Film tak hanya berfungsi untuk menghibur penonton, tetapi juga dapat menjadi medium untuk mendidik dan mendiskusikan isu-isu krusial. Semangat ini yang mendasari penyelenggaraan Global Migration Film Festival (GMFF). Pada 10-18 Desember 2020 lalu, GMFF 2020 kembali digelar oleh International Organization for Migration. Tahun ini menjadi tahun kelima festival ini digelar, setelah pertama kali dihelat pada 2016 silam. Sama seperti festival film lain, GMFF tahun ini digelar secara virtual karena krisis pandemi Covid-19. Isu migrasi tetap menjadi napas utama dari festival film ini, dengan menayangkan 6 film terpilih.
Film dan migrasi sejatinya memiliki hubungan yang kuat jika dilihat dari sejumlah perspektif. Misalnya ada banyak film yang mengangkat kehidupan masyarakat imigran dari berbagai negara. Para pembuat film pun tak sedikit hidup sebagai seorang imigran di suatu negara sejak mereka kecil. Dapat disimpulkan juga bahwa migrasi menjadi hal yang dekat dengan masyarakat seluruh dunia, termasuk Indonesia.
“Rawuh” dan Isu Migrasi Indonesia
Bekerja di luar negeri sebagai tenaga kerja imigran masih menjadi cita-cita bagi sebagian masyarakat Indonesia. Harapan agar kesejahteraan keluarga di kampung terjamin, dengan tawaran penghasilan yang tinggi, membuat banyak tenaga kerja imigran abai pada prosedur migrasi. Hal ini berdampak kepada banyaknya tenaga kerja imigran non-prosedural yang tidak terdeteksi pemerintah.
Fenomena ini diangkat dengan apik lewat film Rawuh yang menjadi salah satu film pilihan di GMFF 2020. Film yang disutradarai oleh Agung Kurniawan ini mengangkat cerita fiksi tentang sepasang orang tua yang amat membanggakan anaknya lantaran bekerja sebagai seorang imigran. Keluarga tersebut bahkan rela menggelontorkan banyak uang di tengah kondisi finansial yang sedang tidak stabil demi menyambut kepulangan sang anak dari Malaysia. Malang, si anak justru pulang membawa kejutan yang tak diharapkan.
Meski tak ditampilkan secara eksplisit, Rawuh banyak menunjukkan realita yang berhubungan dengan fenomena migrasi di Indonesia. Pertama, menjadi tenaga kerja imigran ternyata masih menjadi kebanggan oleh sebagian keluarga di Indonesia. Keadaan itu dialami langsung oleh Agung di daerah asalnya, Jember, yang sekaligus menjadi inspirasinya untuk membuat film Rawuh. “Secara fenomena, masyarakat Jember memandang tenaga kerja Indonesia sebagai pekerjaan yang sangat menguntungkan bagi keluarga. Karena ketika kembali ke Indonesia, pekerjaan mereka dianggap terjamin,” ungkap Agung dalam sesi diskusi. Kedua, beberapa kali disebutkan pula di dalam film bahwa sang anak menjadi tenaga kerja imigran dengan cara non-prosedural. Dengan demikian, ia kerap dihantui berbagai ancaman akibat tidak terdata oleh pemerintah.
Menyuarakan Kesadaran Isu Migrasi
Dengan berbagai persoalan di atas, kehadiran GMFF 2020 menjadi momentum bagi para pembuat film untuk menyuarakan fenomena migrasi yang masih jarang diungkap. Festival ini juga menjadi ajang bagi para imigran dan komunitas/organisasi yang bergerak di isu migrasi untuk menceritakan berbagai pengalamannya. Salah satunya dari Bethany International Church Macau (BiC Mac) yang tidak hanya bergerak dalam agenda keagamaan, tetapi juga menjadi wadah bagi imigran Indonesia di Makau untuk saling berbagi dan menghibur.
Baca juga: Global Migration Film Festival 2020 Tetap Hadir di Tengah Pandemi
Setelah sukses diselenggarakan, Global Migration Film Festival membuktikan bahwa mereka merupakan festival film yang cukup konsisten menyuarakan kesadaran isu migrasi. Senada dengan tujuan festival ini, fenomena migrasi di berbagai penjuru dunia memang patut untuk disuarakan dan dirayakan. Semoga di tahun-tahun selanjutnya makin banyak film yang menggangkat isu migrasi. Tak hanya cerita dari Jember, tapi juga pelosok Indonesia lainnya. Sampai jumpa tahun depan!
