakat. Beberapa film juga merepresentasikan apa yang dialaminya di kehidupan nyata, lanjut Krisna.
Baca juga: Festival Film Mahasiswa UMN, UCIFEST 13 Angkat Tema ‘Metaverse’
Misalnya pada film Ngutil (2021) karya Faizal Kusuma, menceritakan kisah seorang mahasiswa yang tinggal seorang diri saat pandemi Covid-19 dan berusaha untuk menyambung hidup dengan membuka jasa servis komputer/laptop. Krisna mengaku film tersebut mirip dengan apa yang dialaminya saat pandemi yang membuat usahanya tertahan.
Selain itu, terdapat tiga film lainnya yang dikurasi Krisna, yaitu; Bloody Heaven karya Iqbal Farhan, menceritakan soal perempuan kelas pekerja pendatang yang dianggap sebagai orang asing di daerah tempat tinggalnya, Distraction from Heaven karya Mauliya Maila yang menceritakan laki-laki gay yang tinggal di kos milik seorang muslimah konservatif, dan Like Fish Living on Land karya Salas Anggobil yang menceritakan keluarga miskin tentang sumber penghidupannya bergantung hanya kepada mencari ikan di empang. Keempat film tersebut meski tidak mencerminkan kehidupan Krisna sebagai programmer, namun memiliki resonansi terhadap pengalaman pribadi Krisna sebagai seseorang yang tinggal secara mandiri dan berasal dari kelas pekerja.
“Ketika saya susun program dan beberapa kali membuat program untuk film pendek, saya melihat diri saya sendiri. Apa yang hendak saya bicarakan dan apa yang akan saya bicarakan. Ide, gagasan, atau apapun itu berawal dari kita sendiri,” tuturnya
Krisna justru berpesan bahwa fondasi dari merancang suatu program film perlu berangkat dari pengalaman maupun keresahan yang dialami secara pribadi, namun tetap relevan dengan apa yang dialami orang lain. Dia juga menyarankan untuk memperkaya referensi dengan memperbanyak mengobrol dengan orang lain, membaca literatur maupun berita, dan lain-lain. Hal tersebut agar cerminan pengalaman personal melalui rancangan film yang dikurasi tetap relevan dan tepat sasaran dengan target penonton yang diinginkan.
“Gimana caranya mengemas isu yang personal ini tapi tetap relevan dan dirasakan oleh semua orang. Tantangannya di situ” jelas pria yang aktif di program pemutaran film alternatif dan ruang diskusi Kineus ini.
Meski demikian, Krisna berpendapat terdapat perbedaan yang harus diperhatikan dalam merancang suatu program film pendek dan film panjang. Dia menilai film yang memiliki durasi lebih panjang cenderung memiliki gagasan yang lebih komprehensif, ketimbang film pendek.
“Tapi terkadang film pendek walaupun durasinya kurang panjang, mereka juga bisa punya gagasan yang besar. Bedanya hanya ada pada durasi” jelasnya.
Krisna lalu menjabarkan beberapa proses yang biasanya dilakukan saat menyusun suatu program film pendek seperti membuat tujuan dari pemutaran film, menetapkan target penonton, menentukan tema dan narasi besar dari program, merancang konsep serta gagasan yang sesuai dengan tema, dan menentukan apa dampak sosial yang ingin diciptakan melalui program dan film-film yang dikurasi.
Baca juga: Pekerja Film Serukan Pembatasan Waktu Kerja dan Perlindungan Hak Ketenagakerjaan
Kendati demikian, Krisna mengatakan bahwa bukan berarti merancang suatu program film harus berangkat dari atau sarat dengan suatu gagasan atau pesan tertentu. Menurutnya, hal terpenting yang perlu dikedepankan dalam merancang suatu program film yakni keunikan dan tetap relevan.
Menurutnya, sejumlah aspek utama dan krusial dalam merancang suatu program festival film yakni menemukan keterhubungan antara suatu film dan penonton atau antara film dan ruang putarnya. Spesifikasi dalam tema dan tujuan dinilai sebagai “ruh” suatu pemrograman festival film agar bisa tepat dengan target penonton. Krisna menilai masing-masing film dan program yang disusun memiliki target penonton yang spesifik. Untuk itu, seorang programmer disebut harus memiliki tujuan yang terstruktur, relevan, dan otentik.
“Seorang programmer harus melihat secara spesifik bagaimana ruang yang hendak disajikan untuk memutarkan film, dan secara spesifik penonton yang ingin disasar” Tutup Krisna.[]