Siaran Pers
Aceh Documentary memperingati Hari Film Nasional pada 30 Maret 2021 dengan mengadakan pemutaran perdana film fiksi pendeknya “Suloh” di Mini Teater BPNB Aceh, Banda Aceh. Diproduksi di masa pandemi, film ini merupakan hasil kerja sama dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh-Sumut.
Film “Suloh” bercerita tentang seorang ibu yang berdebat di hadapan tokoh masyarakat saat persidangan di desa. Persidangan meminta keluarga bertanggung jawab dan membayar ganti rugi atas kaca mobil yang dipecahkan, akibat kelalaian menjaga anaknya yang berkebutuhan khusus. Suloh sendiri adalah istilah yang digunakan untuk nama persidangan adat yang dilakukan di desa-desa di Aceh. Menurut Azhari, sang sutradara, suloh berasal dari akar kata bahasa Arab yang berarti kemaslahatan.
Inspirasi “Suloh”
Film berdurasi 18 menit ini, mengambil lokasi meunasah (surau/mushalla) yang menjadi tempat beribadah dan bermusyawarah bagi masyarakat desa di Aceh. “Film ini terinspirasi dari pengalaman personal saya ketika melakukan syuting film dokumenter di kabupaten Bireuen, Aceh. Saat itu kaca mobil kami dipecahkan oleh seorang anak dengan gangguan jiwa dan kami diundang dalam sebuah rapat desa untuk menyelesaikan masalah tersebut” kisah Azhari dalam diskusi.
“Saya langsung setuju untuk memproduksi film ini ketika ide cerita ini dipaparkan. Bagi saya suloh ini bisa mendiskusikan duduk perkara mengenai kebudayaan yang sudah mengalami penyempitan makna selama ini. Di Aceh, seni, adat, dan kebudayaan hanya dianggap sebatas tarian, pakaian adat, dan sebagainya. Padahal, tata cara menyelesaikan masalah dalam tingkat desa juga merupakan kebudayaan Aceh yang masih ada sampai sekarang” kata Irini, selaku eksekutif produser.
Bahan Refleksi
Film “Suloh” diharapkan bisa diterima oleh masyarakat Aceh dan luar Aceh sebagai bahan refleksi dan diskusi terkait pengadilan adat di tingkat komunitas dan desa. Apalagi terkadang pengadilan negara tidak menyelesaikan masalah keadilan di tingkat akar rumput secara kultural. Beberapa kasus justru menimbulkan masalah baru, seperti rumitnya proses birokrasi pengadilan.
“Dalam film ini saya juga menantang para aktor untuk bisa berperan seutuhnya sebagai masyarakat desa yang berbeda-beda karakter dan emosionalnya. Kemudahannya adalah semua orang Aceh pasti pernah merasakan pengalaman mengikuti persidangan di desa, jadi para aktor bisa lebih mudah berperan dengan karakternya masing-masing” Kata Azhari.
Baca juga: Dokumenter “House No.15” Berkompetisi di RAI Ethnographic Film Festival 2021
Ia juga berharap dengan film “Suloh” ini, semangat produksi film di Aceh bisa mengambil peran dalam perfilman Indonesia. “Apa yang bisa kita pelajari dari Usmar Ismail pada Hari Film Nasional kali ini adalah semangatnya menuangkan nasionalisme Indonesia lewat film. Semangat tersebut harus kita ambil untuk membangkitkan perfilman di daerah yang jauh dari ibu kota Jakarta” tutup Azhari.
