Artikel

Orizon Astonia: Eksplorasi Sinema yang Berbuah Apresiasi Karya

Saat kecil, Orizon Astonia berkenalan dengan dua hal yang kelak tidak bisa dipisahkan dari hidupnya: film dan cerita. 

Laki-laki 29 tahun tersebut gemar mengarang cerita saat bermain lego bersama teman. Ia juga mengaku terpesona dengan kemampuan film yang bisa menghanyutkan orang usai menonton di bioskop pertama kali dengan sang ayah. Kejadian tersebut terjadi ketika Orizon duduk di bangku SD. Sejak itu, ketertarikannya pada film juga cerita bertumbuh.

Meski jatuh cinta pada dua hal di atas, Orizon lebih dulu membuat cerita daripada film. Ia sering menulis cerita-cerita pendek dan menonton film. Baru saat SMA, Orizon berkenalan soal cara memproduksi film dari gurunya. Berbekal ponsel berkamera dan kisah yang sudah ia tulis, Orizon mulai membuat film pendek bisu. Ia baru memproduksi film dengan suara setelah diberi sebuah handycam

Kegemaran Orizon pada film dan cerita kemudian disadari orang tuanya. Mereka pun mendukung anaknya untuk mengenyam pendidikan tinggi yang fokus pada sinema. Film di antaranya berjudul Lewat Sepertiga Malam (2013), Pingitan (2013), Gadis Berkerudung Hitam dan Manusia Serigala (2014), Lukisan di Dinding (2017), dan Dongeng Mistis (2018) dibuat Orizon ketika kuliah dan selepas lulus. Tiga film yang disebutkan di awal bahkan terpilih untuk diputar di Jogja-Netpac Asian Film Festival dan festival film pendek dalam maupun luar negeri.

Lewat Sepertiga Malam (2013) salah satu film dari trilogi pesantren yang turut melambungkan Orizon Astonia di berbagai festival dan komunitas film Indonesia.

Tahun ini, Orizon bersama Nivory Pictures dan Rentjana merilis film baru berjudul Harimau Mati Meninggalkan BelangInfoscreening pun berbincang dengan Orizon via sambungan telepon bulan Juni kemarin tentang film-film yang telah ia buat, termasuk film teranyarnya yang diputar perdana pada bulan April lalu. Tidak lupa juga mengenai konsistensi Orizon membuat film dengan kesibukan pekerjaannya di luar dunia tersebut.

Apa yang menarik dari film sehingga kamu milih buat nyemplung di dunia ini?

Sebenarnya kalau ditanya itu klasik jawabannya. Karena waktu di bioskop itu orang bisa barengan ketawa atau ketakutan. Ini apa yang bisa bikin mereka ketawa, kaget, marah, dan sedih. Akhirnya itu yang buat saya mau jadi bagian dari film making, dari creating the storycreating the experience. Saya suka story telling dan film mengakomodir itu secara efisien dan efektif. Hal itu yang bikin saya akhirnya terpincut sama film making.

Waktu kuliah, kamu pernah enggak merasa kebingungan mau buat film apa karena film yang ditonton banyak yang bagus? Lalu, cara buat melewati situasi itu bagaimana? 

Itu jujur pertanyaannya sangat relate. Jadi saya itu nonton semua film yang tersedia di perpustakaan kampus. Terus kepikiran mau bikin apa ya dan ada saatnya jenuh juga dengan aturan-aturan sinematografi. Waktu itu melewati fasenya dengan cara berkarya. Saya coba bikin film yang keluar dari apa yang saya pelajari tetapi falsafah sama fondasi pengetahuan dari film making-nya tetap dipakai. Akhirnya bikin film yang enggak pakai aturan dari kampus dari segi cerita, dialog, kamera, audio, warna, serta editing. Dari situlah akhirnya saya makin terbentuk lagi dengan pengetahuan baru bahwa buat film ternyata enggak harus gitu lo. Kita bisa bikin film sesuai dengan pengalaman estetik sendiri.

Tahun ini karya terbaru kamu yang judulnya Harimau Mati Meninggalkan Belang dirilis. Bisa diceritakan film itu tentang apa sih?

Iya. Saya nulis ceritanya juga jadi sutradara. Film ini sebenarnya film kolaborasi, inisiatif dari Nivory Pictures yang jadi semacam rumah saya dan teman-teman yang terlibat untuk membuat cerita film. Karena kami ingin melebarkan sayap, akhirnya kami kolaborasi dengan Rentjana, salah satu commercial agency yang juga punya platform untuk bikin film pendek. 

Saya belum bisa bocorin banyak hal. Paling dari sisi saya aja karena film ini hasil kolaborasi. Kenapa saya bikin film ini karena kayaknya hal ini itu akan selalu terjadi. Saya nawarin sesuatu yang sifatnya memang hal ini kejadian terus lo, kita enggak bisa tinggal diam. Kayak gitulah ibaratnya. Ekshibisi film ini masih dalam proses diskusi cuma tahun ini memang direncanakan untuk menjadi tahun ekshibisi dan distribusi Harimau Mati Meninggalkan Belang.

Film PingitanGadis Berkerudung Hitam dan Manusia Serigala, serta Lewat Sepertiga Malam sarat dengan unsur mistis, agama, dan seksualitas. Kamu juga terlibat dalam pembuatan film Dongeng Mistis. Apakah kamu punya kegelisahan terhadap hal itu?

Bukan kegelisahan sih. Waktu menyusun cerita itu ada pengalaman estetik sendiri yang memang muncul di kepala saya. Saya tahu hal itu pernah terjadi. Jadi bukan mau bahas saya gelisah soal seksualitas atau agama. Saya melihat ada unsur itu di dalam pengalaman yang saya lihat ini. Ya, kehidupan remaja yang terlalu dibuai asmara dengan seksualitas itu ternyata dekat dan enggak bisa kalau enggak jujur bahwa hal ini terjadi.

Kalau soal mistis saya itu suka banget film horor dan selalu bercita-cita film pertama yang dibikin itu film horor. Tetapi kok bosan ya bikin film horor yang nanti menang melawan setannya terus terungkap siapa setannya dan ngangetin. Akhirnya saya mulai kenalan sama hal-hal mistis di Indonesia. Untuk film-film yang disebut memang saya mau menawarkan horor yang lain dan saya juga akrab sama ceritanya. Nah kebetulan saya besar di lingkungan yang lumayan kuat agamanya, yang di kepala saya ya yang saya paham itu aja.

Tetapi horor ini juga bisa jadi tools. Waktu film Pingitan itu saya mau bikin film remaja yang relate tetapi enggak mau tahu pokoknya horor. Pas story making saya susun gimana caranya ini akan terasa horornya. Saya enggak nampilinsetan, enggak ngangetin. Horor itu ya memang ada kan tetapi enggak jadi inti utama cerita. Teapi tetap saja orang nangkapnya film horor. Padahal menurut saya itu genre drama biasa. Haha.

Kamu bikin film tetapi bekerja di bidang bukan film. Menyeimbang dua hal itu selama ini bagaimana ceritanya?

Itu sebenarnya balik lagi ke diri sendiri. Mikirnya waktu itu saya komitmen. Bahkan saya sempat semacam bikin deal sama orang tua bahwa enggak akan ninggalin film tetapi saya janji akan kerja. 

Kerja di bidang bukan film itu malah bikin saya nemuin banyak cerita juga pengalaman baru. Akhirnya itu mendorong saya untuk bisa nge-balance antara kerja dan film. Oh ya, salah satu jembatan buat keduanya itu adalah saya jangan berhenti nonton film, saya jangan berhenti story making. Saya akan balik ke film ketika siap tetapi saya akan balik ke kerja ketika siap. Jadi saling kontribusi aja dua hal itu.

Ke depan apa ada rencana bikin film lagi?

Ke depannya saya tetap mau akan bikin film pastinya. Kalau film pendek itu pasti sih. Dalam waktu dekat mungkin kami, aku sama teman-teman, akan mulai buat film pendek lagi. Tetapi sekarang mau coba ngikutin tren. Media nonton film pendek sudah sangat variatif makanya kami mau coba hal baru lagi dalam membuat film pendek. Sekarang kan lagi ngetren konten di media video entah itu Youtube, TikTok, atau Instagram. Nah, kami mau coba bikin film pendek yang bisa masuk market itu. Kami mau coba untuk lebih bisa masuk ke ranah yang lagi happeningkarena itu sangat bisa jadi opsi buat tetap berkarya karena semua juga lagi terbatas. Bioskop, festival film kan lagi terbatas banget. Apalagi pemutaran film lagi terbatas banget. Jadi kami mau coba metode ekshibisi yang lain kayak gitu.

Baca artikel menarik lainnya dari Ajeng Nindias, atau berbagai kumpulan wawancara kami.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top