Punya penis bukan jaminan kalau kamu tidak akan mengalami pemerkosaan. Kira-kira ini adalah salah satu pesan yang ditampilkan dalam film pendek Ada yang Salah dengan Ray, yang diputar secara daring 26 Maret–4 April 2020 di IG TV @jakartashortfilmgig dan Youtube MondiBlanc.
Film ini bercerita mengenai Ray, sosok yang dulunya ceria seketika berubah karena mengalami pemerkosaan oleh perempuan yang dulu disukainya. Respons dari teman-teman terdekat justru malah semakin memojokkannya.
Curhat dengan teman perempuannya malah menjadi trigger buat Ray. Sedangkan teman laki-lakinya menganggap dia cemen. Terutama saat sosok perempuan yang “meniduri” Ray adalah mahasiswi idola di kampus mereka.
“Lo ereksi kan?”
“Lo ‘keluar’ kan?”
“Terus masalahnya di mana?”
“Seharusnya lo senang dong!”
Kondisi Biologis Tidak Sejalan dengan Pikiran
“Fungsi tubuh dan pikiran berbeda ketika terjadi tindak pemerkosaan,” kata Ikhaputri Widianti, dosen filsafat dan pengkaji gender di Universitas Indonesia, yang menjadi narasumber dalam diskusi “Perkosaan pada Lelaki: Toxic Masculinity” yang diadakan pada Sabtu (4/4) pukul 14.00 WIB, di aplikasi zoom.
Ikhaputri memaparkan kalau tubuh menjalani fungsinya secara biologis, yang ketika mendapat stimulus terus-menerus akan terangsang. Responsnya bisa berupa cairan pada genital—biasanya pada perempuan dan ereksi pada laki-laki.
Sistem penegakan hukum membuat kasus pemerkosaan menjadi rancu. Contohnya saja ketika pemeriksaan di kepolisian, masih ada pertanyaan apakah si korban (perempuan) mengeluarkan cairan pada genitalnya ketika terjadi penetrasi?
Baca juga: Mengenal Bioskop Sonobudoyo, Ruang Putar Alternatif di Yogyakarta
“Pemerkosaan adalah relasi kuasa, jadi tidak ada hubungannya dengan gender tertentu, apakah perempuan selalu menjadi korban atau laki-laki selalu menjadi pelaku,” terang Ikhaputri lagi. Problemnya adalah asumsi-asumsi kalau perempuan lemah, tidak berdaya, membuatnya sesuai menjadi korban, sedangkan laki-laki adalah kebalikan dari perempuan dia tidak mungkin menjadi korban.
Itulah kenapa informasi ataupun pemberitaan pemerkosaan terhadap laki-laki jadi tidak seterbuka ketika itu terjadi pada perempuan. Tekanan dari diri si korban sendiri—seharusnya dia menikmati, dan publik yang mengamini kalau laki-laki selalu menjadi pelaku.
“Film ini cukup menunjukkan bagaimana maskulinitas sangat dijunjung, dan pola pikir salah di mana laki-laki harusnya bertindak sesuai dengan kriteria maskulinitas itu sendiri,” komentar Ikhaputri.
Kembali Memaknai Feminisme Sesungguhnya
Bila ditilik kembali, tema kekerasan terhadap perempuan sudah cukup banyak dibuat dalam bentuk film, baik skala nasional maupun internasional. Namun, ketika menyinggung soal kekerasan terhadap laki-laki masih sedikit yang memberi ruang dan mengulas. Kalaupun ada, seringnya pelaku adalah pedofil.
Film karya sutradara Kurnia Cahya Putra ini menegaskan kalau pemerkosaan tidak terbatas pada gender tertentu yang dianggap minoritas karena sistem budaya dan lain-lain. Pemerkosaan sangat bisa terjadi pada gender yang “dianggap” paling kuat dan tangguh sekalipun, yaitu laki-laki.
Jadi, sama halnya dengan tekanan pada perempuan, laki-laki juga menjadi korban dari konstruksi gender. Seperti laki-laki harus kuat, laki-laki tidak boleh menangis. Sampai pelekatan kalau urusan seks laki-laki diibaratkan kucing garong; serba mauan.
Sejatinya obrolan pada diskusi film pendek ini membuka cakrawala penonton kalau isu kekerasan bukan hanya milik perempuan tetapi juga laki-laki—sebagai korban. Jika selama ini feminisme terkesan lebih menyorot pada laki-laki, di mana laki-laki selalu sebagai terdakwa, ada baiknya kita kembali lagi kepada konsep awal feminisme itu sendiri.
“Pendekatan feminisme yang benar bukan hanya persoalan perempuan harus diangkat lebih dulu tetapi persoalan tubuh itu sendiri. Ini bukan menang-menangan antara laki-laki dan perempuan,” tutup Ikhaputri.
Ada yang Salah dengan Ray pada mulanya dibuat sebagai submisi untuk lomba film pendek pada acara tahunan Olimpiade Budaya di Fakulas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia tahun 2016.
Tanpa memikirkan tema atau batasan durasi yang ada pada regulasi, Kurnia Cahya Putra sebagai mahasiswa yang ditunjuk oleh organisasi jurusannya sebagai kontingen film pendek memutuskan untuk membagikan keresahannya tentang toxic masculinity dan patriarki.
Termasuk sebuah artikel yang dibacanya tentang korban pemerkosaan pria serta pengalamannya bersinggungan dengan stigma dan ekspektasi yang diletakkan lingkungan kepadanya sebagai seorang pria Muslim Indonesia.
Pada proses pra-produksi, beberapa teman-teman Kurnia mengaku tidak mengerti naskah yang telah ditulis, tapi Kurnia tetap berpegang teguh untuk memproduksinya, dan mereka juga mempercayakannya.
Baca juga: Lebih Dekat Melihat Set Film di Studio Alam Gamplong Sleman
Untuk peran Olivia dan Faris, Kurnia sudah menulis dengan Adinda Mustafa dan Joshua Christopher di bayangan. Untuk peran Ayu, dilakukan audisi terbuka dan Ajeng Sharfina terpilih berdasarkan kemampuan karakterisasinya yang kuat. Tadinya, Kurnia ingin bermain juga sebagai Ray, tetapi karena tidak percaya diri, Kurnia mengajak temannya Andrew Barnabas yang dengan gerak-geriknya yang canggung dia rasa sangat cocok untuk membawakan karakter Ray.
Mengajak Toni Hansen Tobing, temannya yang jago dalam fotografi untuk menjadi Director of Photography, Kurnia dan Toni mengambil beberapa inspirasi dan referensi dari tontonan mereka untuk sinematografi film ini. Beberapa dari referensi itu adalah The Amazing Spider-Man, The Perks of Being a Wallflower, serta The Graduate.
Ada yang Salah dengan Ray akhirnya memenangkan film terbaik, editing terbaik, aktor terbaik untuk Andrew Barnabas, dan sutradara terbaik untuk Kurnia Cahya Putra pada Olimpiade Budaya.
Halo
02/02/2021 at 4:06 am
Di mana saya bisa menyaksikan film ini?