Tulisan ini merupakan hasil program apprenticeship Infoscreening.
“Saya mau wawancara Shalahuddin Siregar, ada titipan pertanyaan nggak?”
Ini ketikan saya di group WhatsApp yang berisikan teman-teman penyuka film. Salah seorang teman berkomentar, “Hati-hati galak, apalagi kalau pertanyaannya bodoh…”
Kemudian dengan sedikit waswas, saya membuat janji bertemu dengan sutradara pemenang Piala Citra 2018 untuk kategori Film Pendek Dokumenter tersebut. Kami janjian di M Bloc Space di Selasa (5/11) sore. Seberapa galak dia ya?
Sebagai mantan jurnalis sebenarnya saya sudah biasa mendapat semprotan karena pertanyaan dibilang kurang bermutu, terutama public figure yang bekerja di bidang kesenian. Makanya kerap saya mengecap mereka snob.
Ternyata, di luar dugaan pria berdarah Batak dan Karo ini tidak “sedatar” pesan-pesannya di WhatsApp. Jawaban-jawaban yang diberikannya sangat deskriptif dan intens, terkadang dia juga begitu ekspresif menggerakkan tangan saat berusaha menjelaskan sesuatu.
“Kita terlalu senang mengeneralisasikan semua hal, ketika Imam Samudra ‘menenggelamkan’ Bali, lantas semua orang langsung menstigma keluaran pesantren adalah teroris,” demikian pembukaan percakapan antara saya dan Shalahuddin.
Kurang lebih obrolan kami berlangsung selama 1 jam 14 menit, bercerita mengenai film terbarunya Pesantren yang akan diputar di International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA) 2019 20 November 2019, sampai rencana pembuatan film fiksi panjang pertamanya. Berikut cuplikan wawancara saya dan Shalahuddin Siregar.
Sejauh ini selalu dikenal sebagai sutradara film dokumenter. Kenapa film dokumenter?
Saya suka membuat film dokumenter karena saya senang bertemu dengan orang yang bukan aktris. Saya suka jalan-jalan, melihat tempat baru, bertemu dengan orang-orang yang membuat saya belajar tentang sesuatu. Terdengar klise, tapi memang seperti itu adanya. Pengalaman-pengalaman ini menyadarkan saya, kadang kita merasa tahu sesuatu padahal sebenarnya tidak.
Boleh cerita tentang film Pesantren dan apa yang membuat Anda tertarik mengulik tema ini?
Film ini bercerita tentang bagaimana orang-orang yang belajar agama lebih dalam sebenarnya lebih santai mempraktikkan agamanya. Buat saya ini core dari film Pesantren. Mereka belajar bukan cuma dari segi bahasanya tetapi pendalamannya. Ini sangat terkait dengan konteks masyarakat Indonesia yang suka menghakimi orang lain berdasarkan agama.
Saya berharap ketika orang menonton film ini, tidak lagi menjadi terlalu kaku dan menghakimi berdasarkan pengetahuan agama yang dia tahu. Salah satu yang menarik dari scene di Pesantren adalah ketika salah seorang ustaz menjelaskan kenapa orang Islam sangat anti terhadap anjing.
Selama ini kita nggak pernah mengulik lebih dalam kan? Ternyata sang ustaz menjelaskan awal mula dari “keantian” terhadap anjing ini adalah dari salah satu hadis Nabi. Di mana ketika itu ada anjing yang makan di piring Nabi, kemudian Nabi mengatakan piring tersebut harus dicuci dengan tanah sebanyak tujuh kali.
Pengikut Nabi ada begitu banyak, dan tafsirannya bisa berbeda-beda. Kenapa kita harus selalu melihat sisi anjing yang haram, bukan sifat-sifatnya yang lain? Ini sih, salah satu topik yang menarik buat aku.
Kenapa memilih Pesantren Pondok Kebun Jambu Cirebon, Jawa Barat, sebagai lokasi syuting?
Buat saya pesantren ini adalah perwakilan dari apa yang ingin aku sampaikan lewat film Pesantren. Selama ini kita selalu beranggapan kalau orang-orang pesantren itu kolot, konservatif, nggak tahu teknologi, mengecilkan peran perempuan, padahal sebenarnya tidak seperti itu. Saya memilih pesantren ini karena Pesantren Pondok Kebun Jambu ini jauh sekali dari pandangan-pandangan umum orang tentang pesantren.
Justru pesantren ini dipimpin oleh seorang perempuan Nyai Masriah Amvah, guru keseniannya juga seorang perempuan, dan terbuka terhadap diskusi-diskusi kontemporer, saling mendebat dan didebat, mengeluarkan pendapat. Saya sempat menghadiri kelas dari seorang ustaz yang pernah membahas bagaimana hukumnya menikah lewat video call.
Baca juga: Film Pesantren Terpilih dalam International Documentary Film Festival Amsterdam
Kesulitan seperti apa yang Anda hadapi saat menggarap film Pesantren?
Pendanaan sudah jelas, rata-rata semua film dokumenter yang aku bikin biayanya mendekati 1 M. Treatment-nya juga, karena film ini nggak ada karakter utama tetapi beberapa karakter yang berdiri sendiri. Seperti mozaik tapi saling terhubung, nah menghubungkannya ini bagaimana supaya pesannya dapet.
Di hari-hari pengambilan gambar saya sempat mikir ini mau dibawa ke mana, saya mau buat apa. Saya bingung untuk mengeksekusi ini, sampai akhirnya setelah diskusi dengan produser, mereka menyarankan supaya Pesantren diedit oleh editor Stephan Krumbeigel.
Saya berangkatlah ke Jerman dan menetap di sana dari pertengahan Oktober 2018 sampai awal Desember 2018. Ada enam kali perubahan sampai akhirnya menemukan struktur yang sekarang. Durasi asli 4 jam, setelah diedit menjadi 105 menit.
Pesantren memang proses yang panjang dan melelahkan, tapi saya sangat puas dengan hasilnya. Sebenarnya malah Pesantren ini film keduaku, Lagu untuk Anakku film ketiga, tapi memang lebih duluan rilis Lagu untuk Anakku.
Setelah Pesantren film apa lagi yang mau digarap?
Untuk dokumenter mau stop dulu, mau istirahat. Rencana mau bikin fiksi panjang, sudah ada tiga pilihan tema. Kisah pertama pengalaman nyata dari ibu teman yang berprofesi sebagai dokter di tahun 80-an. Ceritanya dokter ini ditugaskan di sebuah desa menangani kasus pembunuhan. Bukan horor sih tapi lebih ke thriller.
Kalau cerita kedua tentang seorang perempuan yang mengalami internal struggle mengenai tubuh terkait masa lalunya. Perempuan ini ceritanya akan melakukan perjalanan menemukan seseorang untuk menyelesaikan masalahnya itu.
Kemudian ide ketiga dari film pendek sebelumnya Kuda Laut, sepertinya menarik juga kalau dibikin versi panjangnya.
Punya tips untuk orang yang ingin memulai membuat film dokumenter do’s and dont’s-nya seperti apa?
Saya suka bingung nih mau jawab pertanyaan kalau soal tips, kalau ada kasusnya lebih mudah. Tapi, buat saya riset itu penting sih, untuk menunjukkan sudut pandang yang jelas. Selama ini sudut pandang kita selalu berjarak. Misalnya mau memfilmkan seorang difabel, frame yang ada selalu dari sudut pandang kita bukan dari orang difabelnya. Seharusnya kita memahami dulu subjeknya seperti apa, jadi respons yang muncul saat menonton juga berbeda.
Still photo dokumenter Negeri di Bawah Kabut karya Shalahuddin 2011
Tanggapan Anda soal perkembangan film dokumenter di Indonesia.
Agak ada perkembangan tapi lambat, termasuk dari sisi tema. Temanya masih itu-itu saja, salah satunya kemiskinan. Cobalah menggali tema-tema yang berbeda dengan treatment yang berbeda juga. Kemudian orang masih menganggap film dokumenter itu sebagai batu loncatan, bukan untuk sesuatu yang diseriusi.
Apa yang biasanya dilakukan kalau lagi jenuh?
Kalau saya lagi jenuh saya biasanya traveling, akhir-akhir ini saya suka naik kereta tapi yang durasinya nggak lebih dari lima jam. Saya suka melihat lanskap, membuat saya menemukan ide untuk buat film. Pernah suatu kali saya naik kereta ke daerah Jawa Barat dan waktu itu suasananya kering banget dan saya melihat daun kering. Kepikiran sepertinya seru juga menggarap film dokumenter tentang kemarau.
Pernah juga suatu waktu saya melihat sungai tanpa aliran, kemudian ada batu yang terjatuh dan terjadi percikan. Ini sesuatu yang menarik dan menyegarkan buat saya.
Film bioskop terakhir yang ditonton?
Saya jarang nonton film di bioskop, film terakhir yang ditonton Susi Susanti, bagus tontonlah. Kalau film luar, Joker. Buat saya film itu nggak bikin “gila” kok. Tentang orang yang mengalami tekanan dalam hidupnya terus menerus kemudian meledak, saya rasa itu normal ya. Semua orang akan melakukan hal yang sama.
Berbagai artikel wawancara Infoscreening lainnya dapat dibaca pada halaman berikut. (red)
