Monica Vanesa Tedja gemar membuat cerita pendek saat ia kecil. Ketika dirinya punya waktu luang, ia suka menulis cerpen yang tidak dipublikasikan secara luas itu. Satu-satunya orang yang membaca cerita pendek yang ia bikin adalah ibunya. Selebihnya, cerpen-cerpen tersebut hanya dikonsumsi oleh Monica sendiri.
Ketika duduk di bangku SD, Monica juga gemar memakai handycam milik sang ayah. Ia meminta izin untuk sesekali merekam acara liburan keluarga. Ia tertarik menggunakan alat tersebut setelah melihat rekaman kaset mini DV berisi dokumentasi acara keluarga yang diambil ayahnya.
Monica kemudian sempat mencoba kegiatan lain waktu dirinya SMP. Ia tidak terlalu menyeriusi film saat itu. Baru ketika SMA, ketertarikannya pada film semakin besar dan dirinya merasa yakin untuk mendalami film.
“Alasannya karena banyak mata pelajaran yang bisa aku terapkan dengan film. Ada tugas terus aku kasih ide ya udah bikin film untuk itu. Ternyata responnya positif dari guru dan teman-teman. Jadi aku merasa mungkin aku mau mendalami ini,” terangnya.
Monica lantas mulai memproduksi film waktu ia masuk universitas. Film seperti Cara Membuat Malam Natal yang Sempurna (2012) dan Kamuflase (2012) dibikin ketika ia kuliah. Setelah itu, dia membuat Sleep Tight, Maria (2015), The Flower and the Bee (2015), serta The Silence in Between (2019). Film-film buatannya ini mendapat apresiasi di dalam maupun luar negeri. Pada tahun 2020, Monica kembali memproduksi film berjudul Dear to Me. Film tersebut berhasil masuk nominasi kategori Film Pendek Terbaik di Festival Film Indonesia 2021.
Kesukaannya pada cerita membuat Monica ingin menjadi storyteller. Ia lantas memilih film sebagai medium bercerita sebab film adalah media yang telah ia kenal sejak belia. Infoscreening berbincang dengannya via sambungan telepon bulan Desember kemarin tentang film-film yang telah dibuat, termasuk film Dear to Me dan project teranyar yang tengah dia kerjakan.
Baca juga: Mencari Film Madani Bersama Ekky Imanjaya
Kalau dengar kata film apa sih yang terlintas di benakmu?
Sebenarnya definisinya itu berkembang. Aku ngeliatnya kayak relationship gitu. Pertama kali aku kenal pandangan aku tentang film itu mungkin masih cetek secetek audio visual. Tapi setelah itu berkembang jadi “Oh, ternyata ada cerita di dalamnya”. Film bisa jadi medium untuk bercerita gitu. Sampai sekarang aku ngeliat film itu sebagai medium berekspresi untuk si pembuat film sedangkan untuk penonton film itu membuat mereka bisa melihat perspektif tertentu. Jadi film itu menjadi sebuah ruang untuk komunikasi dan berdialog antara filmmaker dan penonton.
Selain sutradara, kamu juga seorang penulis naskah. Ide ketika nulis biasanya datang dari mana?
Biasanya selalu dari hal yang dekat, dari keresahan. Aku mengatakan keresahan pribadi itu hal yang dekat denganku karena lahirnya dari pikiran dan hati sendiri. Jadi sejauh ini memang ide-idenya itu selalu timbul dari pertanyaan. Keresahan karena enggak terima akan sesuatu, kebingungan akan sesuatu, kenapa harus kayak gini dan tidak seperti itu biasanya aku kembangkan menjadi film.
Film Dear to Me berarti berawal dari keresahan juga ya? Memang apa yang dirasakan?
Fenomena yang ada di situ itu enggak asing. Hal itu memang terjadi ke banyak orang di dekat aku. Seksualitas mereka dipertanyakan dan malah didoakan. Diabaikan gitu ya dan ujungnya kan ke alasan karena dibilang salah sama agama. Kepercayaan agama ini juga salah satu hal yang enggak asing di hidup aku. Aku tumbuh di keluarga super religius. Jadi hal itu bikin aku bertanya-tanya apa sih yang benar dan salah. Dan sejujurnya yang aku selalu coba utarakan di film itu batasnya ada di mana untuk kita bilang ini benar atau salah.
Kamu mengangkat soal identitas minoritas dalam film Dear to Me di lingkup kecil namun paling dekat, yakni keluarga. Di film ini, penonton dibiarkan masuk lebih dalam ke diri si tokoh sehingga menimbulkan perasaan intimate. Kenapa memilih pakai pendekatan seperti itu?
Ketika kita melihat lebih dalam ke batinnya siapapun itu yang kita lihat ujungnya kan cuma that feeling kan. Perasaannya itu sama. That’s just love. Love in the end is the same. Bahkan ketika bukan cinta misalnya hanya ketertarikan itu kan yang mendasari sebenarnya sama. Jadi di situ sih yang emang ingin ditunjukkan. Saat rasa ketertarikan atau keinginan yang could be that pure lantas apa yang membedakan ketika ada masalah gender lalu dianggap enggak benar.
Aku juga enggak secara sadar untuk ingin mendekatkan dengan cara kayak gini. Tapi itu naluri aja ketika nulis ceritanya. Aku biasa kalau nulis naskah itu mulai dari satu kata dulu yang aku pilih sebagai tema besar di film. Untuk Dear to Me ini katanya yang aku pilih itu adalah longing. Jadi dari kata ini muncul gambaran scene yang bisa menampilkan longing ini at best gitu.
Sleep Tight Maria dan Flowers and the Bee topiknya juga mengangkat soal seksualitas. Keresahannya sama dengan Dear to Me?
Sama. Semuanya berasal dari keresahan. Pertanyaan bandel atau membuat risih kenapa sih kayak gini atau gitu. Bisa sesederhana apa yang terjadi pada hal kecil di hidup aku juga. Aku enggak menentukan bahwa aku adalah seorang filmmaker yang akan selalu menerapkan elemen sexuality dan agama dalam filmku. Enggak mikirin hal itu tapi yang keluar seperti itu. Jadi memang pertanyaannya enggak lepas dari hal tadi bahwa aku tumbuh di lingkungan yang sangat religius. Karena terasa sangat dekat dan terkekang jadi timbul pertanyaan yang disampaikan di film.
Produksi Dear to Me melibatkan orang Indonesia dan Jerman. Susah enggak kolaborasinya dengan orang yang beda negara?
Kalau buat aku pribadi mungkin karena udah beberapa tahun ya tinggal di sana dan udah kenal sama orang-orang ini jadi udah kebayang bakal kayak gimana. Karena pas bikin Dear to Me itu bukan kali pertama aku kerja sama orang Jerman. Dan karena orang-orang kampus juga jadi aku tahu seribet apa kerja dengan orang Jerman. Karena it’s all about paperwork, kontrak, segala macam. Ribet di awal, jujur, karena ada kecenderungan dari pihak orang Jerman untuk memastikan semuanya. Tetapi ketika prosesnya berjalan santai banget dan lancar.
Aku akui kita harus belajar dari kultur kerja orang Jerman ini. Kalau dilihat industri film kita itu kan santai. Cuma ini terlalu santai sampai hak-haknya para pekerja film itu jadi tidak dipentingkan. Misalnya jam kerja kalau di Indonesia itu kan kerja 24 jam sampai bisa enggak tidur. Pengalamanku bikin schedule kerja lebih dari 8 jam kemarin kru dari Jerman udah langsung menolak. Akhirnya kita sepakat menerapkan kultur kerja yang sebagaimana mestinya dan itu berasa pas proses produksi. Terasa lebih produktif karena semua cukup tidur dan makannya.
Film Dear to Me sempat tidak bisa tayang di JAFF tahun kemarin. Gimana pendapatmu?
Aku enggak tahu bagian mana yang disensor (oleh LSF). Cuma jujur ini bukan pertama kalinya film aku disensor. Dulu film Cara Membuat Malam Natal yang Sempurna kan masuk XXI Film Festival. Itu juga enggak lulus sensor. Sebenarnya enggak kaget tapi di satu sisi juga lumayan kaget karena ini bukan pertama kalinya Dear to Me tayang di Indonesia. Mungkin kalau di JAFF kan hitungannya masuk bioskop 21 ya jadi ada policy-nya sendiri. Waktu itu yang menyensor Cara Membuat Malam Natal yang Sempurna kan juga XXI karena itu festival mereka.
Jadi ya ini exactly kenapa aku bikin film karena realitasnya masih kayak gini. Jujur kaget tapi di satu sisi juga enggak karena udah pernah kejadian sebelumnya. Cuma hal ini bikin aku makin ingin bikin film lagi. Intinya upaya mereka untuk membungkam enggak akan menyetop aku untuk terus bersuara yang ada malah makin tertantang. Harus tetap disuarakan karena ini berarti isu yang penting dan patut diperjuangkan.
How to Make a Perfect Christmas dan Kamuflase itu kan beda sama film yang lain. Kepikiran enggak bikin film kayak gitu lagi?
Enggak menutup atau membatasi diri untuk bikin film yang kayak gini doang tetapi benar-benar melihat kebutuhan ceritanya aja sih. Jadi kalau misalkan ada ide yang ingin dibuat terus memang genre atau cara terbaiknya untuk deliver this kind of statement is by making another genre ya why not gitu.
Kamu lanjut kuliah di Film University Babelsberg Konrad Wolf, Jerman. Kenapa ingin sekolah di sana?
Sebenarnya dari masih S1 di Indonesia udah kepikiran untuk nempuh S2. Ada drive dan kehausan untuk belajar lebih lagi. Dan kenapa keluar negeri itu alasannya karena aku pengin mendapatkan pengalaman yang lebih enggak cuma sebagai filmmaker tapi sebagai seorang individu. Dosen aku dulu Lucky Kuswandi sempat ngomong di kelas sebagai seorang filmmaker itu yang penting adalah pengalaman dan gimana kita itu melihat dunia dan aku kayak mengiyakan.
Terus dulunya penginnya ke Hollywood, Amerika Serikat. Tapi kan mahal banget kuliah di Amerika terus kompetitif banget karena Hollywood kan industri film yang sangat besar terus komersil pula. Jadi aku waktu itu mikir mungkin untuk belajar kurang pas karena kayaknya lebih ada sisi ke-shallow-annya kalau komersil itu.
Lalu aku ngobrol sama Lucky dan dia bilang kenapa enggak Eropa aja dan mungkin Berlin karena Jerman juga pendidikannya gratis. Ya udah risetnya dari situ. Aku nyari dan ngebandingin antara Jerman atau negara di Eropa yang lain tetapi enggak tahu kenapa kayak hatinya ke Berlin. Ngeliat Berlin karena ada Berlinale terus aku coba riset ketemulah kampusku ini. Jadi lebih ke intuitif milihnya.
Terus apa yang didapat ketika belajar di kampus itu?
Sebenarnya I got what I need enggak cuma dari konteks kampus tapi dari gimana aku hidup di luar itu juga. Jadi kan belajar independen, bergaul, dan melihat dunia dari perspektif lain. Udah enam tahun kan sekarang aku di Jerman itu. Selama enam tahun tinggal itu aku bertemu dengan komunitas-komunitas di sana dan aku jadi menemukan identitas aku sendiri. Itu sih yang membantu banget untuk aku sekarang melihat film juga.
Kalau dari kampus itu I think yang paling aku dapetin banyak adalah relasi serta koneksi karena film terakhir yang aku bikin kan dibuat dengan orang-orang baru yang aku temuin di kampus ini juga. Dan memang dengan aku menempuh pendidikan di kampus itu setelah selesai lebih terbantu masuk ke industri perfilmannya karena ada nama si kampus ini yang lumayan terkenal di industri perfilman Jerman. Jadi memang membantu dari segi koneksi, nama, dan kesempatan yang bisa didapat.
Ada rencana mau buat film ke depan?
Sekarang lagi nyiapin film panjang pertama. Ini judulnya Dear Family. Sebenarnya temanya sama dengan Dear to Me cuma konstelasinya lebih besar jadi fokusnya ke keluarga besarnya si karakter utamanya. Tema utama atau motor penggerak konfliknya itu juga lumayan sama yakni hubungan seksualitas dan agama gitu. Tapi memang karakternya yang aku pakai itu pendekatannya lebih ke observasi tentang dinamika keluarga. Bagaimana keluarga sebagai institusi pertama yang kita temui di dunia ini membentuk cara kita melihat cinta gitu.
Sekarang masih pengembangan di tahap awal banget. Aku masih nulis skrip draft pertama dan lagi sibuk daftar supaya bisa partisipasi di script lab. Pokoknya benar-benar masih awal banget jadi masih akan panjang prosesnya.
*Proyek Dear to Family telah terpilih pada Full Circle Lab Philippines 2022. Monica akan mengikuti residensi pengembangan proyek filmnya pada 26 s.d. 30 April 2022 di Filipina.