SARA tidak mungkin bercerita sendirian, karena itu ASHA tidak mungkin berdiri sendirian pula. Karena itu Ismail Basbeth mengundang para puan, para ibu, para bapak dan para artis serta aktor yang mampu memberikan dimensi keluarga dan persahabatan terasa tulus dan terasa nyata di film ini.
Demikian penggalan kalimat yang teruntai di instagram Ruang Basbeth, akun official yang memperkenalkan SARA. SARA sendiri merupakan sebuah film produksi bersama Bosan Berisik Klab, Ruang Basbeth dan visionari_capital, didukung oleh Pusbang Film Kemedikbudristek RI. Film ini berkisah tentang perjalanan hidup seorang transgender yang mencari kesejatian diri dengan meninggalkan kampung halaman yang terasa asing baginya. Sebuah rumah yang tidak lagi familiar, karena ia berbeda, begitu asing dan jauh. Sekian lama berselang, Sara memutuskan pulang ke rumah, melanjutkan cerita tentang keluarga yang tak mengenal usai.
Melalui Sara, seorang transgender, film ini menggambarkan tentang pencarian definisi diri yang melekat di jiwa dan raga sebagai manusia. Tentang identitas yang melekat, namun tak terterima dalam ruang hidup yang menentukan segala yang ‘pantas’ dan ‘tak pantas’. Ia atau mereka yang menemukan diri dengan identitas yang berbeda, menjadi terasing dari ikatan sosial bernama keluarga, masyarakat hingga tak lagi ‘berumah’. Melalui sosok SARA, film ini merepresentasikan kelompok minoritas gender (transgender) yang harus melalui luka dalam pencarian identitas diri, sekaligus merindu sebuah rumah untuk berpulang.
Tonton juga: Video wawancara Ifa Isfansyah mengenai Kucumbu Tubuh Indahku
Perjalanan Cerita SARA
Pada akhirnya, SARA bukan hanya cerita tentang seorang Sara semata. Sara adalah kita yang mencari kesejatian diri, hingga tak terasa kaki terus melangkah mencari jawaban tentang definisi diri. Sebuah jawaban dari segala risau tentang diri dan arah hidup, melalui rangkaian peristiwa dari setiap langkah yang diambil. Hingga di satu titik, lelah mendera dan ingin menjeda, entah sesaat ataupun sekian saat, untuk kemudian memutuskan pulang. Dalam pergulatan itu, sebuah tanya terus mendera, kemana kita harus pulang, apakah rumah yang terasa asing dan jauh itu, yang sialnya tetap kita rindukan sebagai rumah.
Cerita perjalanan film SARA ini, mengalir deras dari seorang Ismail Basbeth, sutradara, penulis naskah sekaligus editor film ini. Sebuah cerita yang menemani suatu sore, saat kami bersua di Kita Production House, yang berlokasi di bilangan Jakarta Selatan bernama Ragunan.
“….Pada 2018, aku punya ide Sara ini tentang orang – orang yang nggak bisa pulang, karena kalau dia pulang pun, di sana tidak ada hal yang benar – benar dia saat ini, terus aku kembangin idenya, mosok sih sudah jadi sutradara, punya banyak film sudah lama mosok gawe film kok curhat, kita kan mesti punya kesadaran yang lebih tentang masyarakat kita, nggak usahlah tentang anak 20 tahun terus pulang, masa itu saja, lalu aku riset, baca tentang Shinta Ratri, ini sebenarnya menarik karena ini nggak akan selesai. selama manusia lahir dari rahim ini, persoalan pulang nggak akan selesai.”
Dari pencarian ide itulah, muncul sosok Sara, seorang transgender atau waria sebagai tokoh utama. Pemilihan sosok waria sebagai karakter utama tak lepas dari pemikiran mendalam tentang waria yang dinilai memiliki pendalaman diri lebih dibanding yang lain. Bukan hanya pendalaman sebatas fisik semata, namun juga proses penjiwaannya terkait identitas gender dan seks. Berdasarkan masukan dari beberapa teman yang bergulat di seputar isu seks dan gender, Ismail Basbet dianjurkan supaya pemeran tokoh utama adalah seorang waria tulen. Mengingat, betapa pentingnya belajar isu seksualitas dari ragam kelompok yang bekerja di isu transgender, Ismail Basbeth bertemu dengan almarhum Ibu Shinta Ratri. Almarhum adalah seorang transgender yang mendirikan pesantren khusus waria di Yogyakarta. Kehidupan almarhum Ibu Shinta Ratri sedikit banyak memberi inspirasi dalam membentuk karakter Sara dan pembangunan cerita film SARA. Pergulatannya memperjuangkan hak waria memberi banyak insight tentang kehidupan waria dan tantangan yang dihadapi. Semisal, persoalan pemandian jenazah waria yang sangat problematik, harus dishalatkan sebagai apa karena tidak bisa dikategorikan sebagai lelaki maupun perempuan. Karenanya, pesantren Al Fatah, mengajarkan tentang pemulasaran jenazah. Medan konflik dan pertarungan harian waria yang cukup besar, menjadikan perwujudan film SARA harus menjadi lebih peka dan waspada, supaya relateable dengan kehidupan komunitas waria. Tak hanya itu, Ismail Basbeth dianjurkan supaya lebih berhati – hati dalam menentukan tempat atau lokus peristiwa di dalam film agar tepat dan tidak menimbulkan pro dan kontra. Segala pertimbangan ini menjadi penting karena SARA mewakili kepentingan kelompok yang lebih besar, dalam hal ini terutama kelompok waria.
Ragam masukan dan input dari berbagai kelompok yang bekerja di isu waria mengumpul menjadi cerita. Supaya kokoh, naskah cerita pun harus melalui proses proofreading oleh beberapa expert film yang menguasai isu minoritas gender. Proses ini penting supaya terdapat penilaian obyektif tentang sensitivitas naskah cerita terhadap kehidupan waria. Dari proses riset dan pembangunan cerita inilah, SARA dilahirkan.
SARA, Perjalanan Panjang Mencari Tempat Berpulang
Di sisi lain, SARA juga merupakan perjalanan personal seorang Ismail Basbeth yang terus mencari kesejatian diri hingga jauh, asing dan sunyi tanpa tahu kemana harus pulang meski sangat merindu.
“…tapi semakin kita mencari, pergi jauh keluar sana mencari jawaban tentang hidup ternyata makin nggak bisa pulang. ternyata yang kita cari ada di diri kita nggak selesai itu kita. Aku pulang ke masa lalu, ada yang nggak selesai apa, traumaku kah? keluargaku kah? sebenarnya apa yang kucari? aku selalu meletakkan diriku dalam gagasan karena aku kalau bikin film nggak pernah, nggak clear gagasannya dan 2018 aku punya ide SARA ini”
Proses pembangunan cerita SARA seiring sejalan dengan proses pencarian Ismail Basbeth tentang diri, hingga menyadari bahwa tempat pulang ternyata adalah sosok ibu yang menjadi sentral dalam keluarga. Lahir dalam keluarga keturunan Arab, sedari awal Ismail Basbeth tak menyadari betapa besar privilege yang ia terima. Kala mulai merantau, barulah disadari, bahwa ‘bermimpi’ pun adalah privilege karena tak semua orang punya kesempatan memiliki mimpi seperti dirinya. Dunia luar tak serupa dengan pengalaman di dalam keluarga, sebab tak semua perempuan bisa menjadi seperti sosok ibunya yang demikian punya kuasa sentral di rumah. Ataupun, seperti kakak – kakak perempuannya yang punya kesanggupan menjadi leader. Pun, di luar sana, tak semua anak punya kesempatan berguru pada guru ngaji yang manusiawi tanpa paksaan ‘otoriter’ dalam menjelaskan ajaran agama. Semakin jauh kaki melangkah dalam perantauan mencari jawaban, semakin asing dan tersesat dalam jalan tak berujung. SARA, menemaninya menemukan jawab atas segala risau, bukan sendirian tapi bersama lingkaran terdekat yang menjadi penopang setiap langkah.
“SARA adalah proses refleksi dalam perjalanan hidup, aku beruntung karena sahabat juga partnerku, Lija itu kan partner, sahabat, ibu anakku makanya aku bilang cinta padamu nggak cukup, karena ada hubungan romantik, sahabat, istri, itu nggak cukup itu separuh jiwa ku ada dia, dia ibu dari anakku, teman kerja juga kalau nggak works gimana.”
Demikianlah, SARA adalah milik bersama, proses refleksi bersama, bukan milik Ismail Basbeth semata. Sehingga, Ismail Basbeth bukanlah pengambil keputusan satu – satunya. Ada buah pemikiran setiap kru film di sana, cerita sahabat, pun terbentang proses menjalani duka dan pemulihan dalam setiap untai kalimat cerita naskahnya. Duka itu hadir saat dua sahabat terbaik meninggal pada tahun 2018, pun hatinya dipaksa patah saat sang ibu meninggal dan membuatnya menghentikan sejenak proses pembuatan film.
“…makanya, Sara yang nemenin 5 tahun ini, bayangkan aku menulis ibunya mati lalu aku menghadapi ibuku sendiri mati. Pandemi kan tidak mudah tapi aku kalau bilang paling menderita juga nggak bisa.aku memanfaatkan semua penderitaan itu dalam karya, bisakah kita bicara tentang manusia dan kompleksitas hidup.”
Dalam kedukaan, proses pembuatan film SARA pun menjeda dan sempat terinterupsi dengan film Cemara 2. Ismail Basbeth meyakini, sebuah film mesti diwujudkan dalam kondisi sehat secara fisik dan mental karena ia akan berpengaruh pada kerja tim dan karya. Mengingat, SARA bukan hanya tentang Ismail Basbeth, ia tentang banyak orang, mewakili kepentingan sebagian kelompok rentan yang dipertaruhkan hidupnya. Demikianlah SARA menjadi saksi proses duka dan pemulihan, pelepasan masa lalu dan trauma untuk diterima sebagai bagian hidup. Ia tak hilang namun memberi makna. Selepas menjeda, melepas segala duka dan menerima diri secara utuh, barulah SARA kembali berproses ‘menjadi’ milik bersama.
SARA dan ASHA, Kita Semua
Asha atau dikenal dengan Oscar Lawalata menjadi pilihan utama untuk memerankan karakter Sara. Bukan tanpa sebab, dengan jeli Ismail menjatuhkan pilihan pada Asha karena Asha adalah orang yang tepat, sebagai seorang transgender yang memiliki kapasitas mewakili Sara – Sara lain, yang lebih rentan dan tak punya kesempatan untuk bersuara.
“…casting ya, kenapa Asha, supaya tidak kontraproduktif dengan si tokoh. Misalnya waria beneran sudah operasi tapi tidak punya safety dalam hidupnya, bagaimanapun saya ini sutradara besar, kan harus mikir safety dia kan, nah Oscar sudah punya karir, sudah punya safety nya jadi kalau dia masuk dia bisa bantu sara – sara yang lain.”
Perjalanan mengajak Asha dalam proyek SARA, bukan perkara mudah. Ismail Basbeth bersama timnya berupaya menjangkau sang ibu, Reggy Lawalata, melalui Lija sebagai sesama perempuan dan ibu. Ajakan pun bersambut, Ismail Basbeth berkesempatan bertemu dengan keluarga Lawalata dan menceritakan proses perjalanan personalnya menemukan SARA. Gagasan yang tertuang dalam perjalanan menemukan SARA, akhirnya berhasil menyentuh batin Asha yang awalnya mengkhawatirkan isu transgender yang melingkupi SARA hanya dijadikan tema sentral tanpa kepedulian oleh pembuat film. Tentang ini, Ismail Basbeth mencoba meyakinkan bahwa Asha lah yang akan berdiri di samping SARA, sementara ia akan selalu menemani setiap perjalanan SARA dari awal hingga pasca produksi.
“… pada akhirnya film dengan isu seperti ini, khusus harus sensitif untuk percaya kita jangan jadi pembicara tapi amplifiernya saja, yang bersuara bukan kita. Ketika kita bicara melalui filmnya, ya filmnya aja yang ngomong, perwakilannya adalah Asha, nanti siapa lagi yang mewakili, bisa saya, lalu ya lainnya tapi film ini harus Asha karena spesifik”
Kepastian pemeran Sara, membawa pada perjalanan selanjutnya untuk ‘mengamankan’ tim agar berada pada halaman yang sama tentang project SARA. Dengan kata lain, bersetuju pada gagasan yang tertuang dalam film SARA, termasuk clear pemahaman seputar kehidupan dan isu transgender.
“Setelah Sara oke, departemen kuamankan, kuajak yang peduli, tidak secara diam – diam tidak setuju dengan konsep aku, karena nggak akan jalan. Pemilihan kepala departemen, aku undang sahabatku yang selain nama besar, punya keahlian, mereka juga setuju seperti Asha dan aku sehingga aman karena mereka bekerja untuk film bukan aku”
Dengan kata lain, proyek SARA mesti dikelilingi oleh orang – orang yang peduli pada film SARA dan gagasan yang diusungnya, sehingga menjadi proses film yang bernyawa dan hidup, terikat oleh gagasan yang sama di sana, seperti kehadiran sosok Pak Ong, artis Christine Hakim dan Jajang C Noer. Tanpa dikelilingi oleh orang – orang yang peduli pada gagasan dalam cerita SARA, mustahil film ini bisa terwujud.
Menjadikan SARA sebagai milik bersama, Ismail Basbeth tak segan memberi ruang pada setiap kru film untuk mencurahkan pendapat. Forum yang aman dan nyaman bagi kru film, terutama artis memungkinkan mereka mengeksplorasi gagasan dan interpretasi terhadap naskah. Dengan demikian, naskah justru menjadi lebih kaya dan sensitif sesuai pendalaman karakter pemainnya, yang lambat laun menumbuhkan rasa mencintai dan memiliki SARA.
“Aku lebih kayak orang yang meletakkan diriku seperti fasilitator, maka kita nggak boleh jadi rockstarnya. Masa kita yang fasilitator kita yang jadi rockstar. Setiap kita itu bukan orang yang sempurna, filmnya juga nggak akan sempurna”
Pun, keterikatan antar individu dalam kru film menjadi kekuatan supaya proses pembuatan film berjalan baik dengan segala dinamikanya, seperti diharuskan memanggil nama, bukan nama departemennya. Dengan kata lain, menjadikan proses produksi film sebagai tempat kerja yang humanis, dimana setiap orang adalah setara tanpa memandang latar belakang kelas sosial dan status.
Kini, SARA telah siap dihadirkan ke publik dengan segala feedback yang dinantikan. Ia akan ditayangkan untuk pertama kali dalam Special Program in Focus: Renaissance of Indonesian Cinema di Busan Film fest 2023, bersama 11 film Indonesia lainnya.
Tempat Pulang
Eksplorasi kreatif Ismail basbeth dalam berbagai karya telah dimulai dari sejak masa kuliah, berawal dari film pendek hingga film panjang, dimulai dari Another Trip to the Moon , Mencari Hilal yang mengantarnya menjadi nominasi sutradara terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2015, Talak 3, Mobil Bekas dan Kisah – Kisah dalam Putaran (2017), Arini (2018), Taufiq: Lelaki yang Menantang Badai (2019), Keluarga Cemara 2 (2022), dan terakhir SARA (2023). Karya – karyanya menunjukkan kelihaian mengelola cerita baik di ruang independen maupun di ranah mainstream dan komersil.
Perjalanan eksplorasi tersebut merupakan bagian perjalanan mencari kesejatian diri, sekaligus tempat untuk pulang. Titik temu ‘in between’ ruang – ruang tersebut adalah tempat pulang yang terangkum menjadi tiga martabat dan menjadi pegangan setiap berkarya di semua ruang. (1) Martabat manusia, dimana dalam bekerja setiap orang punya kedudukan setara. Kunci utama terletak di penghargaan terhadap martabat manusia. Semisal bila sebuah proses film memerlukan over time (lembur), maka tidak boleh mengabaikan martabat manusia sehingga keringat manusia tetap harus dibayar sesuai jam lemburnya ; (2) Martabat karya seni, yang artinya dalam proses sebuah karya, martabat seni harus dijunjung dan tidak boleh dilampaui oleh kepentingan bisnis. Dalam industri film, tentu saja film merupakan bagian dari bisnis, namun dalam berkarya tidak boleh semata demi uang tanpa memperhatikan martabat seni itu sendiri; (3) Martabat penonton, sebuah film ditujukan bagi penonton atau audience yang kemudian memberi feedback terhadap suatu karya. Pun, karya yang dibuat sebaik mungkin itu, seharusnya juga ditujukan kepada keluarga sendiri, karena keluarga adalah bagian dari audience dan publik. Dengan memegang tiga martabat tersebut, Ismail Basbeth memiliki tanggung jawab atas karyanya.
Hingga pada suatu titik, ia menyadari bahwa dirinya sendirilah tempat pulang, yang punya daya membangun rumah bukan hanya bagi dirinya, namun juga bagi mereka yang ingin pulang namun tak punya rumah. Ismail Basbeth ingin menyediakan rumah bagi mereka yang ingin berkarya namun banyak keterbatasan. Dengan semangat itulah, ia membangun institusi, yang berfungsi sebagai sebuah tempat dimana ia bisa menjalankan visinya sendiri, seperti insitusi Matta Cinema, Bosan Berisik Lab dan Ruang Basbeth, yang masing -masing memiliki area kerjanya sendiri. Matta Cinema adalah production house berbasiskan audience atau penonton, sementara Bosan Berisik Lab mengutamakan sisi artistik dan pengetahuan. Bila hendak mengeksplorasi cerita, ada Ruang Basbeth sebagai tempatnya, sebuah tempat yang awalnya tercipta untuk menampung banyak cerita yang ditulis Ismail Basbeth, namun tak semuanya bertransformasi menjadi film.
“…ternyata aku lah orangnya yang selama ini aku cari, tugas sekarang aku harus menerima luka dan trauma ku. Kamu tidak berikan aku contohnya, tapi aku yang jadi contohnya. Rumah ini aman nak, kamu mau bikin apa, ndak perlu mencari sepertiku yang terlalu jauh. Bikin film komersil, tapi nggak menghamba pada uang, bisa ke sini. Kamu mau bikin film populer ke rumah ku, nggak ada overtime atau lembur, datang ke sini. Pas aku magang, aku nggak mau penderitaan itu juga jadi untuk orang lain, yayasan kita bisa memfasilitasi orang yang cerdas tapi ndak punya uang. Kalau ada yang mau bikin seni tapi nggak punya uang, sini pulang ke rumahku. Ruang Basbeth nih misalnya, pengen nulis cerita, sini ke Ruang Basbeth, supaya sutradara baru dapat kesempatan memproduksi film, bisa dipinjami cerita Basbeth, ceritaku jadi bermanfaat bag banyak orang. Ceritaku ketika diolah bayak sutradara, gagasan atau cerita ismail bisa meluas kemana – mana. Rumah yang aku cari itu yang aku buat…”
Pasca proyek film SARA, Ismail Basbeth ingin memfokuskan diri mengembangkan insitusi dan yayasan yang telah dibangunnya sebagai rumah, agar semakin layak menyambut tamu yang hendak singgah dan berkarya. Selain berkarya melalui film, Ismail Basbeth menelurkan sebuah buku berjudul Keluarga dan Silsilah Duka, yang akan diluncurkan pada bulan Desember mendatang. Segala ragam pengalaman bersua dengan banyak keluarga terurai dalam rangkaian cerita di buku ini. Kisah SARA, adalah cerita ketiga yang tertuang dalam buku Keluarga dan Silsilah Duka.
Baca artikel-artikel wawancara sosok lainnya pada halaman berikut.