Berita
Bagaimana Dua Budaya Melihat Bencana dan Kematian dalam Drama Fantasi “Laut”
Setelah sukses menutup Pekan Sinema Jepang pada 16 Desember 2018 lalu, film The Man from The Sea (Laut), garapan sutradara Jepang Koji Fukada, segera rilis di bioskop reguler Indonesia mulai tanggal 14 Februari 2019.
Film produksi Kaninga Pictures yang berkolaborasi dengan Nikkatsu dan Comme Des Cinemas ini juga menghadirkan kolaborasi aktor dan aktris dari Indonesia dan Jepang. Salah satunya adalah Dean Fujioka, aktor kenamaan dari Jepang yang akan beradu akting dengan Adipati Dolken.
Film berdurasi 107 menit ini berlatar peristiwa tsunami yang melanda Aceh dengan genre drama fantasi. Mengisahkan tentang warga Aceh yang menemukan seseorang yang terdampar secara misterius, namun kemudian diketahui ia memiliki kekuatan ajaib yang dapat menyembuhkan orang sakit. Kekuatan ajaib tersebut rupanya memiliki konsekuensi yang berdampak pada orang lain. Pada titik inilah penonton akan disuguhkan plot twist yang menarik.
Baca juga: Dari Hari Terakhir Pekan Sinema Jepang 2018
Selama Pekan Sinema Jepang, Infoscreening sendiri berkesempatan melakukan wawancara eksklusif bersama sang sutradara yang sebelumnya telah menyutradarai film Harmoniun ini.
Awal Mula Proyek The Man From The Sea (Laut)
Pada wawancara tersebut Koji terlebih dahulu memaparkan perihal pengalamannya terlibat sebagai kamerawan dalam simposium yang diadakan di Aceh oleh Universitas Syiah Kuala bersama Universitas Kyoto Jepang tentang rekonstruksi bencana tsunami. Saat itu Jepang baru saja ditimpa bencana besar bulan Maret 2011.
Satu minggu berada di Aceh meninggalkan kesan bagi Koji karena ada perbedaan bagaimana masyarakat Jepang dan Indonesia melihat bencana. Hal lainnya bagaimana kedua negara melihat kematian. Sebagai contoh, ia melihat ada kapal yang tersangkut saat tsunami Aceh dibiarkan dan dijadikan sebagai monumen peringatan. Di Jepang sisa bencana seperti ini biasanya dibereskan karena akan membangkitkan memori yang tidak mengenakkan. Pengalaman-pengalaman tersebut, menjadi landasan dibuatnya karya ini dan prosesnya dimulai dua tahun setelahnya.
Baca juga: Laut – Merayakan 60 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia-Jepang
Koji mengaku tidak begitu ingat semua ide seputar film The Man from the Sea – mengapa alasannya membuat film fantasi untuk merefleksikan pengalamannya tersebut – namun ketika mulai bekerja untuk karya ini, ia hanya teringat akan sebuah citra tentang seorang lelaki hilang ingatan yang muncul dari laut. Citra ini ia kombinasikan dengan sosok anak laki-laki ajaib yang muncul dari kisah Mark Twain.
Ditanyai mengenai film Jepang saat ini dengan adanya Shoplifters (Kore Eda Hirokazu), Narratage (Isao Yukisada), dan film dari Koji sendiri Harmonium yang banyak membicarakan seputar masalah sosial di Jepang. Koji melihat belum banyak sineas atau pembuat film Jepang yang mengangkat seputar isu sosial di negaranya sendiri, apalagi bila dibandingkan dengan film-film di Prancis yang kini banyak mengangkat tentang imigrasi maupun kebijakan pemerintah. Jepang termasuk negara yang bebas dan tidak ada sensor, meski begitu entah mengapa karya yang mengkritik hal yang ada di tengah masyarakat belum begitu banyak. Koji sendiri mengaku dengan sadar mengangkat kehidupan sehari-hari, termasuk masalah sosial dalam film-film yang ia buat.