Suatu karya kerap hadir untuk menyuarakan realitas yang terjadi di sekitar kita. Film, salah satunya, menjadi medium yang memproyeksikan kenyataan dalam bentuk audio visual, baik yang berangkat dari keresahan diri hingga permasalahan yang ada di masyarakat. Kehadiran film di masyarakat tidak sebatas menjadi hiburan, tetapi juga sebagai sarana refleksi terhadap suatu kenyataan.
Akhir pekan lalu, SineCovi kembali menggelar pemutaran online bertajuk “Tilik Balik: Perempuan Jawa dalam Tiga Film Pendek Indonesia”. Sesuai dengan tajuk acara, ada tiga film pendek yang ditayangkan melalui Zoom pada hari Sabtu (13/3/2021) lalu. Ketiga film tersebut mengangkat cerita tentang perempuan Jawa dari berbagai sudut pandang. Ada yang menggambarkan soal pendidikan perempuan dari masa ke masa, seperti di film Wedok (Ryan Nasution, 2018), ada yang bercerita ikhwal perempuan dan predikat ibu rumah tangga, seperti di film Kisah di Hari Minggu (Adi Marsono, 2017) hingga permasalahan perempuan dalam keluarga, seperti di film Lilakno (Imam Syafi’I, 2017).
Pendidikan Perempuan dari Masa ke Masa
Film Wedok yang berdurasi 8 menit menjadi pembuka pada acara malam itu. Permasalahan pendidikan bagi perempuan Jawa dari tahun 1950-an hingga 2007 menjadi cerita utama film ini. Fatma, si tokoh utama, mengalami konflik batin karena tidak bisa menyatakan keinginan dan perasaannya. Film ini juga menekankan pentingnya mempelajari sejarah. “Jangan lupakan sejarah agar keadaan yang merugikan perempuan di masa lalu tidak terulang kembali,” ucap Ryan Nasution, sutradara Wedok pada sesi diskusi.
Ketimpangan yang Mengakar
Film kedua adalah Kisah di Hari Minggu yang menampilkan tokoh perempuan sebagai ibu rumah tangga. Film ini menampilkan banyak pekerjaan rumah tangga, yang sering kali hanya dibebankan pada seorang ibu. Mulai dari mempersiapkan anak berangkat ke sekolah sampai menyiapkan sarapan. Riuhnya pagi hari di mata seorang Ibu semakin tergambar ketika suaminya memilih untuk tidur seakan tak peduli kesibukan istrinya.
Tradisi patriarki yang masih mengakar menjadi highlight utama di film ini. Tak hanya memproyeksikan ketimpangan, Kisah di Hari Minggu juga menampilkan kedekatannya dengan keadaan masyarakat. Lewat film ini, stigma terhadap ibu rumah tangga yang kerap dianggap tidak berkerja, ditepis dengan banyaknya beban pekerjaan yang harus dipikul.
Masih berkaitan dengan perempuan dan keluarga, film yang terakhir diputar berjudul Lilakno (2017). Secara garis besar, film ini berkisah tentang seorang istri yang dihadapkan pada masalah perselingkuhan suaminya, hingga berujung ke poligami. Dampak dari perselingkuhan itu merambat ke berbagai hal, mulai dari konflik di dalam diri sang istri, hingga dampak psikis kedua anaknya.
Refleksi Perempuan dalam Film
Ketiga film yang diputar dalam program Tilik Balik dapat sedikit menggambarkan keadaan perempuan Jawa dan perempuan secara umum di masyarakat kita. Pada satu sisi, akses terhadap pendidikan dan kebebasan berekspresi seperti yang digambarkan dalam Wedok, memperlihatkan perkembangan. Kendati demikian, di sisi lain masih banyak pula permasalahan perempuan seperti yang digambarkan dalam Kisah di Hari Minggu dan Lilakno. Stigma, ketimpangan, dan beban ganda perempuan dalam keluarga juga masih jamak ditemui.
Baca juga: Film Pendek “Tilik” dari Sutradara Wahyu Agung Rilis di Youtube
Sesuai dengan apa yang disampaikan di awal tulisan, film bisa menjadi alat untuk menyuarakan keresahan dan realitas masyarakat. Untuk itu, perlu adanya upaya agar isu yang dibawa bisa terdengar ke berbagai lapisan masyarakat. Pemutaran Tilik Balik jadi satu dari sekian upaya yang harus dilestarikan demi menjaga napas perfilman dan merawat kesadaran penonton.