Terselenggaranya Minikino Film Week 7 di Bali ini seperti sebuah keajaiban. Menyebutnya keajaiban agak tidak adil untuk para panitia, volunteers, dan venue partners yang bekerja keras memastikan setiap acara berjalan dengan lancar dan setiap film bisa bertemu dengan penontonnya dengan layak. Ini adalah festival film offline pertama yang saya kunjungi sejak 2019, meskipun Minikino Film Week 6 pada tahun sebelumnya juga dilaksanakan secara offline. Berfestival, menonton film bersama, berdiskusi, lalu berkoneksi dengan banyak orang ini menjadi pengalaman berharga yang dihadirkan oleh Minikino pada tanggal 3-11 September 2021.
Berbeda dengan kebanyakan festival film di Indonesia, Minikino Film Week menonjolkan peran programmer melalui banyaknya program yang diputar. Mereka menyusun program-program film pendek yang seperti slogannya “Dosis film pendek untuk kesehatan kita”, setiap program merupakan sebuah pengalaman. Satu per satu film dalam program yang sama saling mendukung dan tidak tenggelam oleh film lainnya. Setelah menonton, saya dan teman-teman selalu mendiskusikan satu per satu film yang kami tonton. Selalu ada perspektif yang baru dan apresiasi lebih ketika kami melakukan diskusi.
Saya datang berlima dengan teman-teman saya, beberapa dari mereka baru pertama kali datang ke festival film offline, bahkan mereka ada yang baru tahu kalau ternyata festival film itu “bisa didatengin” bukan hanya untuk tamu undangan. Menonton film di festival, khususnya Minikino Film Week, selalu berhasil membuka mata dan mengacak-acak hati serta pikiran saya. Pasca pemutaran, saya selalu berpikir: film ternyata bisa dibuat seperti itu dan memiliki kekuatan sebesar itu.
Baca juga: Anugerah untuk Karya Film Pendek Nasional dan Internasional di Minikino Film Week
Salah satu program yang paling membekas di pikiran saya berjudul Deconstruction, program yang terdiri dari enam film dan berdurasi 71 menit 20 detik. Dibuka dengan Dystopia (Laura Ugolini), film dengan fashion mencolok dan efek spesial gila yang menunjukkan anggota-anggota tubuh yang terpotong dengan lucu, memunculkan unsur komedi yang mengagetkan. Setelah dibuat tertawa, kami diajak merenung dengan film Foreigner (Lucia Alenar Iglesias) yang tenang tentang seorang anak dan kakeknya yang sedang berduka. Film setelahnya adalah Girlsboysmix karya Lara Aerts, film yang memenangkan penghargaan film anak terbaik saat acara penutupan dan, saya rasa, merupakan film yang layak untuk mendapatkan penghargaan itu. Dokumenter yang hanya berdurasi kurang dari tujuh menit itu menceritakan banyak hal tentang Wen Long seorang anak intersex yang senang menjadi dirinya sendiri lalu balik mempertanyakan dunia yang biner ini.
Setelah menyaksikan film yang menyenangkan itu, kami dibuat menangis, bukan karena sedih, tapi mungkin hati kami berhasil didekonstruksi oleh film The Name of The Son (Martina Matzkin) yang bercerita tentang hubungan seorang transboy dengan ayahnya yang mendukung anaknya, tapi juga sama-sama bingung. Belum selesai mencerna perasaan di film sebelumnya, film The Bath (Anissa Daoud) sudah dimulai. Awalnya saya tidak mengerti sepenuhnya karena banyak simbolisme dan adegan yang berlangsung dengan cepat. Akan tetapi, setelah berdiskusi dengan para peserta yang lain, ternyata ada salah satu teman kami yang menangkap semua ceritanya dan membuat kami bisa mengerti lalu mengingat-ingat lagi filmnya. Program ini ditutup dengan baik oleh film Boys Don’t Cry karya Bobbie Faren Muller, dokumenter yang mewawancarai beberapa laki-laki dan mencari tahu kenapa mereka sulit terbuka secara emosional. Film yang terasa dibuat dengan santai ternyata dapat membuat kami tersentuh.
Acara paling meriah adalah Open Screening, di mana dalam acara ini semua orang bisa memutarkan filmnya. Film-film dikumpulkan langsung sebelum acara dimulai menggunakan USB, di mana film dengan durasi terpendek akan ditayangkan paling awal. Kita tidak tahu akan menonton apa di sana, ada film yang kurang dari satu menit, ada yang sampai tujuh belas menit. Ada film eksperimental, ada video klip musik, ada trailer, ada vlog Youtube, ada pula iklan yang diputar di sana. Tidak adanya kurasi dari film-film yang ditayangkan ternyata dapat memunculkan banyak kejutan menyenangkan saat mengalami acara ini.
Acara ditutup dengan pemberian penghargaan dan pemutaran film-film pemenang Minikino Film Week 7, yang kemudian dilanjutkan dengan after party yang terasa semeriah tahun-tahun sebelumnya. Meskipun meriah, pelaksanaan acara tetap mematuhi protokol kesehatan. Pemandangan di sana bagi saya cukup ajaib, berpesta merayakan film bersama banyak orang secara fisik pada masa seperti ini merupakan keajaiban.
Baca juga artikel lain dari Winner pada halaman berikut