Artikel

Jakarta Film Week 2021, Tanda Geliat Sinema Indonesia

JAKARTA – Perhelatan Jakarta Film Week menandakan kembalinya geliat industri perfilman di tanah air setelah hampir 20 bulan dilanda krisis akibat pandemi Covid-19. Pemutaran perdana  film, diskusi, dan apresiasi karya sineas dari berbagai belahan dunia telah bisa dirasakan kembali sebagai suatu pengalaman kolektif para penikmat sinema. 

Jakarta Film Week (JFW), yang digelar secara perdana, dirayakan dengan sederet kegiatan; lebih dari 10 seminar dan community events yang melibatkan lebih dari 20 narasumber, dan pemutaran 72 film dari 30 negara. Seluruh rangkaian acara dilaksanakan selama 18-21 November 2021, di tiga tempat berbeda; CGV Grand Indonesia, Metropole XXI, dan Ashley Hotel. 

Baca juga: Gubernur dan Ranah 3 Warna Buka Jakarta Film Week

“Jakarta Film Week telah memutar 72 film dari 30 negara, dan mempertemukan film-film tersebut dengan 2.500 lebih penontonnya melalui 37 pemutaran di CGV Grand Indonesia dan XXI Metropole. Serta puluhan ribu viewers melalui 33 film di Video.com. Melalui film-film yang terkurasi dan kami putar, Jakarta Film Week telah mewartakan begitu banyak budaya, keragaman cerita, originalitas gagasan, keunikan cara bertutur yang memberi makna dan pengalaman bagi penontonnya,” tutur Festival Director Rina Damayanti, Minggu (23/11/2021).

Penyelenggaran festival film bertaraf internasional ini merupakan kolaborasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf), bersama dengan Super 8 MM Foundation. 

“Kehadiran Jakarta Film Week telah melengkapi ekosistem perfilman terutama di Jakarta dengan hadirnya festival bertaraf internasional. Selain menjadi momentum bangkitnya industri film Indonesia di masa pandemi, festival ini bisa membuka kembali wadah pertemuan antara penonton dan pembuat film, dan berkumpulnya pencinta dan sineas film juga dapat membawa pertumbuhan industri film ke arah yang lebih baik lagi,” ujar Kepala Disparekraf DKI Jakarta Andhika Permata, Minggu (21/11/2021). 

Global Feature Award, merupakan penghargaan tertinggi untuk film-film panjang Indonesia dan internasional, sedangkan Global Short Award untuk film-film pendek Indonesia dan internasional. Lalu, Direction Award merupakan penghargaan untuk film Indonesia terbaik yang diputar di JFW. Terakhir, Jakarta Film Fund yang merupakan program khusus bagi warga DKI Jakarta berupa pemberian fasilitas pendanaan produksi, editing online, workshop, dan pendampingan oleh mentor professional. 

Berikut film-film yang berhasil memenangkan penghargaan pada JFW 2021:

  • Global Feature Award: 
  • Pemenang: Petite Maman oleh Celine Sciamma (Prancis)
  • Special Mention: Money Has Four Legs oleh Maung Sun (Myanmar)
  • Global Short Award:
  • Pemenang: The Girls are Alright oleh Gwai Lou (Malaysia)
  • Special Mention: Diary of Cattle oleh Lidia Afrilita dan David Darmadi (Indonesia)
  • Jakarta Film Fund untuk Short Film (Indonesia):
  • Pemenang: Ringroad oleh Andrew Kose 
  • Special Mention: One Night in Chinatown oleh William Adiguna
  • Direction Award (Indonesia):
  • Pemenang: Dari Hal Waktu oleh Agni Tirta
  • Special Mention: Death Knot oleh Cornelio Sunny

Adanya JFW di tahun kedua pandemi ini, juga menjadi momentum untuk membangkitkan kembali dan memulihkan industri perfilman tanah air dari sisi ekonomi. Dengan pemutaran film-film dalam negeri maupun mancanegara—yang sebagian rencananya akan diputar di bioskop tanah air secara massal ke depannya—diharapkan bisa mengajak masyarakat secara luas untuk kembali merasakan pengalaman menonton di bioskop, khususnya di DKI Jakarta. Hal ini tentunya bisa ikut mendorong pertumbuhan ekonomi.

Seperti diketahui, saat ini DKI Jakarta sudah memasuki Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 1. Pada PPKM level ini, kegiatan di bioskop dibuka kembali dengan normal, akan tetapi dengan tetap menjaga protokol kesehatan. Terkait dengan capaian vaksinasi, lebih dari 11 juta warga DKI Jakarta sudah mendapatkan vaksin Covid-19. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria berharap agar capaian ini ditingkatkan dan sejalan dengan itu, protokol kesehatan termasuk di bioskop selalu dijaga agar pemulihan di sektor industri ini bisa melanjutkan pemulihannya. 

“Atas kesuksesan pelaksanaan Jakarta Film Week ini, semoga event ini dapat mendorong pemulihan ekonomi nasional sektor kreatif dan perfilman di tanah air. Khususnya di DKI Jakarta. Serta tak kalah pentingnya untuk menjadi media membangun sinergi seluruh komunitas perfilman nasional dan mancanegara, serta memperluas jejaring pemasaran dan kerja sama sektor perfilman, dan ke depannya bisa diselenggarakan secara berkesinambungan,” kata Riza. 

Menonton karya Jeihan, Celine, dan Carlos

Penulis mendapatkan kesempatan untuk menghadiri tiga pemutaran perdana film di JFW tahun ini; Just Mom (Indonesia) karya Jeihan Angga, Petite Maman (Prancis) karya Céline Sciamma, dan film penutup festival Whether the Weather is Fine (Filipina/Indonesia/Prancis/Jerman/Singapura/Qatar) karya Carlo Fransisco Manatad. 

Film pertama yang ditonton penulis adalah Just Mom, arahan Jeihan Angga (Mekah I’m Coming). Film ini berfokus pada kehidupan Siti (Christine Hakim), yang kerap merasa kesepian setelah kedua anak terbesarnya tumbuh dewasa dan menjalani kehidupannya masing-masing (diperankan oleh Niken Anjani dan Ge Pamungkas). Sejak sebelum pensiun dari profesi sebagai perawat, Siti sudah dikenal memiliki sebagai pengayom dan penyayang. Hanya Jalu (Toran Waibro), anak angkat Siti, yang tinggal dan memahami keadaan pikiran ibunya, serta kondisi kesehatannya yang mulai memburuk akibat kanker. Suatu hari, kehidupan usia senja Siti yang dirundung kesepian berbalik 360 derajat, saat dirinya memutuskan untuk merawat Murni (Ayushita), ODGJ yang sedang hamil besar, untuk dirawat seperti anaknya sendiri. 

Just Mom atau Ibu merupakan karya Jeihan Angga setelah Mekah I’m Coming (2020). Hanung Bramantyo merupakan produser dari kedua film tersebut. Pada sesi QnA setelah pemutaran film, Jeihan mengaku proses pembuatan film ini sangat terdampak oleh pandemi Covid-19. Karena, proses pembuatan film berlangsung pada sekitar awal pandemi di awal 2020. Dia menyebut proses syuting sempat tertunda beberapa bulan, dan baru dilanjutkan ketika protokol darurat Covid-19 sudah diterapkan secara nasional di Indonesia.

“Baru 11 hari syuting, dan kita berhenti dulu karena ada Corona,” jelas Jeihan, yang hadir di sesi QnA bersama seluruh cast Christine Hakim, Ayushita, Niken Anjani, Ge Pamungkas, Dea Panendra, dan produser Hanung Bramantyo. 

Seperti halnya, Just Mom, film berikutnya yang ditonton oleh penulis juga mengeksplorasi sudut pandang seorang ibu. Namun, Petite Maman (2021), film panjang kelima dari Celine Sciamma sebagai sutradara, menyajikan perspektif kehidupan seorang ibu dari kacamata yang berbeda; yaitu melalui seorang anak kecil. Nelly (Josephine Sanz) pergi ke rumah neneknya yang baru saja wafat, bersama kedua orang tuanya, untuk membereskan barang-barang dari rumah mendiang. Di tengah proses membersihkan rumah tersebut, Nelly bertemu dengan anak perempuan sebayanya, Marion (Gabrielle Sanz) di hutan dekat rumah neneknya. Kedua anak kecil tersebut langsung menghabiskan waktu bersama dengan bermain, memasak, dan membahas apa artinya menjadi seorang ibu. Namun, tidak butuh waktu lama sebelum Nelly mengetahui siapa teman barunya itu sebenarnya. 

Karya Sciamma yang diputar perdana di Berlin Film Festival 2021 ini subtil, namun akan meninggalkan perasaan dan pertanyaan yang sama besarnya di hati para penonton—betapa sederhana sekaligus kompleks sudut pandang seorang anak kecil dalam melihat dunia di sekitarnya, dan hal apa yang paling ingin kita sampaikan kepada ibu kita. Petite Maman, yang akhirnya dipilih oleh juri JFW 2021 sebagai pemenang Global Feature Award ini, juga merupakan suatu gambaran unik tentang bagaimana seseorang memproses duka yang mendalam. 

Dysan Aufar, Co-Founder dan CEO Misbar.ID, yang mendistribusikan Petite Maman, mengatakan bahwa ini adalah kedua kalinya film Sciamma dibawa ke Indonesia. Sebelumnya, film Sciamma pemenang Best Screenplay di Cannes Film Festival 2019 Portrait of a Lady of Fire, diputar perdana secara eksklusif di IFI, Jakarta Pusat. Dysan menyebut pihaknya berencana untuk membawa Petite Maman untuk roadshow di Indonesia, dan diharapkan bisa diputar di bioskop umum. 

Trailer resmi Petite Maman karya Celine Sciamma

Film penutup festival sekaligus film terakhir yang penulis tonton, Whether the Weather is Fine atau Kun maupay man it panahon, merupakan film kolaborasi antar enam negara, termasuk Indonesia. Film ini adalah debut penyutradaraan dari Carlo Fransisco Manatad, yang diadaptasi dari kisah nyata topan Haiyan pada 2013. Topan tersebut menghantam kawasan Filipina Tengah, dan memakan lebih dari 5.000 korban jiwa. Film yang sudah sempat diputar di Locarno Film Festival 2021 ini adalah cerita yang didasarkan dari pengalaman pribadi Manatad pada delapan tahun silam.

Miguel (Daniel Padilla) merupakan salah satu korban topan tersebut, dan sedang berusaha untuk menyeberang ke Manila setelah ada kabar bahwa badai lanjutan akan kembali datang. Bersama dengan temannya, Andrea (Rans Rifol), dan ibunya Norma (Charo Santos-Concio), Miguel berusaha bisa naik kapal yang akan menyeberangkannya ke ibu kota. Dalam perjalanan ketiga karakter sembari menyusuri daerah yang luluh lantak, Manatad bermain dengan sejumlah simbolisme yang menggambarkan situasi sosial-politik pada saat bencana tersebut. Pada akhirnya, Whether the Weather is Fine merupakan refleksi dari ragam state-of-mind dari orang-orang yang berbeda, namun dalam suatu bencana massal yang sama. 

Yulia Evina Bhara, produser Whether the Weather is Fine dari Indonesia, menyebut prestasi yang didulang oleh film-film Indonesia belakangan ini tidak lepas dari bangkitnya film-film dari kawasan Asia Tenggara. Oleh sebab itu, kolaborasi ini merupakan manifestasi dari geliat industri perfilman di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. 

Menghadiri Jakarta Film Week adalah menyaksikan kembali bangkitnya keseluruhan ekosistem perfilman Indonesia, melalui berjalannya festival dan ketiga pemutaran perdana film. Mulai dari film Just Mom  yang akhirnya diputar perdana setelah berbulan-bulan tertunda karena pandemi; Petite Maman karya sineas kondang Prancis yang berhasil dibawa ke tanah air oleh distributor independen Misbar ID; dan Whether the Weather is Fine yang salah satunya merupakan produksi Indonesia dan menandakan bangkitnya sinema Asia Tenggara. 

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top