Festival

Pesta Film Solo #8: Menonton Cara Menyampaikan Suara

Infoscreening.co – Selama tiga hari, mulai dari 3 Mei 2018, Pesta Film Solo #8 meramaikan geliat perfilman di kota Solo. Bertempat di Taman Budaya Surakarta, Pesta Film Solo (PFS) kali ini menghadirkan berbagai program diskusi dan kuratorial.

Mengangkat tema “Suara Sinema”, Ferlita Amelia S.A selaku ketua Pesta Film Solo #8 menjelaskan melalui buku program bahwa dengan tema ini film dilihat sebagai wujud representasi dari paduan aspirasi yang dimiliki filmmaker mengenai permasalahan yang ada di daerah asalnya serta idealisme filmmaker sendiri.

Baca juga: Suara Sinema dalam Pesta Film Solo #8

Tanpa pengantar yang jelas, tema ini berpotensi terlalu generik karena film memang medium untuk menyuarakan sesuatu. Namun pengantar dan pembagian kuratorial PFS #8 ini dijelaskan dengan detail di buku program dan situs web. Berbagai film menarik terkurasi dalam berbagai sub-tema yaitu Suara Realitas, Suara Minor, Suara Mayor, dan Suara Imaji.

Zen Al Ansory, salah satu kurator PFS #8 melihat banyak film yang mendaftar berkeinginan menyampaikan gagasan besar. Namun sayangnya gagasan tersebut tidak didukung oleh aspek teknis. “Kadang gak make sense, gitu lo. Ga ada logika juga dalam bercerita, pada akhirnya yang masuk dari saya ada tiga film,” terang Zen yang bergiat melalui komunitas Kisi Kelir.

Suara Serumpun Pada Hari Pertama

Usai pemutaran Film Utama yang memutarkan “Bulu Mata” karya Tonny Trimarsanto menghadirkan diskusi bertema Suara Serumpun. Sensor film masih menjadi topik yang menarik dengan dihadirkannya perwakilan Lembaga Sensor Film, Zaitunah Subhan menemani Tonny Trimarsanto.

Baca juga: Catatan Pasca Pemutaran Lokasinema #2: Was-Was-An Transgender dalam Media dan Realita

Usai sesi tersebut, sesi temu komunitas Pesta Film Solo #8 menghadirkan pembicara tamu Steve Pillar. Ia berbagi seputar aktivitas perfilman yang tengah mengupayakan masyarakat yang sudah melek film. Dalam sesi ini, antarpeserta saling berbagi pengalaman dan masukan. Beberapa komunitas juga diberi kesempatan untuk memaparkan seputar festival yang akan mereka jalankan pada tahun 2018.

Tentang Menghidupi Idealisme

Hal yang menarik dalam Pesta Film Solo tahun ini adalah hadirnya Richard Oh dan dihadirkannya film “Melancholy is a Movement” pada program Film Utama hari kedua. Walaupun dekat dengan industri film, karya-karya Richard biasa dianggap segmented. Richard mengeksplorasi cara-cara yang berbeda dalam bertutur walau film-filmnya didistribusikan secara luas di Indonesia melalui bioskop jaringan.

Karya-karya tersebut sejatinya dapat menjadi santapan di layar alternatif. Namun demikian melalui pengamatan penulis, selama ini film-film Richard jarang diputar komunitas – yang sering kali memilih judul yang umumnya diputar di layar-layar lainnya (karena sepertinya lebih mudah diakses).

Richard Oh dan Paul Agusta dalam diskusi Tutur Diri di Pesta Film Solo #8

Dalam sesi diskusi Tutur Diri, Richard membagikan latar belakang dalam menciptakan karya-karya tersebut, khususnya “Melancholy is a Movement” yang sebenarnya satire terhadap industri film. Sesi diskusi ini Richard Oh ditemani Paul Agusta, mantan kritikus film yang kini fokus menjadi pembuat film dan aktor.

Paul dalam kesempatan tersebut membagikan komentarnya terhadap karya-karya Richard. Dalam sesi ini pula, Richard dan Paul membagikan tentang bagaimana mereka tetap hidup dengan idealisme yang mereka pilih di bidang film dan banyak lagi. Kedua pembicara juga berbagi tentang pentingnya referensi yang tidak hanya dari tontonan namun dari medium lain.

Baca juga: Menonton Puisi Leon Agusta

Ditanyai usai PFS #8, Richard Oh menilai positif sesi diskusi tersebut dan menilainya sebagai sesuatu hal yang menyenangkan. “Melalui ajang-ajang seperti ini, berbagai pertukaran terjadi,” jelas Richard.

Richard sendiri melihat PFS sebagai acara yang menarik dan memiliki potensi ke depannya sebagai pesta film indie se-Indonesia. Ruang di mana tiap pembuat film berbagi tentang fungsi film baik untuk gerakan sosial (berbagi makalah aktivisme), pengarahan, diskusi konsep film, dan sebagainya. “Intinya ngulik film, apresiasi dan kritik film, pembuatan dan aktivisme komunitas lewat film,” jelas Richard.

Sebuah Ruang untuk Mengenal Sertifikasi Perfilman

Pesta Film Solo #8 – yang baru mendapat pendanaan melalui pitching forum Temu Komunitas Film Indonesia 2018, dalam sesi Temu Komunitas hari kedua – turut membahas program yang sedang hangat dengan menghadirkan Agung Sentausa, pengurus BPI, yaitu seputar sertifikasi perfilman. Sejak diluncurkan dan diperkenalkan dalam berbagai kesempatan, program ini terus memancing pertanyaan dari berbagai pihak, tak jarang juga mendapat pandangan negatif.

Baca juga: Bukan Screening, Bukan Apresiasi, Ini TKFI!

Begitu pula dalam PFS #8 di mana Agung Sentausa terus mendapat pertanyaan juga dari berbagai komunitas yang menilai progam tersebut berpotensi membatasi mereka yang ingin berkarya di dunia film, khususnya dalam produksi film. Pada akhirnya, beberapa kekhawatiran rasanya hanya akan terjawab setelah program telah tereksekusi.

Memilih Gaya Bertutur

Sementara di hari ketiga penyelenggaraan, PFS #8 menghadirkan pemutaran film “Sunya” sebagai Film Utama, dengan diskusi usai pemutaran bertema Dengung Kampung dengan narasumber Harry Suhariyadi dan kembali menghadirkan Agung Sentausa. Harry Suhariyadi dengan pengalamannya menggarap film-film komersil dan berbagai iklan, berbagi seputar latar belakangnya menggarap “Sunya” dan perjalanan panjang di dalamnya.

Diskusi Dengung Kampung terasa selaras dengan diskusi hari kedua, membahas bagaimana tiap pembuat film memilih gaya bertutur dan mendapatkan penonton dengan mempertahankan idealismenya masing-masing. Sayangnya walau menghadirkan perwakilan BPI, diskusi kurang ‘dibawa’ tentang bagaimana film-film seperti ini dapat terus didukung, sehingga sineas muda juga makin yakin untuk mengeksplorasi cara bertutur dan membuat karya dengan tetap mempertahankan idealisme mereka.

Penonton Pesta Film Solo #8

Catatan di Akhir Pesta Film Solo #8

Usai acara, Ferlita mengaku gembira atas terselenggaranya PFS #8. Ferlita berharap PFS bisa lebih baik lagi. Seperti memberi bocoran, mewacanakan untuk mengundang sineas dari luar, paling tidak dari Asia Tenggara terlebih dahulu.

Apapun rencananya dan bagaimana program PFS berkembang, kita sama-sama berharap PFS terus menajamkan posisinya dengan program pemutaran dan diskusi yang memancing antusiasme, serta memberi pencerahan bagi penonton yang hadir. Hal ini dapat diraih dengan berbagai pembekalan sebelum festival dilaksanakan, baik untuk juru program maupun para moderator yang ditunjuk.

Sebagai festival film yang tidak menghadirkan penghargaan khusus di akhir acara, atau pemutaran menjadi penghargaan itu sendiri, Pesta Film Solo telah berhasil menunjukan bahwa bentuk seperti ini juga dapat terasa meriah, hangat bagi semua peserta dari awal hingga akhir. Pembuat film setara ketika datang dan setara di akhir acara. Sebuah hal yang perlu ditengok ketika bentuk awarding dianggap menjadi peningkatan bagi sebuah festival film.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top