Tulisan ini dibuat dalam rangka keikutsertaan Program Open Call: Mengalami Kineforum yang diinisiasi oleh Infoscreening.
Kineforum yang merupakan salah satu ruang pemutaran film alternatif di Ibu Kota Jakarta kembali dengan program teranyarnya. Hadir dengan tema besar “Pendar Petang”, Kineforum mencoba melihat secara kritis dongeng-dongeng yang selama ini diceritakan berakhir bahagia. Lantas, bagaimana kehidupan mereka setelah itu?
Hadir selama tiga hari berturut-turut, mulai dari 16–18 Februari 2018, dengan total enam film asing yang diputar, saya berkesempatan menghadiri dua pemutaran di hari yang berbeda. Pertama film “Chico & Rita” (2010), sebuah film animasi garapan Amerika dan Spanyol ini berkisah tentang Chico, seorang pianis yang jatuh cinta pada seorang penyanyi bernama Rita. Mulanya semua berjalan baik, hingga satu per satu masalah manghampiri. Mulai dari kepergoknya hubungan mereka oleh wanita lain yang pernah ada dalam kehidupan Chico, hingga godaan melanjutkan karier ke negeri Paman Sam.
Film animasi untuk kalangan remaja dan dewasa ini memotret bagaimana seharusnya menjaga cinta. Meski karier cemerlang telah menanti di depan mata, belum tentu itu menjanjikan sebuah kebahagiaan. Film “Chico & Rita” mengangkat kegelisahaan itu dengan sangat baik. Nyatanya yang mengandaskan sebuah hubungan tidak melulu perkara orang ketiga, ambisi dalam diri pun mampu menjadi pemisah.
Hal lain yang membuat film ini unik adalah adanya garis tepian tiap karakter yang tebal. Gaya yang mungkin tidak banyak kita temukan di film animasi 2D. Pemandangan kota Havana dan New York tahun 1940–1950 pun dapat kita nikmati dalam film ini. Selain mata, sepanjang film kuping kita juga dimanjakan dengan berbagai lagu berkelas. Tentunya dengan vokal Rita yang merdu dan alunan piano dari jemari Chico. Sehingga tak mengherankan jika film animasi ini diganjar banyak penghargaan bergengsi dari festival film dunia.
Pada hari kedua saya berkesempatan menonton film berjudul “Cutie and The Boxer” (2013). Film dokumenter panjang produksi Amerika ini berkisah tentang sepasang seniman asal Jepang bernama Ushio Shinohara dan Noriko Shinohara yang hidup dan berkarier di New York. Sekilas film ini tampak seperti film romantis yang manis, melihat sepasang insan dengan ketertarikan yang sama –meski terpaut usia yang jauh berbeda, memutuskan untuk bersama dan menjalin rumah tangga. Namun di balik itu, menjadi seniman di kota tersohor sekelas New York tidak membuat kehidupan mereka lantas berjalan mulus. Nyatanya kehidupan mereka juga masih berkutat pada masalah finansial, kesehatan, dan hubungan antaranggota keluarga. Masalah yang juga kerap kali kita jumpai pada seniman-seniman di Indonesia.
Tak jauh berbeda dengan film pertama, film “Cutie and The Boxer” juga mengajarkan ketahanan itu, ketahanan menjaga cinta. Meski diterpa banyak masalah, Cutie (Noriko) masih tetap setia pada suaminya yang kerap kali menyebalkan sepanjang film. Meski kerap bercanda dan tampak tidak pernah serius, namun pada sosok Ushio-lah kita belajar bahwa para seniman memiliki cara pandang sendiri terhadap dunia. Bangun kesiangan, mengenakan pakaian sesuka hati, kamar berantakan, sering cengengesan, seolah membuat kita mudah menghakimi mereka. Namun film ini menunjukkan sisi lain dari seorang seniman, sisi lain yang jarang diketahui orang. Dan orang yang tahu betul sisi lain dari Ushio adalah Noriko.
Kedua film ini memiliki relasi yang cukup kuat dengan tema yang diangkat oleh Kineforum, “Pendar Petang”. Harus diakui bahwa kehidupan tidak semanis seperti apa yang kerap kali kita baca pada dongeng-dongeng masa kecil. Segala macam kecocokan dan kemudahan yang telah kita miliki, toh tidak membuat semesta mengurungkan niatnya untuk memberi cobaan. Kedua film yang saya tonton itu seolah member pilihan, “Lalu setelah itu apa? Mau menyerah atau mengubah keadaan?”
Sesi Buka-Bukaan

Bukan sesi diskusi biasa. Semua jadi narasumber. (Foto: Ridho Nugroho/Infoscreening)
Setelah pemutaran “Cutie and The Boxer”, kegiatan selanjutnya yaitu Sesi Buka-bukaan. Berbeda dengan format diskusi pada umumnya, yang menghadirkan narasumber sebagai pembicara. Pada sesi ini seluruh peserta yang terlibat bertindak sebagai narasumber. Mula-mula setiap peserta dibagi ke dalam kelompok beranggotakan 3-4 orang. Total ada empat kelompok, dua kelompok berada pada pihak Ushio dan dua kelompok pada pihak Noriko. Setelah itu kami diberi berbagai tugas untuk dikerjakan baik secara individu maupun kelompok. Inti dari tugas-tugas itu adalah mencoba menggali relasi tiap-tiap individu yang ada terhadap film yang diputar. Baik relasinya dengan diri sendiri, keluarga, teman atau orang lain di sekitar. Berdasarkan pengalaman terebut masing-masing dari kami merefleksikannya pada dua tokoh dalam film, Ushio dan Noriko. Sepanjang kegiatan berlangsung kami bertukar pandangan mengenai diri kami dan tokoh yang mewakili diri kami dalam film.
Muara dari sesi ini adalah semacam memberi pertanyaan sekaligus jawaban, bagaimana kami seharusnya bertindak ke depannya, khususnya berkaitan dengan menjalin hubungan dengan pasangan. Ada beragam cara menikmati film dan membuat film tetap “hidup” meski telah diproduksi sejak lama. Dan rasanya Sesi Buka-Bukaan ini merupakan salah satu cara menarik itu, dan tentunya perlu untuk terus dilanjutkan.
