Wawancara

“Pasir Hisap” di Asian Project Market 2020: Wawancara Yuki Aditya dan Luthfan

Pandemi Covid-19 banyak mengubah jadwal dan format acara-acara penting, dan Asian Project Market (APM) salah satunya. Dalam rilis resminya di laman apm.biff.kr, mereka menyebut bahwa APM tahun ini akan digelar secara virtual pada 26 hingga 28 Oktober 2020. Keputusan tersebut diambil salah satunya atas pertimbangan terlalu berisikonya mengadakan pertemuan fisik.

Sekilas tentang Asian Project Market, ajang tahunan ini merupakan tempat bertemunya pekerja film dengan pihak-pihak yang berkepentingan, seperti produser, investor, dan distributor internasional. Ajang ini diikuti oleh pekerja film yang ingin berkolaborasi atau mencari dukungan, termasuk dukungan pendanaan.

Baca juga: Dampak Corona pada Industri Film, Antara Cobaan dan Pembelajaran

Tahun ini APM yang juga bagian dari Busan International Film Festival, memasuki perhelatannya yang ke-23. Total ada 22 proyek film yang lolos, dan yang spesial, ada satu proyek film dari Indonesia berjudul Pasir Hisap (Quicksand). Kami berkesempatan mewawancarai Yuki Aditya selaku produser dan Luthfan Nur Rochman sebagai sutradara dalam project ini via Skype (14/9/2020).

Yuki dan Luthfan bukanlah orang baru dalam kancah perfilman, keduanya sama-sama bergiat di Forum Lenteng. Yuki pun masih tercatat sebagai direktur Arkipel, sebuah festival yang setia mengeksplorasi gagasan serta cara bertutur unik dalam sinema. Sementara Luthfan sebelumnya dikenal sebagai pembuat film pendek. Film pendeknya Ngabedahkeun (Emptying The Fish Pond, 2017) pernah memperoleh penghargaan skenario terbaik di CGV Movie Project 2017.

Wawancara ini akan mengulas bagaimana project film Pasir Hisap (Quicksand) bermula, kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjalin di APM, serta pandangan tentang pandemi kaitannya dengan pola konsumsi film. Selamat membaca.

Bercerita tentang apa film Pasir Hisap (Quicksand) ini?

Luthfan

Jadi Pasir Hisap ini bercerita tentang sekelompok arkeolog yang pergi ke sebuah kampung, tempat ditemukannya situs permukiman kuno. Karena para arkeolog ini membutuhkan tenaga masyarakat, terjadilah pertemuan antara sejarah yang dipahami akademisi dengan sejarah yang dipahami masyarakat. Penemuan yang menggemparkan inilah yang akan men-drive cerita sampai akhir.

Jadi cerita ini ada hubungannya dengan jurusan kuliah Mas Luthfan?

Luthfan

Iya betul. Ini juga berdasarkan pengalaman saya selama menjadi mahasiswa arkeologi sih. Dari pengalaman saya, sebenarnya warga itu lebih tahu karena mereka lebih lama di situ ya, dan warga itu lebih pandai menggali ketimbang mahasiswa arkeologi.

Luthfan sebelumnya menggarap film pendek, apa yang membuatmu berpikir untuk film panjang? Apakah ada kebutuhan yang hanya bisa ditampung film panjang?

Luthfan

Mungkin seperti yang Mas Ridho bilang itu sih. Kayaknya aku memvisikan cerita ini terlalu kompleks untuk film pendek. Maksudnya ada banyak karakter yang punya banyak kepentingan untuk ditaruh dan diuji. Jadi menurutku medium yang pas ya film panjang sih.

Bagi sebagian pembuat film, film panjang pertama adalah spesial. Bagaimana dengan Mas Luthfan?

Luthfan

Ya, banyak yang bilang film panjang pertama itu personal ya, hahaha. Sebenarnya tidak ada intensi ngoyo agar film ini dibantu digarap. Masih sempat berpikir, kayaknya belum cocok (digarap) sekarang. Tapi ada kesempatan menulis dan iseng-iseng diikutkan, ternyata tahun lalu terpilih masuk Jogja Future Project. Kemudian Asian Project Market 2020 buka, persyaratannya juga tidak susah-susah amat, kami coba mengirimkan (syarat) yang sudah pernah dibikin dan masuk.

Kalau perasaan ya cukup senang diapresiasi. Apalagi ini ceritanya menyitir sedikit pengalaman hidup. Ternyata ada yang tertarik dengan apa yang ingin aku sampaikan. Ya merasa terapresiasi.

Sudah ada bayangan untuk pemain?

Yuki

Belum sih. Karena itu akan terkait sama proses riset. Pengennya sih enggak ada bintang filmnya hahaha.

Dalam Jogja Future Project kerja sama apa saja yang didapat?

Yuki

Kalau Jogja Future Project lebih ke pembekalan sih. Kita dapat banyak masukan dari partisipan dan pematerinya. Ya akhirnya ada beberapa jaringan yang kita dipertemukan dengan mereka.

Oh ya, apakah ini debut Yuki sebagai produser film panjang?

Yuki

Sudah pernah beberapa kali di Forum Lenteng sih, seperti di program Halaman Papua. Sudah pernah di tiga film panjang, karena waktu itu kita ada kerja sama dengan lembaga internasional dan berekanan dengan komunitas lokal. Nah, di situ saya jadi project manager sekaligus produser.

Ini film fiksi panjang pertama yang ditangani?

Yuki

Kalau fiksi dalam artian ada skenario, iya ini yang pertama. Tapi kami di sini tidak membanding-bandingkan apa itu fiksi, apa itu dokumenter sih. Tapi kami mengerti memang ada pembedaan seperti itu. Genre-genre yang dilekatkan itu kan sebenarnya persoalan marketing.

Lalu apa yang membedakan Pasir Hisap dengan film-film yang pernah kamu tangani sebelumnya?

Yuki

Oh ya, mungkin ini akan menjadi salah satu pengalaman pertama saya. Bekerja sama dengan lembaga funding atau co-production dengan rumah produksi yang “fiksi”. Soalnya di ranah funding juga ada pembedaan itu (fiksi-dokumenter). Biasanya kan kami mengajukan project yang memang ada dananya. Tapi kalau Quicksand ini benar-benar berangkat dari nol, kita harus mencari sumber pendanaan dari pihak-pihak yang sefrekuensi dengan kita. Misalnya soal sosial, budaya, politik. Ya, itu tantangan aja sih.

Kerja sama seperti apa yang mungkin dijajaki dalam Asian Project Market nanti? Seperti yang kita tahu APM ini kan salah satu yang terbesar.

Yuki

Asian Project Market di Busan memang pitching yang paling gede di Asia ya, atau bahkan dunia, karena Busan juga salah satu festival film besar dunia. Saya pernah ke sana, 2014 atau 2015, dan memang sengaja untuk melihat film market-nya. Jadi di sana itu ada beberapa booth, yang mengisi ya perusahaan produksi, distributor film, dan berbagai lembaga terkait film. Festivalnya sendiri juga kan mengundang stakeholder. Ya, kami sih harap ada yang nyantol hahaha.

Tapi kami juga sadar bahwa ini adalah film panjang pertama Luthfan. Dan biasanya produksi film itu kan tidak dalam enam bulan tiba-tiba ada duit. Ya Alhamdulillah kalau ada. Tapi biasanya prosesnya panjang. Kalau kamu memperhatikan film yang pernah kamu tonton sekarang-sekarang ini dan kebetulan masuk Asian Project Market, biasanya mereka sudah pitching di sana tiga atau bahkan sepuluh tahun yang lalu. Jadi kami sadar ini bisa jadi proses yang panjang.

Wawancara dengan Yuki Aditya (produser) dan Luthfan (sutradara) via skype

Apakah dengan adanya pandemi ini project kalian mengalami perubahan proses? 

Luthfan

Untuk tahap sekarang ini belum ada sih. Karena masih tahap riset dan mengembangkan cerita. Sebenarnya kalau tidak pandemi mau pergi ke Medan ya, untuk riset lebih lanjut.

Oh, latar filmnya akan di sana?

Yuki

Iya, Medan, Sumatera Utara.

Secara spesifik apa yang dititikberatkan APM 2020? Apakah APM ini memiliki karakter khusus?

Yuki

Kalau aku melihat, di mana-mana sih, pitching atau festival film itu mencari suara-suara atau pendekatan-pendekatan baru. Mencari cerita-cerita yang jarang atau belum pernah diceritakan sebelumnya.

Jadi sebenarnya tidak jauh beda dengan yang lain ya?

Yuki

Iya, seingatku juga di dalam submission-nya tidak memberi tema tertentu. Ada memang beberapa pitching yang mensyaratkan tema, atau misal proses distribusinya harus menciptakan awareness dari pembuat kebijakan tertentu. Ada yang seperti itu, tapi kalau di APM ini sih enggak.

Bagaimana dengan potensi kerja sama dari dalam negeri?

Yuki

Kita pernah mendengar soal dana abadi kebudayaan yang bisa diakses masyarakat luas, dan bisa digunakan untuk kegiatan kebudayaan, film salah satunya. Ya ada beberapa kanal pembiayaan lainnya juga. Tak bisa dinafikkan, jumlah produksi film kita kan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berarti kesempatan produksi itu ada sebenarnya. Mungkin yang perlu kita sasar adalah yang memang mau atau penasaran dengan topik-topik dan pendekatan alternatif seperti ini.

Tapi pihak-pihak yang berpotensi bekerja sama sering kali lebih berorientasi investasi. Artinya memang ingin memperoleh keuntungan materi dari film itu. Ada pendapat?

Yuki

Ya itu tugas kita mengartikulasikan soal nilai-nilai ekonomi lain dari film alternatif.

Luthfan

Sama sih dengan yang disampaikan Mas Yuki. Pentingnya menumbuhkan awareness bahwa film (termasuk film alternatif) bukan investasi yang buruk.

Yuki

Tapi kalau dilihat kondisi di lapangan, filmnya Anggi Noen bisa diputar dengan luas di jaringan bioskop komersial. Film lain yang menggunakan pendekatan dan topik-topik berbeda juga bisa punya pasar sendiri. Kalau kami sih optimis ya, skena film di Indonesia bisa mengakomodir itu.

Sutradara Yosep Anggi Noen (kanan) dan produsernya dengan project film The Science of Fictions di APM 2014 (Sumber: apm.biff.kr)

Dari tadi sering disinggung soal pendekatan lain dalam film. Apa pentingnya mengakomodasi itu?

Yuki

Demokrasi berbahasa atau mengekspresikan pendapat. Bosen juga kan dengar orang berbicara hal yang sama atau dengan gaya bahasa yang sama terus.

Dan kalau ngomongin soal region dalam konteks sinema dunia. Pentingnya mengakomodir bahasa penceritaan atau strategi produksi yang baru, ya biar film Indonesia dibicarakan dan menjadi wacana penting di dunia. Misalnya, kenapa film Indonesia tidak dibicarakan, tidak seperti film Thailand atau Filipina? Ya mungkin karena belum ada terobosan cara bercerita atau pendekatan baru yang menarik.

Luthfan

Dunia juga kan butuh entry point atau pintu masuk untuk melihat bahwa permasalahan di Indonesia itu juga berbicara untuk dunia.

John Badalu pernah mengutip penyataan salah satu programmer festival dunia, bahwa kawasan Asia Tenggara seperti blank spot dalam konteks sinema dunia. Apakah sekarang masih sama?

Yuki

Ya, masih sama. Paling yang spotnya mulai kelihatan Thailand dan Filipina. Karena begini, ekosistem film di suatu negara kan harusnya lengkap dan terbangun dengan baik. Ada produksi, distribusi, apresiasi, festival, pengarsipan. Bagaiamana film Indonesia mau dibicarakan kalau orang tidak tahu di mana harus menontonnya?

Memang harus ada orang-orang yang berjuang di ranah wacana. Ada yang buat film, ada yang buat festival, ada yang buat program, ada yang menguratori. Kalau di Indonesia, gampangnya kita lihat deh, paling banyak orang ambil jurusan produksi film, tidak ada yang di wacana. Apakah pembuat film mau ngomongi filmnya sendiri terus-menerus? Kan enggak. Jadi kita ya harus concern juga ke orang-orang yang membawa wacana film Indonesia ke sinema dunia, dan itu yang dari dulu Forum Lenteng dan Arkipel lakukan.

Baca juga: Setelah Locarno, “The Science of Fictions” Karya Yosep Anggi Noen Akan Tayang di Busan International Film Festival 

Dan sebenarnya implikasinya bisa ke nilai ekonomi juga ya.

Yuki

Iya dong. Harus dilihat sebagai investasi kebudayaan. Berdasarkan apa yang kami lakukan di Forum Lenteng niatannya adalah memproduksi dan berbagi pengetahuan baru. Untuk orang banyak dan untuk kami sendiri. Ya pendidikan kan investasi juga.

Saat atau setelah pandemi ini apa sih yang akan berubah, kalau dilihat dari sisi cara mengonsumsi film?

Yuki

Kalau kaitannya dengan festival, kita datang ke festival film kan ada dua kemungkinan, untuk menonton film dan berjejaring. Kalau festivalnya fisik dan kami harus ke sana, pasti ada banyak orang yang bisa kami temui.

Kalau dalam hal menonton film, sebenarnya sama saja ya. Itu sebuah perubahan perilaku menonton yang harus kita terima saja. Sebelum pandemi pun kita sudah biasa juga kan (dengan segalanya serba daring).

Luthfan

Itu keniscayaan sih, keniscayaan teknologi

Kembali ke Pasir Hisap, sudah ada bayangan akan didistribusikan ke mana film ini? Masuk bioskop atau ada kemungkinan ke layanan menonton online?

Yuki

Kalau bayangan utamanya sih memang ke bioskop. Kayaknya kita berdua masih tipe penonton konvensional dan klasik, yang suka duduk membelakangi cahaya proyektor. Hahaha. Pengalaman itu masih belum bisa tergantikan sih.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top