Artikel
Sekolah Film di Yogyakarta: Dari Biaya Sampai yang Dipelajari
Artikel ini merupakan rangkaian dari tiga bagian. Baca bagian kedua dan ketiga di sini.
Bagi seseorang yang menyukai film, kuliah di program studi (prodi) yang mengajarkan sinema adalah sebuah impian. Makanya selepas lulus SMA, Ayu Shandra (23) memutuskan mendaftar ke dua universitas di Jakarta dan Solo yang memiliki jurusan film. Tapi, ia tak diterima. Seorang kakak tingkat lantas memberinya saran menjajal Jogja Film Academy (JFA). Di sana, katanya, ia bisa memperdalam ilmu tentang film. Ada dua program yang ditawarkan JFA, yakni Program Studi D3 Produksi Film dan Televisi serta short course. Shandra mengatakan ia mendaftar pilihan pertama dan diterima. Sehingga ia resmi menjadi mahasiswa JFA angkatan 2016.
Tugas Praktik dan Dana
Yogyakarta dikenal sebagai salah satu tempat yang tepat bagi calon mahasiswa baru belajar sinema. Setidaknya ada lima kampus yang menjadikan film sebagai prodi atau konsentrasi di kota ini, yakni JFA, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Universitas Amikom, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM), dan Sekolah Tinggi Multi Media (MMTC).
Selayaknya prodi atau konsentrasi lain, para mahasiswa yang belajar film akan memperoleh pengetahuan dari sisi teori dan praktik berikut kesempatan menambah kenalan. Di sisi lain, para mahasiswa mesti mengeluarkan dana, yang terkadang tidak sedikit untuk tugas praktik, pameran, dan lain-lain selama berproses di perguruan tinggi.
Ketika awal kuliah Shandra mengatakan ia mengeluarkan Rp 2,5 juta untuk Sumbangan Pengembangan Akademik (SPA) serta SPP sebesar Rp 5 juta di semester 1. Jumlah yang sama buat SPP ia bayar di semester berikutnya sampai ia selesai kuliah. Menurutnya, besaran biaya per semester berbeda tiap angkatan. Mereka yang masuk tahun 2014 sampai 2016, misalnya, diwajibkan membayar Rp 5 juta buat SPP. Namun pada 2018, angkanya berubah menjadi Rp 6 juta.
Calon mahasiswa yang diterima di tahun akademik 2020/2021 lewat Gelombang Khusus sampai Gelombang Tiga juga harus membayar biaya kuliah per semester Rp 6 juta berdasarkan laman resmi JFA. Bedanya SPA yang dibayarkan tak sama tiap jalur masuk. Untuk Gelombang Khusus, biaya yang mesti dilunasi adalah Rp 5,7 juta sementara Gelombang 1 sebesar Rp 7,4 juta. Jika calon mahasiswa diterima di Gelombang 2 atau Gelombang 3 maka SPA yang harus dibayarkan Rp 8,9 juta atau Rp 11,3 juta.
Lebih lanjut, Shandra mengatakan dasar soal film diajarkan di semester 1 sementara kemampuan teknis diasah di semester 2 hingga 4 lewat materi pengenalan alat serta tugas membuat adegan. Di semester 5, seluruh mahasiswa baru diminta membuat film pendek. Jika seluruh mata kuliah selesai maka mereka bisa mengerjakan Tugas Akhir (TA) sesuai bidang yang diminati.
Praktik di semester 1 sampai 4, menurut Shandra, memerlukan biaya yang sepenuhnya berasal dari mahasiswa. Berdasarkan pengalamannya, tugas itu dikerjakan secara kolektif di mana masing-masing orang merogoh kocek Rp 50 ribu hingga Rp 150 ribu. Mahasiswa JFA angkatan 2016 lainnya, Z Mulja-Salih (25), juga mengatakan hal serupa. Ketersediaan peralatan dari kampus jadi alasan pengeluaran tak membengkak.
“Kalau tugas kecil di semester tengah itu kadang under Rp 100 ribu, kadang Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu. Tugas kecil banyak tapi enggak ngeluarin duit. Bisa pakai alat kampus. Tapi kayak ngeluarin Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu itu satu dua kali per semester,” ujarnya.
Baca juga: Bincang Kajian Film, dari Inggris Sampai ke Indonesia
Meski begitu Z Mulja-Salih mengatakan ia dan teman-teman mesti menyediakan uang lebih banyak, yakni Rp 300 ribu sampai 400 ribu di semester 5. Mahasiswa satu angkatan, katanya, wajib memproduksi dua film pendek yang dikerjakan dalam kelompok di semester itu. Agar iuran per orang tak besar, mereka berusaha mencari sponsor dari pihak luar seperti katering atau tempat penyewaan alat. Khusus dana untuk TA, Z Mulja-Salih mengatakan dirinya belum merencanakan seberapa banyak uang yang ia butuhkan. Tapi, ia mempunyai pengalaman membantu produksi karya akhir kakak angkatan semester lalu dan biaya yang diperlukan sampai puluhan juta.
“Kebetulan aku line producer di situ jadi aku mengerti banget soal pendanaan. Yang kemarin itu sekitar Rp 40 juta. Mereka TA bertiga buat film pendek. Jadi ada yang patungan, ada yang dari uang sponsor segala macam. Enaknya di JFA boleh kolaborasi jadi bisa ngebantu biaya. Tapi bujet TA di JFA itu variatif. Ada yang Rp 10 juta, Rp 40 juta, Rp 60 juta tergantung yang ngerjain TA,” katanya.
Beda Penciptaan dan Pengkajian
Di kampus lain, yakni ISI Yogyakarta, mahasiswa yang tertarik belajar film di Program Studi Film dan Televisi, Fakultas Seni Media Rekam, juga mengeluarkan dana yang tak sedikit.
Panji Kukuh (24) misalnya, mengatakan dirinya membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebesar Rp 3,5 juta tiap semester. Sementara itu, Maria Fransisca (20) menyetor UKT Rp 2,3 juta ke kampus enam bulan sekali. Panji dan Maria merupakan mahasiswa Program Studi Film dan Televisi angkatan 2015 dan 2017. Menurut informasi di laman resmi ISI Yogyakarta, besaran UKT pada tahun akademik 2020/2021 berkisar antara Rp 500 ribu hingga Rp 3,5 juta. Jika masuk lewat jalur mandiri, maka calon mahasiswa juga mesti membayar Rp 3 juta sampai Rp 7 juta buat Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI).
Di samping UKT, Maria mengeluarkan uang tugas praktik yang besarannya berbeda tiap semester. Ia mengatakan duit Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu digunakan di semester 2 untuk patungan membuat tugas mata kuliah tata kamera. Di semester 3, ia bersama teman satu kelompok mengeluarkan total Rp 500 ribu saat membuat film fiksi untuk Ujian Tengah Semester (UTS). Jumlah dana yang dipakai, kata Maria, membesar ketika ia dan tiga temannya harus memproduksi film fiksi untuk ujian Akhir Semester (UAS) di semester 3.
“Karena satu hal kelompokku hanya tiga orang doang sedangkan yang lain 10 orang. Udah gitu rada gede UAS-nya, gabungan matkul tata kamera, penyutradaraan, cahaya, terus tata artistik juga. Awalnya budget-in Rp 5 juta sampai Rp 6 juta. Ternyata ngeluarinnya lebih sekitar Rp 7 juta hingga Rp 8 juta. Kelompok lain segitu, ada yang Rp 10 juta. Karena sewa rumah, sewa properti,” katanya.
Kampus ISI Yogyakarta tampak depan (Sumber: pasca.isi.ac.id)
Di semester selanjutnya, Maria mengatakan ia hanya mengeluarkan sedikit uang sebab mata kuliah Dokumenter tak mensyaratkan biaya yang besar. Dia pernah sama sekali tak mengeluarkan duit kala mengerjakan tugas. Tapi, di lain kesempatan, Maria harus patungan Rp 100 ribu ketika membuat film dokumenter untuk UAS.
Apa yang dijelaskan Maria tak berbeda dengan pernyataan Panji. Ia mengatakan proyek kecil yang dikerjakan mahasiswa membutuhkan dana antara Rp 150 ribu sampai Rp 300 ribu.
“Terus di akhir semester kami ada project besar karena untuk tugas semester. Nah karena syutingnya agak besar ya biasanya sih dana yang dikeluarkan Rp 450 ribu sampai Rp 700 ribu per orang. Dan memang untuk beberapa tugas besar itu gabungan dari matkul lain. Itu cukup membantu karena digabung,” ujarnya.
Ketika memasuki semester 6, mahasiswa Program Studi Film dan Televisi diminta memilih konsentrasi yang diminati. Ada dua pilihan yang ditawarkan, yakni penciptaan dan pengkajian. Mahasiswa yang memilih konsentrasi penciptaan nantinya akan dibagi lagi berdasarkan peminatan produksi film fiksi, dokumenter, dan televisi. Setelahnya mereka bisa menentukan apakah mau masuk divisi artistik, sutradara, dan sebagainya. Sementara konsentrasi pengkajian banyak berkutat dengan teori dan kegiatan analisis. Produk akhir yang dihasilkan mahasiswa yang mengambil fokus ini adalah skripsi.
Baca juga: Kembali Memanjakan Mata, Telinga, dan Lidah di Film Musik Makan 2020
Maria menjelaskan dirinya memilih peminatan produksi film fiksi. Karena itu ia semestinya membuat tugas pra-TA atau Praktika di semester 6, tapi hal tersebut urung karena pandemi. Jika situasi normal, ia dan teman sekelompoknya yang total berjumlah 10 orang mesti mencari dana Rp 20 juta untuk syuting film. Setelah Praktika selesai, ia harus membuat tugas akhir di semester 7 dan 8. Maria mengatakan TA bisa dikerjakan secara kolektif, tergantung kemauan masing-masing mahasiswa. Dari segi biaya, untuk tugas akhir ia mematok pengeluaran sebesar Rp 40 juta.
“Itu dari pra-produksi sampai distribusi. Aku ingin film buatanku keliling selain ditampilin buat TA. Tapi biayanya beda-beda di antara mahasiswa, ada yang Rp 20 juta cukup. Bahkan kalau universitas lain Rp 100 juta, Rp 80 juta bisa. Makanya banyak yang kerja buat menabung untuk TA,” katanya.
Sementara itu, biaya yang dikeluarkan Panji saat mengerjakan tugas akhir tak sebesar teman-temannya yang memilih peminatan penciptaan.
“Sampai menjilid skripsi itu ngeluarin Rp 1,5 juta atau Rp 2 juta, ya. Sekitar segitu. Itu termasuk buat poster soal TA yang mesti dibingkai,” ujarnya.
Foto muka artikel adalah kampus JFA tampak depan (Sumber: twitter.com/jogjafilmac)