Wawancara

Pemaknaan Kontrol Diri Seorang Wregas Bhanuteja

Tulisan merupakan bagian dari program apprenticeship Infoscreening

“Wregas lebih matang ya,” komentar saya kepada Wregas Bhanuteja di akhir sesi wawancara 48 menitan di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (17/12) lalu.

“Masak?” tanyanya. Saya pun mengatakan kalau awal mengenal Wregas pada pemutaran Prenjak: In The Year of Monkey di IFI Jakarta tahun 2016. Ketika film tersebut terpilih sebagai film pendek terbaik dalam ajang Cannes Film Festival 2016.

Ingatan saya waktu itu Wregas bertubuh kurus dengan impresi ala mahasiswa tingkat akhir—tidak mengkal tapi belum cukup dipanen. Tiga tahun kemudian Wregas kembali berdiri di hadapan saya dengan kematangan dan kepastian.

Film pendeknya kembali menuai prestasi. Tak Ada yang Gila di Kota Ini meraih Piala Citra 2019 untuk kategori Film Pendek Terbaik. Pun, di 2020 mendatang, Tak Ada yang Gila di Kota Ini akan berkompetisi di dua ajang film internasional; Sundance Film Festival dan Clermont-Ferrand International Short Film Festival.

Kemudian saya mengomentari kalau Wregas lebih berisi dan lagi-lagi dia berkata, “Masak sih?” Lalu dia sedikit bercerita tentang perubahan pola hidupnya yang menuju sehat. Berhenti merokok—sudah enam bulan terakhir, mengurangi kopi dan memperbanyak minum air putih, serta tidur lebih teratur.

“Memang kopi tidak sehat?” tanya saya lagi. Dia menjelaskan ketika sesuatu—apa pun itu sudah menjadi pengontrol dalam hidupmu itu bukan sesuatu yang baik. “Saya sempat menjalani syuting sambil merokok atau minum kopi supaya semangat. Itu artinya rokok dan kopi mengontrol hidup saya, padahal seharusnya saya sendirilah yang menjadi pengontrol,” jelas sutradara yang sudah beberapa bulan terakhir ini bergabung dengan rumah produksi Rekata.

Baca juga: Jerry Hadiprojo, dalam Upaya Membumikan Film

Pria asal Yogyakarta ini mengaku hidupnya lebih teratur. Tidur di jam semestinya dan bangun di jam yang sewajarnya. Tidak ada lagi istilah kerja di tengah malam dan bangun di siang hari. “Saya juga mulai rajin menulis first impression saya saat menonton film di notes. Ini untuk mengingatkan saya bagaimana kesan pertama saat menonton film tersebut.

First impression tidak pernah bohong,” tambahnya, sesekali mengusap tempias air yang jatuh di keningnya. Di pertengahan obrolan dengan Wregas, Jakarta sedang dihantam hujan besar sampai-sampai mal pun digenangi air.

Tentunya obrolan 48 menit kami tidak hanya diisi dengan memoria perubahan fisik Wregas, merek rokok favoritnya dulu, berapa gelas kopi yang ditenggaknya semasa kuliah, atau tontonan terakhirnya di Netflix. Tak Ada yang Gila di Kota Ini menjadi sentral bahasan.

Seberapa besar perubahan Tak Ada yang Gila di Kota Ini dari versi cerpen ke bentuk film?

Hanya 60% saja sama persis dengan cerpen, 40% lagi pengembangan. Saat membaca cerpen ini saya merasa periode waktu yang digunakan di cerpen ini kurang pas untuk digunakan dalam film pendek. Kalau saya paksakan ada, saya harus memendekkan beberapa scene lain sehingga emosi dari adegan lainnya jadi tidak tersampaikan.

Selain soal timeline ada pengembangan lainkah di Tak Ada yang Gila di Kota Ini?

Ada adegan dalam cerpen yang akhirnya tidak divisualisasikan di film. Adegan tersebut adalah adegan orang dengan gangguan jiwa telanjang dan diikat. Selain kesusahan mencari pemain, pertimbangan untuk tidak memasukkan adegan tersebut lebih dikarenakan pemutarannya bisa jadi terbatas.

Menonton sinema adalah pengalaman kolektif, ada 200 orang yang menonton bersama di dalam bioskop. Artinya, mereka akan berbagi pengalaman intim menonton suatu adegan ketelanjangan bersama orang lain.

Kebiasaan ini sudah terbentuk lama di negara-negara Eropa seperti di Prancis, Italia, dan Jerman. Buat penonton di negara-negara luar, ketelanjangan dalam film sudah jadi sesuatu yang wajar. Itu memang bagian dari sebuah karya, sebuah statement atau argumen.

Tapi dalam pengalaman sinema yang tumbuh di Indonesia, kita tidak memiliki pengalaman rutin untuk melihat ketelanjangan dalam film. Ada tapi tidak intens. Ketidakbiasaan pengalaman tersebut tentunya akan membuat penonton kaget.

Nah rasa kaget itu bisa berujung pada reaksi semacam protes bahkan yang paling keras adalah dalam bentuk demonstrasi seperti Kucumbu Tubuh Indahku yang tidak ada telanjang tapi bercerita tentang LGBT. Masyarakat Indonesia belum bisa membuka pikirannya mengenai tema-tema ini.

Kenapa akhirnya isu “ketelanjangan” menjadi concern buat Wregas? Di Prenjak Anda menunjukkan vagina dan penis.

Pada akhirnya Prenjak tidak bisa ditayangkan di semua tempat. Ada keterbatasan penonton yang artinya pesan saya sampainya jadi terbatas juga. Ketika saya membuat Prenjak, saya belum memiliki awareness yang cukup kuat bahwa sebuah film harus ditonton oleh semua orang.

Pada saat itu kecenderungan awareness-nya ya mungkin hanya 50% dan sisanya adalah pure instinct sebagai pembuat film dan menyukai eksplorasi. Keterbatasan dalam distribusi film, akhirnya menjadi suatu pemikiran yang datang belakangan.

Akhirnya pada Tak Ada yang Gila di Kota Ini, saya memutuskan untuk memodifikasi adegan tersebut menjadi sesuatu yang berbeda tetapi tetap mendapatkan impact yang sama.

Mungkin buat Anda adegan telanjang di Tak Ada yang Gila di Kota Ini kurang krusial, tidak seperti di Prenjak?

Iya, perbedaannya adalah ketelanjangan di Prenjak menjadi inti cerita dan statement film. Tapi kalau di Tak Ada yang Gila di Kota Ini, ketelanjangannya bukan yang utama. Kalau digantikan dengan adegan lain tidak jadi masalah dan tidak mengganggu esensi dari cerita.

Yang lebih diutamakan dalam film ini adalah tentang kuasa dan penyalahgunaan kekuasaan. Penyalahgunaan kuasa tidak melulu harus berbentuk dengan ketelanjangan, bisa juga dengan yang lain.

Kenapa memilih Oka Antara untuk memerankan Marwan?

Marwan adalah seorang tokoh yang menurut saya dia tidak tahu harus bersikap. Apakah dia mau ikut berkuasa seperti yang dilakukan oleh teman-temannya, menyiksa orang dengan gangguan jiwa atau menjadi penyelamat.

Di ending cerita akhirnya terlihat kalau selama hidup dia tidak memiliki kuasa apa pun. Hidupnya saja dikontrol oleh pacarnya. Untuk tipikal orang seperti ini saya membutuhkan aktor yang bisa memiliki tatapan kosong. Kekosongan ini saya temukan pada karakter Rasus yang diperankan Oka Antara dalam film Sang Penari.

Jadi Menurut Anda karakter Marwan satu vibrasi dengan Rasus?

Hmm…ada beberapa titik, sebelum Rasus bergabung dengan tentara. Rasus di Sang Penari memiliki kepolosan sebagai seseorang yang lugu, padahal di desanya berbagai kepentingan politik sedang berkecamuk.

Ada beberapa aktor teater yang berperan dalam film Tak Ada yang Gila di Kota Ini, seperti Kedung Dharma Romansha dan Ibnu Widodo, tolong koreksi kalau saya salah, sepertinya ada kesan kalau film-film pendek lebih senang menggunakan pemain teater?

Sebenarnya setiap film maker pendek punya banyak pertimbangan dan keputusannya berbeda-beda. Ada yang mempertimbangkan dari segi bujet, karena film pendek bujetnya tidak sebesar film panjang. Kalau dari segi bujet, tentunya tidak bisa memberikan fee kepada pemain yang sudah populer. Itu secara teknis ya.

Kalau dari segi pertimbangan produksi, saya bilang pemain teater mendedikasikan hidupnya 100% persen kepada akting. Buat saya ini penting, ketika dia tidak memiliki agenda photo shoot atau promosi touring, dia punya waktu untuk memaksimalkan aktingnya.

Oka Antara populer?

Oka di sini memang bukan pemain teater seperti Kedung tapi Oka memiliki waktu untuk mencoba memahami script, memiliki waktu untuk mengajukan pertanyaan kepada saya sebagai seorang sutradara. Kami sering ngobrol berdua, berdiskusi mengenai karakter Marwan. Kenapa Marwan melakukan ini, kenapa Marwan melakukan itu, kenapa Marwan berpikir seperti ini, dan Oka banyak memberikan masukan.

Pesan apa yang ingin Anda sampaikan dalam Tak Ada yang Gila di Kota Ini?

Saya justru ingin bertanya pada penonton, sejauh mana manusia yang dikaruniai akal budi berkeinginan untuk mewujudkan hasratnya? Manusia ingin terbang dia bikin pesawat, ingin berkomunikasi dengan orang dari negara seberang bisa video call. Semua bisa terwujud satu persatu. Tapi seiring dengan kemampuan itu, ada kutukan yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya; hasrat yang tidak memiliki batasan. Satu-satunya yang bisa membatasi adalah kontrolmu terhadap diri sendiri. Jangan sampailah dalam pengejaran pelampiasan hasrat ini  kamu mengorbankan orang lain.

Pernah terpikir untuk memfilmkan novel atau cerita dari penulis lain?

Saya ingin memfilmkan novel Saman karyanya Ayu Utami. Kemudian ada juga impian yang cukup ambisius, tapi entah itu bisa terealisasikan 10 atau 20 tahun lagi tergantung kondisi sinema kita, saya ingin memfilmkan Kitab Omong Kosong-nya Seno Gumira Ajidarma.

Apa film bagus menurut Wregas?

Buat saya sebagai seorang film maker, saya beranggapan suatu film itu bagus dari berbagai aspek. Kadang ada suatu film yang bagus secara style-nya, meskipun secara cerita sangat tipis tapi dari sisi visual bisa memberikan sesuatu yang bagus dalam perkembangan sinema.

Baca juga: Film “Tak Ada yang Gila di Kota Ini” Tembus Kompetisi Sundance Film Festival 2020

Ada juga sebuah film yang secara visual sangat biasa—bahkan satu scene-nya satu shoot saja, tapi secara cerita dia memiliki kekuatan dalam menyampaikan suatu masalah yang sangat relevan, itu bisa jadi film bagus juga.

Kemudian, sebuah film yang permasalahannya biasa tapi bagaiamana cara dia membuat plot twist dan menyembunyikan misteri di baliknya, itu juga bagus. Agak susah mendefenisikan kriteria film bagus karena saya bergerak di bidang film dan saya terlalu banyak mencintai berbagai varian sinema. Buat saya film bagus bisa dari berbagai angle, termasuk akting pemainnya.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top