Setelah tahun lalu membawa empat film pendek Indonesia, yakni Jagal karya Dipta Diwangkara, A Silent Night karya Yopi Kurniawan, Sugih karya Makbul Mubarak, dan The Flower and the Bee karya Monica Tedja, tahun ini Raketti Films selaku organisasi yang memiliki fokus terhadap publikasi dan distribusi film Indonesia kembali memilih beberapa film pendek untuk diedarkan. Film-film pendek tersebut antara lain Bunga dan Tembok karya Eden Junjung, Ilalang Ingin Hilang Waktu Siang karya Loeloe Hendra, Seko karya Galang E. Larope, dan Wabah karya Makbul Mubarak.
Kineforum merupakan salah satu tempat ditayangkannya empat film pendek tersebut, yaitu sejak tanggal 16 hingga 21 November 2016 pada jam 14:15 dan 19:30. Sementara sesi diskusi dilaksanakan pada tanggal 19 dan 20 November saja, juga di jam 14:15 dan 19:30. Kami sempat datang pada penayangan kedua tanggal 19 November lalu. Kineforum ramai dengan penonton-penonton yang antusias. Dan seluruh kursi pun penuh terisi. Ketika film dimulai, suasana seketika hening dan khidmat menuruti arus alur film-film yang diputar. Terutama di kedua film awal yang bernuansa hitam putih dengan minim dialog dan panorama yang menawan. Penonton musti memperhatikan tiap detil durasi serta ekspresi karakter-karakter yang menghanyutkan.
Film Bunga dan Tembok dibuka dengan cukup mengejutkan dan menarik dengan one single shot di sebuah rumah dan suatu ritual (saya pribadi awalnya mengira film ini akan menggunakan one shot sepanjang durasinya, ternyata ada hal-hal lain yang perlu disampaikan). Lalu beralih ke sebuah perjalanan Ibu dan Anak yang ganjil, dimana mereka harus membuat surat kematian untuk sang kepala keluarga. Sementara mereka masih yakin ia masih hidup. Film ini adalah tentang istri dan anak sang Penyair ternama, Wiji Thukul. Kembali tentang kehilangan, film Ilalang Ingin Hilang Waktu Siang dibuka dengan adegan seorang anak yang memanggil-manggil Bapaknya dengan latar suasana langit yang menawan. Lalu film bergulir pada hubungan antara si anak dan neneknya yang terus dalam pencarian di malam-malam berikutnya, uang logam yang dibuat tahun 1998 yang mengandung emas, serta mitos-mitos yang terus menyebar.
Film ketiga adalah film animasi yang berjudul Seko. Awalnya film ini terkesan begitu ceria dengan keriangan anak-anak yang bermain di sungai sehabis pulang sekolah. tapi setelah berbagai “penampakan” yang mengikuti si anak, pasti ada sesuatu di balik itu semua. Benar saja, di tengah malam, ledakan- ledakan dahsyat menghantui desa tersebut. Film ini merupakan pengalaman pribadi sang sutradara (berdasarkan apa yang ditulis di akhir film). Dan film keempat yang berjudul Wabah kembali membawa nuansa hitam putih. Seorang lelaki yang harus pergi beberapa saat harus menitipkan kucingnya kepada sang kekasih. Ia minta kucing tersebut segera diperiksakan ke dokter hewan. Namun sang kekasih kunjung tak ada kabar, beriringan dengan kehilangan-kehilangan yang lainnya.
Dan semua film mempunyai benang merah yang begitu jelas: kehilangan. Apakah disengaja?
Damar Adi pada sesi diskusi malam itu mengatakan, kesamaan tema sungguh tidak disengaja. Setelah tahun lalu sukses dengan empat film pendek, tahun 2016 ini ia dan timnya pada dasarnya kembali mencari film-film yang segar, yang memiliki penceritaan dan penyajian tidak biasa. Film pertama yang mereka pilih adalah film Ilalang Ingin Hilang Waktu Siang dimana sang sutradara, Loeloe Hendra telah memiliki nama yang diperhitungkan pasca film sebelumnya, Onomastika berkeliling di berbagai macam festival film dan penayangan. Film kedua yang mereka temukan adalah Bunga dan Tembok yang merupakan karya perdana Eden Junjung. Ismail Basbeth lah yang mengilhami Damar Adi dan tim untuk memilih film ini. Sementara Seko sebenarnya ditemukan setelah mereka memilih film Loeloe Hendra. Tapi karena ada bagian-bagian film yang harus diperbaiki, maka film karya Galang E. Larope ini menjadi film terakhir yang diserahkan pada Raketti. Sementara bagi Makbul Mubarak dengan filmnya Wabah, ini adalah kali kedua filmnya didistribusikan oleh Raketti Films setelah tahun lalu “Sugih” juga mendapat perhatian yang sama.
Pada diskusi yang berjalan santai, Loeloe Hendra mengutarakan bahwa film Ilalang pada awalnya ia maksudkan untuk menjadi film panjang yang ia presentasikan di Southeast Film Lab. Tapi karena berbagai alasan, cerita ini ia buatkan film pendek terlebih dahulu. Film ini bercerita tentang krisis yang terjadi pada tahun 1998. Dan ia memilih mengambil sudut kejadian yang memiliki kemiripan dengan peristiwa tersebut. Film ini didukung Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sementara apa yang mengilhami dibuatnya film Bunga dan Tembok adalah obrolan antara sang filmmaker, Eden Junjung dengan Fajar Merah, sahabatnya (yang merupakan putra Wiji Thukul). Judul film ini merupakan interpretasi dari sebuah puisi karya sang maestro sendiri, dimana Eden menerjemahkannya ke dalam film, sementara Fajar Merah ke dalam lagu. Eden mengatakan, film ini dibuat dengan aspek rasio 1:1 dikarenakan fokusnya untuk mengikuti subyek dan supaya penonton bisa memberikan perhatian utamanya pada para tokoh di film tersebut. Nuansa hitam putih yang dipakai adalah demi menghilangkan berbagai warna yang mengganggu jalannya cerita. Sementara one long take yang ada di awal film pada proses syuting terjadi pengulangan kurang lebih sebelas kali.
Film Wabah oleh Makbul Mubarak dibuat atas cerita yang ia alami sendiri dimana sepupunya yang tinggal di Kendari hilang begitu saja tanpa jejak. Lalu ia ceritakan keinginannya untuk membuat film tentang kehilangan ini pada timnya. Namun sayang, Art Director nya pada saat itu belum bisa klik dengan cerita Makbul tersebut. Akhirnya mereka membuat berbagai penyesuaian pada cerita film ini. Walaupun tidak sepenuhnya persis dengan apa yang dialami, tapi esensinya memiliki kesamaan. Sementara kucing yang tampil dalam film ini adalah kucing Makbul sendiri. “Mungkin sepuluh tahun lagi dia sudah enggak ada, jadi film ini bisa menjadi sebuah persembahan buat dia” kurang lebih celotehnya seperti itu.
Begitulah sesi pemutaran diskusi malam itu, berjalan lancar dan cukup hangat dan ditutup dengan foto bersama dan tak lupa bergaya dengan aplikasi boomerang agar tetap kekinian. Untuk mendukung sineas-sineas muda dan film-filmnya yang segar agar film-film mereka dapat terdistribusi secara luas dan ditonton banyak orang, kegiatan yang dilakukan oleh Raketti Films menjadi penting. Pun organisasi-organisasi lain yang memiliki program serupa. (Ali Satri Efendi).
