Dari siaran pers
Dalam rangka memperingati 100 tahun Joseph Beuys yang jatuh pada tahun 2021 ini, Goethe-Institut Indonesien bersama para kolaborator antara lain Asep Topan, Erik Pauhrizi, Iwan Wijono, dan Tisna Sanjaya, akan menyelenggarakan serangkaian acara daring dan luring. Semangat dan gagasan Beuys akan kembali diangkat dan digali relevansinya dengan konteks Indonesia lewat ceramah, lokakarya, presentasi karya seni, serta pemutaran film dokumenter.
Praktik, karya, dan aktivisme Joseph Beuys (1921-1986) memantik banyak perdebatan di berbagai bidang, seperti humanisme, filsafat sosial, antropologi, serta berpengaruh besar pada wacana seni kontemporer internasional abad ke-20. Fokus utama Beuys adalah memperluas definisi dan batas-batas seni. Pernyataannya, “Semua orang adalah seniman (Jeder Mensch ist ein Künstler)” mengacu pada keyakinannya akan kreativitas manusia yang universal dan kekuatan seni untuk membawa perubahan revolusioner. Sebagai salah satu profesor di Akademi Seni Düsseldorf (Kunstakademie Düsseldorf), sosoknya sampai hari ini juga masih mengingatkan banyak orang pada perdebatan mengenai dinamika antara formalitas pendidikan seni dan hasil sistem pendidikan itu bagi masyarakat.
“Praksis Joseph Beuys, yang diperlihatkan dalam kombinasi antara teori, seni dan pengajaran, memiliki ekuivalen dalam citra diri berbagai kolektif seni kontemporer di Indonesia. Spiritualitasnya juga terkait erat dengan gugusan Nusantara. Bagaimana pun, istilah ‘social sculpture’, yang juga dipraktikkan di Indonesia, dapat ditelusuri kembali kepada Beuys,” ujar Dr. Ingo Schöningh, Kepala Program Budaya Goethe- Institut Indonesien.
Beberapa kegiatan 100 Tahun Joseph Beuys di antaranya adalah:
Pemutaran Film | 13 November-5 Desember 2021, via Goethe-on-Demand Goethe-Institut Indonesien akan memutar tiga film dokumenter secara virtual melalui platform Goethe-On-Demand. Film-film tersebut dapat ditonton secara cuma-cuma sampai 5 Desember 2021 dengan mendaftarkan diri melalui tautan berikut: 100tahunbeuys.goethe-on-demand.de.
Ketiga film dalam program ini meliputi: Joseph Beuys: An Interview (1980) karya sutradara Lyn Blumenthal dan Kate Horsfield; I Like America and America Likes Me (1981) karya sutradara Helmut Wietz; dan Beuys (2017) karya sutradara Andres Veiel
Joseph Beuys: An Interview (ditayangkan 13 November-5 Desember 2021): Sebuah wawancara bersejarah yang direkam pada tahun 1980 dan kemudian disunting ulang pada tahun 2003 dengan dukungan Lyn Blumenthal Memorial Fund. Dalam wawancara ini, Beuys mengungkapkan pengalaman pribadinya sebagai seorang anak yang tumbuh di Jerman di antara dua Perang Dunia.
I Like America and America Likes Me (ditayangkan 20-21 November 2021): Pada 23-25 Mei 1974 berlangsung performans “I Like America and America Likes Me” di Galeri René Block di New York. Setibanya di Bandara John F. Kennedy, Joseph Beuys langsung dibungkus kain felt dan dibawa ke galeri dengan ambulans. Pertunjukan dilangsungkan di sebuah ruangan yang ditutup. Seekor coyote (sejenis serigala) telah menunggu Beuys. Beuys dan si coyote menghabiskan waktu bersama selama beberapa hari dan malam. Mereka dapat diamati setiap saat melalui pagar pembatas yang diberi rantai.
Beuys (ditayangkan 13 November-5 Desember 2021): Rasanya tidak ada sosok kultural Jerman abad kedua puluh yang semasyhur atau sekontroversial Joseph Beuys (1921- 1986). Dalam kolasenya yang cerdas ini sutradara Andres Veiel merangkai tidak
terhitung banyaknya dokumen gambar dan suara, sebagian di antaranya belum pernah ditampilkan selama ini, untuk menyajikan gambaran seorang manusia dan seniman unik yang mendobrak batas-batas dengan kreativitasnya.
***
Diskusi Panel: Kisah Dua Patung | Selasa 16 November 2021, 14.00–16.00 WIB, via
YouTube Goethe-Institut Indonesien
Social Sculpture adalah sebuah teori yang terbangun dari praktik Joseph Beuys di tahun 1970-an. Teori ini berdasarkan pada gagasan bahwa segala hal adalah seni, di mana kreativitas bisa diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan dan semua orang memiliki potensi untuk menjadi seniman. Konsep ini menyatukan pandangan idealis Joseph Beuys tentang praktik artistiknya dan gagasan kehidupan masyarakat utopis. Ia memercayai bahwa hidup adalah sebuah social scultpure dan setiap orang berkontribusi terhadap pembentukannya. Social sculpture masih terus hidup dalam praktik berbagai seniman di seluruh dunia. Kegiatan diskusi ini akan menguak bagaimana teori ini terefleksikan pada karya-karya perupa Indonesia.
Dua seniman yang berbeda generasi, yaitu Arahmaiani (kelahiran 1961) dan Alfiah Rahdini (kelahiran 1990), akan membahas karya masing-masing yang berjudul I Love You (After Joseph Beuys Social Sculpture) (2009) dan The Appropriation of Basuki Abdullah’s Nyai Roro Kidul (2019).
Kedua karya seni tersebut dipengaruhi oleh gagasan patung sebagai bentuk ekspresi yang menggugat persepsi pengamat. I Love You karya Arahmaiani bermain-main dengan aksara Arab untuk menentang paranoia publik terkait budaya Arab setelah peristiwa 11 September di AS. Selaras dengan hal itu, karya Alfiah Rahdini menawarkan gagasan kritis dan memantik percakapan seputar sensor dan pandangan misoginis dengan meminjam ikon Nyai Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan dalam kisah mitologi Sunda dan Jawa. Dengan menghadirkan kedua perupa tersebut, diskusi ini berusaha mengelaborasi gagasan social sculpture dalam berbagai konteks dan era. ***
Lokakarya: Body Journey | 20-28 November 2021, Galeri Lorong, Yogyakarta
Body Journey diinisiasi oleh Goethe-Institut Indonesien dan dikelola bersama dengan Cemeti – Institute for Art and Society. Body Journey merupakan sebuah upaya untuk mengupas wacana pemikiran Beuys. Sebagaimana dikatakan oleh Beuys, “Setiap orang adalah seniman”, di Nusantara kuno ada anggapan bahwa semua orang adalah seniman karena seni adalah ritual atau aktivitas spiritual sehari-hari.
Seni Kontekstual Nusantara diartikan sebagai persembahan karya seni-budaya yang tulus dari hasil pencarian dengan jujur terhormat. Ia mengandung kejelasan makna dengan memunculkan suatu peristiwa dengan seni di tengah pusaran unsur sosial politik, ekonomi, alam-lingkungan, dan spiritual-budaya. Gagasan ini berakar pada pembacaan Iwan Wijono terhadap budaya nusantara lampau yang ditarik dan dikaitkan dengan wacana kontemporer.
Dalam Body Journey, 14 peserta terpilih akan berkarya menggunakan gagasan Seni Kontekstual Nusantara dalam konteks masa krisis dan pascapandemi. Kesadaran kita akan keseimbangan hubungan manusia dengan masyarakat dan alam menjadi penekanan lokakarya.
