JAKARTA – The Boy with Moving Image, karya film panjang pertama sutradara Roufy Nasution, merupakan film panjang pertama dari Bandung yang dibuat dengan guerilla filmmaking. Film independen ini kini telah ditayangkan di platform streaming Bioskop Online dan akan diputar secara alternatif melalui roadshow. Sebelumnya, film produksi Cinemora Pictures dan Aksa Bumi Langit ini sudah diputar di sejumlah daerah seperti Medan, Bogor, Bali, Semarang, Bandung, dan Jakarta.Film yang berdurasi 1 jam 43 menit ini, merupakan upaya Roufy untuk menginterpretasikan pengalamannya dalam proses kreatif dan bertemu dengan orang-orang yang turut menginspirasinya.
Semangat gerilia dan cita-cita perfilman independen kota Bandung
Dibuat secara guerilla atau dengan guerilla filmmaking, The Boy with Moving Image (TBWMI) mengedepankan naturalisme baik dalam penulisan, penokohan, akting, pengambilan gambar, dan pencahayaan. Adapun, guerilla filmmaking merupakan pembuatan film dengan cara yang tidak konvensional. Pembuatannya mengacu pada film independen yang bercirikan anggaran, kru dan alat yang sederhana.
TBWMI memanfaatkan satu lokasi syuting di dalam satu area rumah saja sepanjang film. Ini tidak dilakukan tanpa keputusan atau pertimbangan estetika pembuat film. Kesan isolasi yang dirasakan oleh kedua karakter utama, Ning (Nithalie Louisza) dan Vaiyang (Bryancini Galgala), sangat kental terasa dan sejalan dengan naturalisme yang diusung oleh sutradara. Hal ini juga dapat dilihat dengan kesederhanaan pencahayaan yang terlihat dalam film ini, yaitu dengan menggunakan pencahayaan natural.
Naturalisme, merupakan hal yang sentral dalam dialog kedua karakter utama. Keduanya berinteraksi dan berbicara dengan satu sama lain dengan gaya natural tanpa dilebih-lebihkan. Kedua aktor utama pun merupakan penulis script dalam film ini. Tak ayal, Roufy memang ingin filmnya menjadi perwujudan dari suatu karya kolaborasi.
Baca juga: Berdialog dengan Makhluk Halus dalam Lamun Sumelang, Mulai 19 Desember 2021 di YouTube
Melalui metode guerilla filmmaking, para sineas Bandung yang terlibat dalam film ini ingin membuat sebuah gerakan dengan semangat independen, dalam berkarya sepenuh hati. Hal ini berangkat dari keinginan untuk menghidupkan kembali sinema guerilla yang beberapa tahun ini absen di kota Bandung.
Dengan segala keterbatasannya, kru TBWMI tetap berkarya semaksimal mungkin dalam mewujudkan cita-cita bersama dari film ini: mengembalikan geliat ekosistem film independen di Bandung. “Film ini bukan hanya menjadi sekadar film, tetapi menjadi sebuah gerakan yang membangkitkan ekosistem film independen di Bandung agar dapat terus eksis, karena bertahun-tahun belum ada lagi yang berani membuat fitur film (film panjang -red) independent fiksi di Bandung,” ujar Dzikri Maulana, selaku produser film, seperti yang dikutip Infoscreening dari pernyataan resmi.
Keterbatasan sumber daya tidak menghentikan film ini terpilih untuk diputar di salah satu festival film terbesar di Asia, Jogja-NETPAC Asian Film Festival ke-15 di Yogyakarta, akhir Desember 2020. Film ini juga berhasil menyabet nominasi Piala Maya 2021 dengan katagori Film Cerita Panjang Eksebisi Non-Reguler Terpilih.
SEDERHANA, NAMUN MENYENTIL
Kesederhanaan dalam skala produksi film TBWMI sejalan dengan penyampaian yang subtil, namun tetap menyentil gagasan-gagasan terkait dengan proses interaksi manusia, proses kreatif, hingga kematian. Film ini berkisah tentang Vaiyang (Bryancini Galgala), datang ke rumah Ning dengan maksud untuk meminjam rumahnya sebagai lokasi syuting film. Tidak lama bagi Ning untuk mengizinkan orang asing itu meminjam rumahnya, bahkan hanya dengan satu syarat sederhana nan absurd: Ning meminta Vaiyang untuk menemaninya saat mati besok. Ning ingin mati agar bisa bertemu orang tuanya lagi di surga. Tidak kalah absurd, Vaiyang pun mengiyakan permintaan tersebut demi kelancaran syuting film ketiganya.
Selama 24 jam, kedua karakter utama melakukan berbagai aktivitas dan mengenal satu sama lain, sembari menunggu kematian yang dinantikan oleh Ning. Ide dari film ini tidak hanya datang tiba-tiba. Roufy mengaku cerita TBWMI terinspirasi dari perjalanannya untuk meninjau lokasi syuting film. Sambil menyelam minum air, Roufy kerap mendapatkan inspirasi untuk film yang tengah dibuatnya, ketika mengunjungi suatu kandidat lokasi syuting film tersebut.
“Biasanya saya suka mengunjungi alam atau rumah-rumah yang direkomendasikan teman-teman, jika saya kehabisan lokasi untuk syuting. Beberapa waktu ketika mencari tempat syuting, saya menemukan hal-hal unik yang nantinya memengaruhi ide cerita yang saya tulis,” cerita Roufy.
Bagai cerita dalam cerita, Roufy mengatakan rumah yang digunakan dalam film kelimanya ini, didapatkannya setelah bertemu pemilik yang turut menginspirasi cerita Ning dan Vaiyan. Bedanya, pemilik rumah yang ditemui Roufy merupakan seorang perempuan dan ayahnya yang memiliki gangguan kejiwaan, setelah berpisah dengan istrinya.
“Ayah saya yang merupakan arsitek, bilang bahwa kondisi rumah bisa menggambarkan psikologi pemiliknya. Pada akhirnya saya mendapatkan izin anak perempuannya untuk melalukan syuting di rumah tersebut, dan dia mengajak ayahnya untuk pergi sementara agar tidak mengganggu proses syuting. Rumah itu akhirnya menjadi lokasi yang kita gunakan di film ini,” terangnya.