“Ini bukan soal gender, tapi tentang eksistensi manusia” sebut Joachim Trier dalam sebuah tanya-jawab setelah pemutaran daring film The Worst Person in The World. Pemutaran daring ini diinisiasi oleh Deadline-Virtual Screening Series pada 20 Januari 2022. Selain sang sutradara, Joachim Trier, turut hadir Renate Reinsve, pemeran Julie dalam film TWPITW. “Saya senang film Norway bertemu penonton di seluruh dunia” tambah Trier. The Worst Person in The World adalah film terakhir dari trilogi Oslo (dua sebelumnya berjudul Reprise dan Oslo, August 31 ) karya Joachim Trier yang mengisahkan perjalanan hidup Julie (Renate Reinsve) menemukan kekasih hatinya. Dari sanalah film berjalan, dan hal tersebut menjadi bagian dari kehidupan Julie menemukan bagian dari hidupnya.
Joachim Trier mengaku tidak membayangkan kalau film ini bakal diputar di Cannes Film Festival pada 2021 lalu, dengan jumlah penonton sekitar dua ribu orang. “Pengalaman itu sangat hangat, penontonnya sangat senang” terang Trier dalam tanya-jawab. Film ini berhasil membawa Renata Reinsve menjadi aktris terbaik pada festival film bergengsi ini. Renata bercerita tentang perannya, “Saya harus membayangkan bagaimana menjadi manusia hari ini dengan kehidupan yang penuh dengan chaos”. Peran Renata dalam film ini sangat apik hingga mendapat banyak pujian dari kritikus film. Ia mengaku tidak takut sama sekali dalam memerankan Julie karena bekerja bersama tim yang berpengalaman. Renata menambahkan bahwa sebelum ditawari untuk memerankan film ini, dia sempat memutuskan berhenti berkarier di dunia peran. “Saya sempat berpikir untuk menyudahi ini semua, sampai sembilan hari sebelum set, saya harus memulainya lagi” ungkapnya.
Baca juga: Berdialog Dengan Roh Lewat Film “Lamun Sumelang” Mulai 19 Desember di Youtube
Film dengan 12 babak ini mengajukan banyak pertanyaan masyarakat paska modern dan tidak semua dibiarkan terjawab. Pertanyaan seperti, “untuk apa punya anak, jika suatu saat dunia tidak lagi baik sebagai tempat tinggal mereka?”. Kemudian, “Siapa yang mungkin cocok sebagai pasangan hidup saya?”. Serta pertanyaan tentang moralitas, “Apakah saya boleh selingkuh ketika saya sedang berkomitmen dengan seseorang dalam cinta?”. Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin terhubung dengan sebagian besar orang, hingga kita bisa mengatakan bahwa “film ini sangat dekat dengan saya”. Salah satu momen terbaik dalam film ini juga menggambarkan kerumitan keadaan psikidelik Julie dalam mushroom scene. Pendekatan visual yang musikal lain dalam film ini adalah ketika adegan membeku. “Prosesnya sangat tak terlupakan. Bayangkan saja kota kecil Oslo dan kami harus menghentikan setengah kota untuk pengambilan gambar. Beberapa orang kesal, tetapi mereka akhirnya ikut berhenti juga dan bergabung begitu saja dalam frame.” Cerita Renata mengenang momen tersebut.
Adegan membeku ini diambil secara natural tanpa ada bantuan CGI. Orang-orang berhenti dan hanya Julie yang berlari, seakan menggambarkan ungkapan “dunia hanya milik kita berdua” ketika mereka jatuh cinta. “Ini adalah shoot paling lama dari film ini” ungkap Joachim Trier. Momen menarik lainnya dalam film adalah ketika Askel (Anders Danielsen Lie) mempertahankan argumennya terkait Komik Bobcat karyanya melawan kritik feminis dalam sebuah wawancara televisi. Pembawa acara menuduh komiknya seksis, tapi Aksel melakukan pembelaan atas karyanya, yang tampaknya membuat Julie terkesan. “Saya bukan politisi, saya hanya storyteller” jawab Trier ketika ditanya soal adegan ini. Aksel adalah seorang komikus dengan karakter maskulinitas kuno pada dirinya yang merasa terfragmentasi oleh budaya dunia digital. Aksel mengalami sebuah keadaan dimana terjadi bentrokan antara ambisinya hidup ideal (menurutnya) dengan pasangan dan punya anak dengan realita hidupnya bersama Julie muda yang masih mempertanyakan keidealan versi Aksel.

Hal lain yang membuka diskusi lebih menarik adalah ketika Joachim memberi pandangannya soal bagaimana ia menulis karakter yang bukan dirinya (seorang perempuan muda). Ia mengatakan bahwa telah banyak penulis perempuan maupun laki-laki yang menulis karakter yang bukan dari jenis kelamin mereka. Ia merasa sangat tertantang untuk menulis dalam “ruang yang aneh, ruang dimana hanya tersisa kemanusiaan dan pertanyaan-pertanyaan tentang manusia itu sendiri”, Joachim mengumpamakan. Selain soal karakter, Trier juga mengatakan bahwa ketiga film dalam Oslo trilogi ini berbicara tentang lingkungan sosial di daerah tertentu di Oslo, sebagai sebuah kota. Selama menulis film ini, Trier meluangkan waktu untuk memantau jalan-jalan, mengamati kota. “orang bertanya kepada saya, setelah mengamati, apa analisis Anda?” cerita Trier. Ia mengaku tidak tahu, tetapi melihatnya dan terserah publik untuk melihat dari waktu ke waktu, apa yang berubah
“Tempat ini adalah tempat dimana warga Oslo akan hidup. Mereka akan memiliki anak di lingkungan ini, pergi ke café, jatuh cinta, mereka akan tinggal di lingkungan ini. Itu akan mengubah persepsi penduduk tentang bagian mana dari kota yang punya sudut-sudut yang indah, karena mereka harus tinggal disana” Tutup Joachim Trier menceritakan lanskap dibalik Oslo trilogi miliknya.[]
