Uncategorized

Tunggul Banjaransari: “Coba Deh, Jadilah Supir Becak dalam Menonton film Udhar”

Oleh Olwin Aldila

Tunggul Banjaransari adalah seorang pembuat film yang ternyata dukun (demikian bio Twitternya berkata). Udhar, filmnya yang diproduksi tahun 2014 masuk dalam program pertukaran film pendek S-Express Indonesia 2016, membawanya ke Thai Short Film and Video Festival Agustus lalu. Film ini dapat disaksikan di 2nd Minikino Film Week di Bali, awal Oktober.

Berikut opininya mengenai jatuh cinta, Scarlett Johansson, dan hal-hal mistis.

Dan hal-hal lainnya.

Kesibukan sekarang

Lagi mempersiapkan produksi film pendek dan bolak-balik Gunung Kidul-Surabaya untuk bekerja sebagai dosen. Yang bikin sibuk balik ke Surabayanya, bukan kerjaannya.

Ketidaksibukan sekarang

Bermain sama anak, mandi bareng, pipis bareng, tidur bareng, jalan-jalan bareng, belanja bareng.

Jatuh cinta

Saya tidak mengerti jatuh cinta itu sebenarnya seperti apa. Yang saya tahu, yang selama ini mungkin kebanyakan orang itu jatuh cinta (entah dengan pasangannya atau hobinya) setahuku itu nafsu. Nafsu memiliki. Cinta itu entah aku tidak tahu. Abstrak, luas mungkin, karena itu aku jadi malas mencari tahu.

Masa kecil

Kalau saya sendiri, karena kebiasaan menonton film saja sih dari kecil dan tidak diperbolehkan keluar rumah, makanya jadi lumayan intens dengan film (bukan membuat filmnya).

Film bagi saya itu bukan pilihan, karena semacam ya karena adanya cuma itu di masa kecilku. Sementara orang tuaku adalah tipikal yang tidak memberikan referensi pilihan apapun untuk kesenangan anaknya. Mereka hanya ngasih pilihan untuk berkesenian tradisional. Karena itu datangnya bukan dari aku sendiri melainkan dari orang tuaku, makanya aku tidak menyukai dunia dan profesi orang tuaku di wilayah seni pertunjukkan tradisional. Rental Betamax-VHS-VCD-DVD itu yang menolongku untuk bisa nonton film dan punya alasan untuk tidak mau ikut latihan tari, gamelan, wayang  orang, wayang kulit dan sebagainya. Sangat annoyings sekali bagi tubuhku, maaf ya para pendekar seni tradisional. Ya iyalah karena itu datang kepadaku seolah-olah seperti tuntutan. Padahal sekecil itu aku inginnya bermain saja.

Kalau dihitung-hitung, aku lebih banyak dan menikmati untuk menghabiskan waktu itu melalui menonton film, bukan membuat film. Kalaupun ada niatan membuat film, itu karena aku kepingin saja. Ya dari dalam tubuhku sendiri, bukan karena ada sebuah himpitan masalah sosial apa kek, trus mengundang rasa empatiku. Tidak seperti itu, aku membuat karena aku lagi ingin membuat film. Aku ingin berkomunikasi melalui film karena komunikasiku dengan teman atau lingkungan sekitar itu tidak lancar. Maka itu, temanku sangat sedikit. Aku tidak tahu cara bercerita atau ternyata film itu bercerita berikut dengan pola-polanya yang ideal, makanya aku ingin berkomunikasi saja dari tubuhku sendiri melalui film.

Mencintai film

Mungkin kalau filmku dicintai oleh Scarlett Johansson, aku baru bisa mencintai film. Karena hampir selangkah mempunya nafsu kepemilikan atas sosok Scarlett Johansson. Itu mungkin kali ya jatuh cinta, nah filmnya cuma dijadiin modus untuk memiliki yang lain. Tetapi bisa jadi ketulusan cinta tadi dimiliki oleh kelompok-komunitas atau organisasi film non profit, yang berkelompok untuk menjadikan film sebagai apalah itu. Ya mungkin mereka bisa menjelaskan itu, tapi kalau aku, kan aku susah berkelompok. hehehehehe.

Awal membuat film terinspirasi dari…

Taxi Driver, The River, dan Perfumed Nightmare.

Kehidupan kelas menengah

Hidupku yang sekarang ini, aku justru kecewa dengan diriku. Harusnya aku menuruti semua perintah orang tuaku, supaya menjadi manusia yang dianggap kelas menengah itu. Karena hidupnya konkret lho, yang dilakukan sehari-hari itu bekerja untuk dapat menghidupi plus memberi kesenangan terhadap keluarganya. Istilah “menghidupi” dan “kesenangan” itu jelas sekali lho, ga perlu ditanyakan lagi. Itu jadi meluas kan kalau kita bertanya ke orang-orang kritis atau apalah disebutnya. Semua masalah yang ada dalam hidupnya itu begitu jelas, bahagia itu sangat bisa dimiliki oleh mereka. Saya atau orang yang menganggapnya kelas menengah ngehek masalah hidup mereka simplistik banget. Lho, karena ketidaktahuan itulah, jangan kemudian dilabeli dengan hal-hal yang menganggap mereka normal-normal saja. Eh malah dilabelin sesuatu yang mereka sendiri (kaum ideal menolak menjadi kelas menengah) memasang standar ideal kehidupan harus punya masalah yang kompleks.

Eksplorasi kehidupan kelas menengah dalam film-film Tunggul

Film-film buatanku yang kamu klaim sebagai bentuk eksplorasi kelas menengah itu adalah caraku untuk tidak memberikan jarak apapun antara berbagai macam kelas hingga ke aspek teknis menontonnya. Tiada jarak, tapi bagi beberapa cah sekolah film atau cah yang memposisikan film sebagai portofolio berjenjang dimana tiap filmnya dan film ke depannya akan mendapatkan bajet dan nilai produksi yang meningkat, mungkin melabelli filmku itu murahan. Ah sudahlah tinggalkan saja, orbrolan arisan dapur internal kru film. Ga penting. Yang paling penting adalah bapak-bapak sopir becak dan orang-orang yang dianggap sebagai kelas menengah (ngehek) itu. Kasihan mereka, udah ga tahu menahu, eh terkena label.

Mistis dalam Film-film Tunggul

Mistis, adalah caraku memperlihatkan pembatas mereka untuk menuju kebahagiaan yang konkret tadi. Sebenarnya aku selalu mendekati mistis lewat pengaruh kekuasaan atau politik. Bukan mistis sebagai yang ajaib, bukan. Kalau mistis yang ajaib, wah aku nanti bisa jadi duta wisata jawa tengah untuk urusan keajaiban dan klenik. Tidak mau aku, mistis = keajaiban itu wisata banget. Aku penginnya ya melekatkan mistis ke kehidupan masyarakat sebagai pembatas untuk menuju kebahagiaan yang mereka pilih sendiri-sendiri. Kalau mistis itu politis, menghadirkan mistis sebagai logika bercerita itu akan menyenangkan bila ditonton. Beda misal, menghadirkan mistis sebagai keajaiban-unik-yang Wondefull Indon dan kita harus menghormatinya karena sebuah warisan keunikan yang entah, itu bakal atau cuma ditonton sama orang pemerintah saja.

Beberapa waktu lalu Tunggul diundang ke Thai Short Film and Video Festival. Bisa ceritakan bagaimana awal mula dan pengalaman mengikuti festival film internasional di sana?

Kalau bisa kesana itu ya karena salah satu program Minikino itu (S-Express Indonesia 2016), kalau ga ada ya saya juga ga ikutan ke sana. Karena saya itu pemalas untuk mendaftarkan film-film saya ke festival luar Indonesia.

Baca juga: Empat Perwakilan Perkenalkan Film Pendek Indonesia di Thailand

Nah masalah pengalaman, karena mungkin aku lebih banyak menonton daripada membuat, aku tidak mendapatkan kesan apapun sih. Ya kayak festival-festival film dalam sekup kecil tapi punya label internasional dan di Asia Tenggara pula. Ya sama saja.

Tapi ada satu program yang keren, namanya Jit’s Wish List. Jit itu nama salah satu programmer film di Thailand generasi 1990-an, si Jit ini memilih film-film yang filmmakernya sudah ganti profesi dan meninggalkan pembuatan film. Namun film-film tersebut harta karun untuk Thailand sendiri. Dan filmnya memang menyenangkan, film-film Lord Apitcaphong itu jadi cemen lah.

(Pertanyaan agak panjang lagi)

Film Udhar akan diputar juga di 2nd Minikino Film Week. Apa yang ingin Tunggul sampaikan pada penonton 2ndMFW yang ingin menonton film tersebut?

Wah susah ya, tapi saran aja sih: coba deh jadilah supir becak dalam menonton film itu. Nonton film itu apa ya, memang susah untuk menuntut bahwa penonton harus paham. Apa paham itu perlu? Aku juga tidak paham, tapi buat apa aku memahami. Kalau aku atau orang-orang sudah memahami, yaudah hidupnya selesai. Ada satu hal yang banyak dilewatkan, yaitu menikmatinya. Ya mutlak menikmatinya. Bingung, itu bisa jadi salah satu dinamika untuk menikmati. Nah kalau bingung melulu sepanjang durasi film berjalan, itu mungkin masih menuntut atau memaksa tubuhnya untuk memahami. Kasihan sih. Tubuh-tubuh sendiri, dituntut sendiri sama orangnya.

Jika tidak menjadi seorang filmmaker, kemungkinan lain yang ingin dilakukan seorang Tunggul adalah…

…pegawai administrasi, atau sekertaris desa lah. Karena baru-baru ini aku sangat menyukai urusan ketik mengetik, menyunting tulisan atau hal-hal yang berhubungan dengan reparasi tulisan.

Yang muncul di kepala Tunggul ketika mendengar kata “perjalanan”, “durasi”, dan “dukun”

Perjalanan: Wah aku tidak menyukai perjalanan dan atau travelling. Capek.

Durasi: Tanpa durasi, film itu tidak bergerak, jadi foto.

Dukun: Dukun itu politikus level caleg daerah.

Project yang sedang dikerjakan dan project yang ingin digarap.

Yang sedang dikerjakan ini adalah film pendek berjudul Seorang Kambing. Yang ingin digarap itu film-film yang kalau aku buat ga ribet, bisa aku jalanin dengan sendirinya atau hanya beberapa teman. Terus jadi deh film.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top