Artikel

Alexander Bak Sagmo: Membuat Film Pendek itu Lebih Sulit dari Film Panjang

Alexander Bak Sagmo adalah bagian dari angkatan muda yang giat berkarya. Saat berusia enam belas tahun, sineas asal Denmark ini sudah mulai membuat film. Bersama kolektif yang ia temui ketika mengikuti sekolah film, ia pun terprovokasi untuk membuat film panjang pertamanya di usia dua puluh dua. Film tersebut, Needle Boy, menjadi salah satu nominee untuk Audience Award dalam perhelatan Danish Film Award. Sejak itu, semangatnya seolah tidak terbendung. Ia telah memenangkan hibah dari Statens Kunstfond sebanyak tiga kali, merampungkan film panjangnya yang kedua, Esthers Orkester, dan bersiap untuk proyek-proyek lainnya.

Alexander Bak Sagmo merupakan salah satu dari dua tamu spesial yang dihadirkan Europe on Screen 2023. Selain hadir dalam sesi Q&A untuk pemutaran Esthers Orkester, ia juga menjadi pembicara untuk workshop Making a Leap From Short Film to Your First Feature Length.

Campur Aduk Suka-Duka Esthers Orkester

Esthers Orkester bercerita tentang Thomas dalam dua hari: hari pertemuannya dengan Esther di kantor penerbitan tempat dia bekerja dan hari terakhir kebersamaannya dengan Esther yang kelak menjadi istrinya. Sepanjang film kita dibawa masuk dalam alur pertemuan yang menyenangkan dan duka dalam perpisahan. Tarik ulur alur ini adalah jurus jitu dalam mencampuradukkan emosi dan mengikutsertakan penonton dalam kebingungan si karakter utama.

Di beberapa adegan, teknik kamera hand-held dalam film sangat terasa yang cukup memberikan kesan posisi Thomas yang tengah tertekan. Ia musti menerima kenyataan kepergian Esther yang mendadak ketika ia tidak di sampingnya. Lalu ia juga harus menghadapi kedua putrinya dan memberikan kabar duka tersebut agar dapat diterima.

Wawancara dengan Alexander Bak Sagmo

Infoscreening, diwakili Ali, berkesempatan melakukan wawancara eksklusif bersama Alexander Bak Sagmo. Berikut sebagian isi wawancaranya.

IS = Kamu mulai bikin film sejak usia yang sangat muda. Kamu juga masih sangat muda sekarang. Apa yang membuatmu ingin membuat film? Apa yang membuatmu tertarik pada film?

Alex = Saya jatuh cinta pada film pada usia yang cukup dini karena orang tua saya membawa saya ke bioskop. Entahlah. Saya berpikir saat itu adalah hal yang paling keren yang pernah saya alami. Saya duduk di ruangan gelap, menonton, cahaya yang ditembak dan mendengar suara itu benar-benar keren dan sangat hebat. Tidak ada yang bisa dibandingkan dengan suasana itu. Seperti bermimpi. Menakjubkan. Saya jatuh cinta. Kemudian saya mendapat sebuah kamera di rumah. Saya mulai membuat film hanya dengan keluarga dan teman-teman di depan kamera. Saya membuat film-film kecil, seperti film stop motion. Sejak saat itu, saya terus membuat film. Kemudian setelah sekolah menengah, saya menemukan bahwa orang-orang bisa melakukannya lebih profesional. Saya terus melanjutkannya. Rasanya dalam banyak hal, hal tersebut sama dengan yang saya lakukan sekarang.

Infoscreening (IS) = Apa film pertama yang kamu tonton bersama orang tua dan membuatmu jatuh cinta pada film?

Alex = The Lion King

IS = Di bioskop? Pertama kali dirilis di Denmark? Dalam Bahasa Inggris atau Bahasa Denmark?

Alex = Saya kira dalam bahasa Denmark. Tapi versi ganda dari film itu? Ya, saya tidak tahu cara membaca subtitle.

IS = Orang tuamu menjelaskan ceritanya atau kamu hanya fokus pada visual?

Alex = Saya merasa saya mengerti apa yang terjadi di film itu.

IS = Film itu seperti film sejuta umat.

Alex = Ya, film yang sangat hebat!

IS= Film apa yang sebenarnya membuat kamu ingin membuat film? Film apa yang akhirnya menginspirasi kamu? Siapa? Mungkin para pembuat film atau sutradaranya?

Alex = Saya kira ketika saya sudah agak besar, saya menemukan Lars Von Trier. Dia juga berasal dari Denmark. Dan saat itulah saya menemukan bahwa film itu bisa… Bahwa film bisa menjadi sesuatu yang lain juga. Bahwa film itu bisa menghibur dan lucu dan menarik, juga tetap eksperimental. Lars Von Trier sangat bereksperimen saat membuat film dan bermain-main dengan banyak hal. Saya pikir dia berhasil saat dia benar-benar menghibur, tapi juga menciptakan sesuatu yang lebih dekat dengan apa yang orang sebut sebagai arthouse. Dia menyentuh kedua area tersebut, film sebagai seni dan juga membuat film yang menciptakan reaksi pada penonton.

IS = Lars Von Trier melakukan banyak eksperimen, seperti Dogme 95. Dia juga membuat film musikal yang terasa berbeda bersama Bjork. Film yang sangat menarik. Dia juga membuat film fiksi ilmiah. Dia selalu bereksperimen dengan banyak genre & dipadukan dengan gayanya sendiri.

Alex = Ya, saya caranya. Saya suka “Dancer in the Dark”.

IS = Apa kamu pernah bereksperimen dengan Dogme 95?

Alex = Saya rasa setiap pembuat film di Denmark terinspirasi oleh gerakan tersebut karena tidak perlu banyak biaya untuk membuat film dengan cara itu. Maksud saya, film ini dibuat dengan sangat murah. Keberhasilan film Dogme menunjukkan bahwa jika kamu punya kamera, yang dimiliki semua orang saat ini, kamu bisa membuat film yang bagus. Tidak ada cahaya buatan di dalamnya. Semuanya disingkirkan. Tidak ada apa-apa. Tidak ada suara yang dimasukkan ke dalam pascaproduksi di Dogme. Dan tetap saja, filmnya sangat bagus. Film-film gaya ini memiliki penampilan yang bagus dari para aktor. Ceritanya juga bagus. Fokus pada cerita dari penulisan skenario dan penampilan para aktor. Kamu juga bisa membuat film dengan kamera yang murah. Saat ini, kita memiliki kamera yang lebih baik daripada kamera yang mereka miliki saat membuat film-film Dogme 95. Tentu saja, ketika saya memulai membuat film, pengalaman saya hampir seperti praktek Dogme 95. Saya pikir setiap pembuat film memulai dengan cara itu.

IS = Apakah kamu belajar di sekolah film atau kursus film?

Alex = Saya berpartisipasi dalam dua program di Denmark. Satu saya lakukan selama satu tahun. Ada kelas master di mana saya membuat dua film pendek dan kemudian saya mendaftar ke sekolah film bernama Super 8 di Denmark. Saya diterima dan belajar disana selama empat tahun.

IS = Menurut sebuah artikel, film pendek kamu diputar di Festival de Cannes, ya?

Alex = Film saya ditayangkan dalam program yang sangat kecil di samping, tetapi tidak di dalam acara festival utama. Saya pernah ke Cannes tiga kali dengan film pendek yang saya buat sebagai tugas sekolah film, seperti school trip atau semacamnya.

Putri = Sebagai tambahan, dalam Festival Film Cannes, ada kompetisi utama, tapi ada juga beberapa kategori film yang sebenarnya di luar kompetisi utama. Biasanya, semua sekolah film di Eropa, mereka akan melakukan study tour seperti yang Alex lakukan. Mungkin juga, tapi saya tahu bahwa beberapa sekolah film di Perancis dan Italia juga mengirimkan murid-muridnya ke sana, terutama jika film mereka bisa diputar di program kecil di Festival Film Cannes. Bukan di kompetisi utama, tapi ditayangkan di bioskop atau semacamnya. Progam ini adalah Short Film Corner, semacam market. Sekitar tahun 2015, 2016 juga, Indonesia masuk ke dalam Short Film Corner. Pada dasarnya, program ini bukan di Festival Film Cannes, tetapi terjadi pada saat yang sama ketika festival utama dilaksanakan.

Alex = Hal ini masih luar biasa bagi kami. Kami dapat akses ke festival. Jadi saya pergi dan saya menonton banyak film ketika itu.

IS = School trip ke Cannes itu luar biasa. Saya juga pingin. School trip kami biasanya ke Bandung, lebih jauh biasanya ke Jogja.

Alex = itu juga keren!

IS = Ceritakan dong tentang film panjang kamu… Pengalaman kamu mengerjakan film panjang dibandingkan dengan film pendek.

Alex = Di sekolah film saya, para siswa lama menjadi semacam pembimbing, seolah tidak ada guru. Para siswa memegang kendali. Mereka memprovokasi dan membuat terobosan. Seharusnya seperti ini dan tidak boleh diatur oleh siapa pun. Kami mencoba untuk membuat sesuatu yang inovatif ketika kami berkarya. Jadi kami memutuskan untuk membuat film panjang, bukannya film pendek sebagai film tengah semester. Kami memutuskan untuk menggunakan anggaran yang sama, tapi untuk membuat film panjang karena kami pikir kami bisa melakukannya. Saya langsung terjun ke dalamnya saat berusia 22 tahun dan langsung mengerjakannya dengan anggaran yang tidak terlalu besar dan mengerjakannya selama 30 hari. Saya melakukannya dengan cara yang sangat arogan dan naif, belajar sambil melakukan. Saya melakukan sesuatu, membuat banyak kesalahan di dalamnya dan melihat apa yang bisa dilakukan selanjutnya. Ada banyak hal yang menyenangkan. Di usia 20-an, kita terus maju dan berpikir, Oh, kita bisa…Jika mereka bisa melakukannya, kita juga bisa melakukannya.

Menurut saya, membuat film panjang memang butuh waktu lebih lama untuk syuting, tapi itu bagus. Saya pikir malah lebih baik. Ketika saya membuat film pendek, saya hanya memiliki waktu tiga hari, lima hari, mungkin tujuh hari, jika saya beruntung. Seluruh tim harus bekerja sama sebagai satu kesatuan. Saya pikir apa yang sering saya alami ketika membuat film pendek adalah waktu yang singkat untuk berada di tempat di mana seluruh tim bekerja bersama. Dan hal itu malah jauh lebih mudah pada film panjang karena saya memiliki waktu yang lebih lama untuk syuting, saya memiliki waktu yang lebih lama untuk mengerjakan sesuatu, dan ini sangat menyenangkan. Jadi dalam banyak hal, saya pikir membuat film pendek lebih sulit daripada film panjang. Dalam penulisan pun sulit untuk menemukan sesuatu yang sangat bagus yang dapat ditampilkan hanya dalam 10 menit atau lima menit, harus sangat tepat tentang sebuah cerita. Sulit untuk menemukan cerita yang begitu bagus sehingga bisa berdiri sendiri dalam waktu yang singkat. Di satu sisi, ini lebih mudah di dalam film panjang.

Menurut saya, hal yang paling sulit dalam film panjang adalah mengeditnya, karena saya mengambil banyak pengambilan gambar. Saya bisa saja punya seratus jam materi rekaman. Sangat banyak. Sulit untuk meringkasnya dan membuat semuanya berjalan dengan baik. Seluruh musik dan ritme film panjang benar-benar sulit. Semua itu menuntut saya untuk menontonnya berkali-kali. Sulit untuk melihat film yang sama berkali-kali dan masih mencoba untuk melihat dengan mata yang baru dan hal itu sangat, sangat melelahkan. Sehingga pengeditan adalah hal yang paling sulit.

IS = Terdengar sangat sulit. Kamu harus mengubah 100 jam menjadi 90 menit. Saya tidak bisa membayangkannya. Jadi untuk film layar lebarmu berikutnya, apakah kamu lebih siap?

Alex = Ya, tentu saja, saya merasa lebih siap.

Saya pikir kita tidak pernah sampai pada suatu tempat di mana kita merasa aman, selalu ada sesuatu yang baru dan selalu berubah. Seperti aktor-aktris yang sangat berbeda. Mereka seperti sebuah dunia tersendiri. Tidak ada aktor yang sama untuk diajak bekerja sama, begitu pula dengan kru. Selalu ada tantangan baru dalam prosesnya. Sama halnya dalam hidup. Kita berpikir bahwa ketika kita bertambah tua, semuanya akan menjadi lebih mudah. Tetapi kenyataannya adalah… saat-saat indah dan saat-saat buruk pun akan berhenti. Terus berganti. Saya selalu mencoba untuk memilih proyek yang memiliki sesuatu yang baru dan sesuatu yang belum pernah saya coba sebelumnya. Jadi saya juga menyukai kondisi pikiran di mana saya tidak merasa begitu yakin.

IS = Berbicara tentang film Anda yang diputar di Europe on Screen 2023, Esthers Orkester, yang bercerita tentang seorang pria dan wanita yang bertemu, dan kemudian sang pria harus melakukan aktivitas ketika istrinya meninggal dunia. Bagaimana kamu mendapat inspirasi untuk film ini?

Alex = Ada banyak hal dalam film ini yang didasarkan pada kehidupan saya dan penulis skenario tentang peristiwa yang terjadi pada saat itu, terutama terkait dengan peristiwa kematian mendadak. Di satu sisi, kita hanya melihat bagaimana kematian datang dengan sangat tidak tepat, meskipun sudah diperkirakan. Dan kemudian hal itu menciptakan seluruh kehidupan kita sehari-hari. Ketika hal itu terjadi, tentu saja, seluruh dunia kita berubah, tetapi segala sesuatu yang lain terlihat persis sama. Matahari masih terbit dan terbenam. Lalu lintas di pagi hari masih ada. Orang masih harus mengantarkan anak-anak ke sekolah. Dan hal-hal lainnya. Kami berpikir, ada sesuatu yang menarik yang terjadi di sini. Ada gesekan di dalamnya yang membuatnya menjadi sulit sekaligus lucu. Sedikit mirip seperti ketika cinta menyerang. Dengan cara itu, saya pikir kami mendapatkan ide untuk menceritakan sebuah kisah tentang hari pertama dan hari terakhir.

Saya rasa ini adalah pertama kalinya kami mencoba menulis sesuatu yang benar-benar ditulis berdasarkan karakter, di mana kami benar-benar mencoba membuat karakter yang bukan merupakan orang yang nyata dalam kehidupan nyata. Film ini dikerjakan selama pandemi dengan berbagai pembatasan, terbatasnya jumlah kru dan tes secara berkala.

Ada beberapa elemen komik di dalamnya, tetapi saya tidak akan menyebutnya sebagai komedi. Distributor kami menyebut film ini sebagai film drama.

IS = Apakah ini akan menjadi genre pilihanmu? Apakah proyek kamu berikutnya akan lebih banyak tentang komedi atau drama, atau kamu ingin mencoba berbagai genre?

Alex = Saya ingin terus mengeksplorasi genre yang berbeda. Saya sedang mengerjakan beberapa proyek saat ini dan sangat lambat untuk mendapatkan dana dan semacamnya. Salah satunya adalah film thriller yang berlatar belakang industri kesehatan. Lalu saya juga mengerjakan proyek film musikal. Ya. Saya pikir film saya berikutnya adalah film musikal.

Film musikal ini tentang hubungan yang panjang, seperti segala sesuatu antara jatuh cinta dan putus cinta. Semua hal yang menyentuh hati, hal-hal yang terjadi sehari-hari di tengah-tengah sebuah hubungan. Itulah musiknya.

IS = Bisakah kamu ceritakan tentang industri film di negaramu, Denmark? Kamu tadi bilang urusan finansial masih menjadi tantangan.

Alex = Sulit untuk mengatakannya. Ada berbagai dana di Denmark di mana sineas bisa mendapatkan uang.

Saya rasa ada kesempatan yang semakin terbuka terkait pembiayaan lain di Denmark. Banyak film yang mendapat dana ko-produksi di kawasan lain di Denmark. Para produser semakin kreatif dalam hal pembiayaan film karena mereka bisa membiayai film dengan berbagai cara. Jika mereka membuat film di tempat tertentu atau di kota tertentu, mereka bisa mendapatkan uang dari situ. Ada juga Institut Film Denmark dimana sineas juga bisa mendapatkan uang. Ini sangat sulit. Kami harus memiliki satu konsultan yang harus kami yakinkan untuk mendapatkan dana. Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan tentang hal ini. Tentu saja, sangat menyenangkan jika kita bisa mendapatkannya. Sangat keren kalau bisa mendapat dana dari pemerintah. Mereka menaruh uang ke dalam industri ini. Itu sangat menyenangkan. Dalam perspektif kreatif, kami juga kemudian… Maksud saya, kami mencoba untuk menyenangkan atau, entahlah, meyakinkan satu orang.

Kemudian kami mungkin akan mendapatkan dana untuk menulis satu draf. Kemudian kami harus mengirimkannya lagi. Mereka membacanya dan berkata, saya tidak suka itu. Saya suka itu. Kami harus mengubahnya. Dalam perspektif kreatif, ini sangat sulit. Ini adalah industri yang sulit.

IS = Kamu selalu membutuhkan konsultan untuk proyekmu?

Alex = Ya, kami selalu membutuhkannya di pasar. Dari mana pun kami mendapatkan uang, kami akan selalu membutuhkan konsultan.

IS = Apakah ini seperti pekerjaan konsultan? Maksud saya, kamu membayar konsultan?

Alex = Tidak. Konsultan tersebut disediakan oleh Institut Film Denmark. Seperti konsultan kreatif.

IS = Berapa kisaran budget untuk Esthers Orkester?

Alex = Film ini tergolong memiliki budget yang rendah.

IS = Berapa kisaran budget rendah di industri filmmu?

Alex = sekitar dua juta krone (EUR 260,000)

Obrolan berlanjut dimana Alex lantas menceritakan jumlah film Denmark yang rata-rata diproduksi selama setahun, yakni berjumlah dua puluh film. Sementara jumlah bioskop yang tersedia disana sekitar lebih dari seribu layar. Oleh karena itu, jadwal di bioskop juga diisi oleh film-film Hollywood dan film-film dari negara Eropa lainnya. Disana juga banyak terdapat bioskop-bioskop alternatif untuk film-film art. Terbalik dengan apa yang terjadi di Indonesia, jumlah produksi film bisa mencapai lima kali lipat setahun, namun belum sebanding dengan minimnya jumlah layar.

Baca juga artikel wawancara lainnya atau artikel menarik dengan sentuhan personal dari Ali Satri Efendi

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top