Dua filmnya rilis tahun ini. Perburuan pada 15 Agustus dan Love Is A bird pada 19 September. Kabarnya pula, film yang disebut terakhir menjadi film eksperimental pamungkasnya dalam menggeluti film bergenre art house.
Namun, bukan berarti ia benar-benar berhenti untuk memproduksi film art house, ia mengatakan hanya akan rehat sejenak, dan mencoba untuk menggarap film-film yang lebih mudah diakses publik. Perburuan jadi medium perdana Richard setelah beberapa tahun terakhir menggarap film-film yang pemutarannya memang terbatas. Description Without Place (2011), Melancholy is A Movement (2014), dan Terpana (2016) tergabung dalam sinema trilogi geometrika. Dalam ketiga film itu, Richard mengeksplorasi gagasan geometri. “Dibuat benar-benar berdasarkan suatu pendekatan yang saya sebut geometrika. Bagaimana saya mencoba tidak terlalu mengandalkan suatu plot, namun memaksimalkan medium yang ada di film, sehingga karya-karya yang muncul punya keunikannya sendiri,” ungkap Richard yang juga menjadi penggagas hajatan sastra Kusala Sastra Khatulistiwa Award saat dijumpai di kafe miliknya Reading Room, Kemang, Jakarta Selatan, Senin, (5/8).
Misalnya, dalam Description Without Place ia menyuguhkan visual yang bermuatan dengan gerakan satu tokoh semakin ke belakang ke sejarahnya, lalu satu karakter lagi meloncat terus ke depan. Dalam Melancholy is A Movement yang menampilkan sutradara Joko Anwar sebagai sosok sentral, Richard membuat pembabagan, pada permulaan ketika Joko Anwar diam karakter-karakter di sekitarnya bergerak, ketika ia bergerak orang-orang di sekitarnya tak bergerak, dan ketika semua tidak bergerak. Atau dalam Terpana ketika dialog-dialog berat ditaruh di awal, lalu menaruh dua orang yang terkontak dalam suatu kejadian. Permulaannya karakter perempuan (diperankan Raline Shah) dalam pandangan karakter laki-laki (diperankan Fachri Albar). Kemudian pada satu titik, menjadi sebaliknya. Dalam Terpana bahkan Richard juga tidak mementingkan kontinuiti latar waktu dan tempat.
Dalam Love Is A Bird yang tayang dalam special screening di Kinosaurus pada (3/8), Richard tampak bereksperimen dengan gaya pengambilan gambarnya, yang terkesan handheld namun konsisten sejak mula hingga akhir film. Love Is A Bird dibintangi Bront Palarae sebagai Darma, seorang fotografer dan Ibel Tenny (Naira) seorang penari. Ia terinspirasi dari salah satu sequence dalam buku milik filsuf Prancis Jean Baudrillard.
Perburuan diangkat dari novel sastrawan besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer ditangani rumah produksi besar Falcon. Falcon merilis secara bersamaan dua film dari novel Pram ini, Perburuan oleh Richard Oh dan Bumi Manusia oleh Hanung Bramantyo. “Saya sejak awal menggarap film Perburuan, bagaimana film ini lebih bisa terakses dan ditonton. Yang saya lakukan, kejadian di dalam novel, saya runut kejadian sebelumnya untuk dudukan plot, pada 14 Februari 1945, benar-benar dalam sejarah ada pemberontakan PETA yang dipimpin Soeprijadi. Jadi setting film ini ada dari kejadian sebenarnya, lalu masuk ke novel, jadi semacam runutan.”
Meski menggarap film dengan treatment pasar mainstream, toh Richard tidak serta merta meninggalkan ciri khasnya sebagai sutradara yang lama bergelut dengan “art cinema.” Secara subtil ia membubuhkan scene-scene yang khas Richard. Salah satu contohnya, ketika Hardo berada di tepi ladang jagung ketika malam dan berjumpa dengan Pak Lurah ayah Ningsih. Atau kesan sureal yang disisipkan ke beberapa scene baik secara pengadeganan maupun dialog, namun masih “ramah” untuk penonton. “Setiap orang punya perspektif. Sangat penting untuk sutradara bisa menyampaikan sebuah dunia. Setiap dunia yang diciptakan oleh pembuat film ialah dunia yang sangat unik dan sangat identik dengan visi-visinya. Dunia yang kita bangun, sejauh mana kita membangun sebuah bagian yang konsisten, berubah atau pun berkembang dari masa ke masa, tapi itu dunia yang tak jauh dari visi seorang yang berkarya.”
Lalu, apa visi Richard Oh dalam sinema-sinema yang dibangunnya? “Saya masih mengulik terus medium-mediumnya. Bagi saya terlalu terpaut pada cerita, dan teknis pada akhirnya hanya akan menyuguhkan suatu sajian yang pada akhirnya akan menemukan salah satu dari dua tanggapan, suka atau tidak suka.”
“Kita tidak boleh sampai hidangkan penonton suka atau tidak suka. Kalau lebih menelusuri tentang film atau pun kesenian pada umumnya, apa yang timbul dari kesenian ialah nalar dan waktu. Pada zaman sekarang tambah satu lagi, etika. Kalau kita bicara etika, karya itu harus punya relevansi yang terjadi secara sosial, nalar terkuak dalam film itu, yang membuat entah kenapa mengusik setelah selesai menonton dan mau menyelesaikan film ini di otak,” sambung sutradara Koper ini.
Filosofi dan Membongkar Pakem Mainstream
Lalu, apakah visinya itu sejalan dengan filosofi Richard dalam menggarap film? Baginya, untuk menelusuri filosofi seorang sutradara tentu harus melihat dari titik keberangkatan subyek yang ditangani. “Subyeknya dulu apa yang mau kita tangani? Ketika menangani karya Pram yang akan ditonton dari anak sekolah hingga yang sudah tamat sekolah dan sebagainya, audiensnya seperti apa kita tahu. Ketika menciptakan art house kita tidak peduli itu. Sejauh mana seni bisa dieksplorasi mengangkat sebuah karya setinggi-tingginya. Menuntut penontonnya sama seperti kita yang mengerjakan film itu. Jadi kalau bicara soal filosofi tentunya ya sejalan, selalu akan tahu subject matter-nya apa.”
Setelah Perburuan, Richard mengaku ingin lebih menjajal menggarap film-film yang lebih “ramah” publik. Film yang bisa dianggap masuk arus utama dalam industri. Ia ingin mengulik yang menjadi pakem dan menurutnya yang ia lakukan di ranah art house bisa diaplikasikan dalam film mainstream.
Baca juga: BW Purba Negara dan Perkembangan Warna Filmnya
Baginya meski dalam industri mainstream, kreator yang memiliki kepekaan tinggi pada kesenian akan tetap membubuhkan sisi yang mampu ditangkap oleh penonton yang juga memiliki kejelian. Sebab, menurutnya, itu merupakan cara sutradara dalam menghargai penonton sebagai yang memiliki pemikiran kritis dan kejelian terhadap semua yang ada dalam kesenian. “Junjungan tertinggi dari seorang kreator ialah mengangap penontonnya setara dengan dia,” tegas penulis novel Labirin Malam ini.
“Kalau bicara ke mainstream yang punya pakem, pakem itu perlu dibongkar dengan regulasi yang baru. Saya berniat untuk di sana, saya pikir apa yang kita pelajari dari keterbatasan bujet dan peralatan, tidak menghalangi untuk bisa berkarya yang sangat baik. Semua karya selain membutuhkan dukungan yang kuat dari pemain berbakat, seleksi siasat produksi, juga membutuhkan visi yang menjadikan semua bagian terbangun dan memandang suatu persoalan secara baru dan segar. Kalau tidak, lama-lama menonton film yang begitu-begitu saja.”
Richard mengakui setiap menggarap film ia selalu mempelajari hal baru.
Menampilkan film ke banyak orang dengan berkolaborasi banyak pihak, ia merasa bangga sebab ada hal-hal tertentu yang tetap dipegang teguh. “Yang kita inginkan inovasi dalam bercerita, tetapi tetap harus menjaga dan menangkap jiwa dari kreatornya. Beda kalau yang tadi (art house) suatu pergelutan obsesi orisinal saya sendiri. Sekarang saya angkat karya orang, Pramoedya Ananta Toer. Bagaimana membuatnya juga punya inovasi namun tetap harus menjaga pakem dari kreatornya.”
