Uncategorized

Tiga Hari untuk Noir di @america

Penikmat film noir alias film bernuansa kelam mendapat kejutan istimewa kemarin. Selama tiga hari, 30 Juni hingga 2 Juli 2017 dilaksanakan pemutaran film-film noir Hollywood di @america dalam Hollywood Noir Film Festival.

Acara ini diprakarsai oleh Hibatullah Billy, seorang sineas muda yang saat ini menimba ilmu di Institut Kesenian Jakarta.

“Jadi tiba-tiba ingin aja karena ada Turah, kemudian kepancing lagi karena emang noir itu salah satu yang easy to watch buat yang nonton, detektif, ada cewenya lah, actionnya ada, twistnya bahkan ada sekalian juga kan kalau kita kenal hollywood kita pasti bakal familiar dengan film noir bahkan yang belum pernah nonton film noir ini sekalipun, pasti bakal familiar karena secara gak langsung ada pengaruhnya ke film-film Hollywood sekarang. Nah karena agak tanggung juga buat diskusi kalau pembahasannya menyangkut noir secara umum, nah kenapa enggak kita tunjukin macam-macam noir, dan kita bahas setelahnya,” jelas Billy sebagai juru program.

Bagaimana pemilihan filmnya? Untuk film classic noir, Billy mencari yang populer saja. Sebenarnya Billy juga hendak menampilkan film neo noir tapi banyak kendala seperto perizinan. Maka akhirnya dipilih “Blood Simple” dan “Drive”.

“Nah tahun 1970-an gitu sensor udah gak ada, jadi neo-noir yang mau ditampilin disini itu violence-nya, sedikit erotismenya dan lain-lain yang gak bisa diliat di classic noir. “Blood Simple” sama “Drive” juga punya cewe penggerak cerita, unsur light and dark, pemakaian shadows, sama sinisisme karakternya juga kental. Apalagi ditambah violence dan erotisme pas aja untuk jadi neo-noirnya.” Lanjut Billy menjelaskan kenapa dua film tersebut dipilih.

Tidak hanya pemutaran saja, acara ini pun juga dilengkapi dengan sesi diskusi mengenai Hollywood Noir yang dibawakan pada hari kedua usai pemutaran “Double Indemnity”. Hadir sebagai pemateri yaitu Robertus Rony dan dimoderatori oleh Billy sendiri. Diskusi tersebut didahului oleh pemaparan mengenai ciri film noir: kemunculannya, pengelompokannya oleh kritikus, dan perkembangan teknologi yang membuat film noir klasik perlahan pudar dan menghilang.

Diskusi film Noir oleh Hibatullah Billy sebagai pemantik diskusi dan Robertus Rony sebagai pemberi materi (foto: infoscreening)

Kondisi dunia yang masih kelam

Salah satu pemaparan yang menarik yaitu bagaimana kondisi dunia saat itu yang dipengaruhi perang dunia kedua turut tercerminkan dalam film-film saat itu. Tidak ketinggalan film-film noir yang lahir pada masa tersebut. Ketidakpastian akan masa depan dan dekadensi moral tergambar dalam film-film noir yang menampakan kesumiran antara yang baik dan yang jahat atau tidak ada yang benar-benar pasti.

Menyambangi kegiatan selama dua hari: hari kedua dan ketiga, dan menonton dua dari lima film yang ditonton yaitu Double Indemnity dan A Touch of Evil, penulis berkesempatan melihat bagaimana bab penting dalam sejarah Amerika Serikat tercerminkan oleh film yang ditampilkan. Misalnya saja dalam A Touch of Evil, yang mengangkat tentang marginalisasi seorang aparat polisi berdarah Meksiko dan aparat polisi yang korup dalam penanganan sebuah kasus di kota perbatasan.

Henry, salah satu penonton yang menyambangi selama tiga hari pemutaran, mengaku sangat terhibur dan menyukai film-film yang ditampilkan dalam program ini.

Namun begitu lanjut Henry, diskusi program seharusnya ditampilkan di awal, agar penonton dapat lebih memahami tentang film-film dan juga noir itu sendiri. Mengomentari tentang diskusinya, Henry melihat hal-hal yang disampaikan terlalu “tinggi” sementara baginya sendiri cukup untuk tahu apa itu film noir saja. Walau demikian menurutnya sesi diskusi sangat penting dan bermanfaat.

@america sendiri sebagai pusat kebudayaan Amerika Serikat biasa menyediakan tempat bagi komunitas atau perorangan yang ingin melaksanakan kegiatannya di sana selama berhubungan dengan Amerika Serikat atau berkaitan dengan nilai-nilai yang diangkat oleh Amerika Serikat. Sebelumnya Infoscreening melaksanakan pemutaran film-film Jason Reitman tahun 2014 dan Paul Thomas Anderson tahun 2015.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top