Tulisan merupakan bagian dari program apprenticeship Infoscreening
Laut menjadi hal penting dalam kehidupan suku Bajo. Sejak kecil hingga dewasa mereka besar di atas perahu atau lepa. Mereka bertahan hidup dengan cara berpindah-pindah. Hasil laut adalah lauk yang kerap mereka santap. Suku Bajo juga mendapatkan barang kebutuhan sehari-hari dari penjualan tangkapan saat di laut.
Suku Bajo hidup sebagai pengembara di lautan selama ratusan tahun. Tapi, dalam film The Bajau yang diputar pada Rabu (29/1) di Kopi Aksara, Yogyakarta itu, sebagian orang dari etnis ini tak lagi lahir dan meninggal di atas perahu. Mereka justru bermukim di pesisir pantai seperti yang diminta pemerintah.
Dandhy Laksono lewat film yang diproduksi Watchdoc tahun 2018 tersebut menceritakan bahwa pemerintah negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia berusaha memukimkan mereka di daratan supaya mempunyai kewarganegaraan dan identitas. Hasilnya, Cimpolo, warga Desa Morombo, Sulawesi Tenggara, dan beberapa orang suku Bajo lainnya memilih tinggal di pesisir pantai.
Tapi kehidupan di daratan tak lebih baik. Sebab kebun pemberian pemerintah yang semula mereka garap diambil pengusaha untuk dijadikan kebun sawit. Pekerjaan di perusahaan tambang juga tidak bisa dimiliki karena tak punya ijazah.
Sementara itu, ada suku Bajo lain yang memilih buat menghabiskan hidup di atas perahu meski mempunyai rumah. Tane, misalnya, kerap mencari hewan di perairan dekat Desa Torosiaje, Gorontalo. Ada pula Sajo yang mengaku bisa menyekolahkan anaknya dari hasil melaut. Namun ikan yang kian sulit didapat tak jarang membuat mereka harus mengayuh perahu lebih jauh.
Persoalan Orang Suku Bajo
Usai pemutaran film, pembicara diskusi Safar Nurhan mengatakan ada dua versi cerita yang menjelaskan dari mana suku Bajo berasal.
Pertama, etnis ini dipercaya merupakan keturunan prajurit Kerajaan Bajau di Sabah, Malaysia yang tak kunjung kembali karena tidak berhasil menemukan seorang putri. Anak raja tersebut dikabarkan pergi ke lautan. Sementara itu, kisah kedua menceritakan bahwa suku Bajo berasal dari Kecamatan Bajoe, Kabupaten Bone.
Safar mengatakan ia adalah orang suku Bajo yang berasal dari Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah. Menurutnya, etnis tersebut kerap disebut dengan nama lain yakni Bajau serta Bajoe.
Baca juga: Mengulink Perlakuan Tak Setara Penghayat Kepercayaan dalam Film Atas Nama Percaya
“Dan kami tidak menyebut diri kami sendiri Bajo, Bajau, atau Bajoe tapi Sama’. Bajo ini banyak tempatnya ada di Filipina, Kalimantan, Malaysia, Indonesia, Thailand selatan, juga Madura. Secara keseluruhan Bajo sebenarnya bahasanya mirip tapi ada beberapa kata yang sudah terpengaruh dari bahasa setempat,” ujarnya.
Selain bahasa, penulis sekaligus editor tersebut menjelaskan bahwa identitas khas suku Bajo yang lain adalah hidup di laut. Menurutnya, selain karena negara, etnis ini tak lagi tinggal di atas lepakarena faktor lain, yakni keadaan di laut yang sulit ditebak.
“Jadi tidak bisa digeneralisir suku Bajo bermukim di daratan karena negara. Orang tua kami itu selalu mengeluh ini musim di laut kok selalu berubah-ubah ya. Kalau dulu itu mereka bisa prediksi minggu depan laut aman. Bisa turun. Sekarang tidak,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengatakan problem saat ini yang jadi perhatiannya adalah kebiasaan orang suku Bajo membom laut untuk mencari ikan. Praktik ini menurutnya mudah ditemukan di daerah di mana ia berasal.
“Sebenarnya Dandy itu jangan hanya membenturkan orang Bajo dengan negara tapi bagaimana orang Bajo ini juga dikritik. Di kampung saya, paman A dan B itu berkelahi gara-gara pemboman ikan. Susi Pudjiastuti pergi ke Banggai Laut lalu tanya kenapa karang ini hancur itu karena orang Bajo,” tuturnya.
Menurutnya tindakan orang suku Bajo melakukan pemboman ikan tak terlepas dari dukungan pengusaha dan aparat. Di sisi lain, kebanyakan orang suku ini yang berpendidikan tidak lagi melaut sebab lebih memilih pekerjaan lain. Padahal, apabila anak muda mempelajari ilmu lalu bekerja di sektor kelautan, mereka bisa ikut menyelesaikan problem yang dialami orang suku Bajo.
