Artikel

Lagu untuk Anakku: Tentang Musik yang Menguatkan Penyintas 1965

Posted on

Periode 1960-an menjadi masa yang suram bagi Utati dan Mudji. Keduanya ditahan di Penjara Bukit Duri, Jakarta. Mereka ditangkap karena mengikuti kegiatan Pemuda Rakyat, sebuah organisasi sayap pemuda Partai Komunis Indonesia (PKI). Utati dijemput dengan paksa kemudian dimasukkan ke dalam bui pada tahun 1967, ketika usianya 23 tahun. Sementara, Mudji ditangkap lalu ditahan pada tahun 1965 saat berumur 17 tahun.

Utati menggemari seni sejak kecil. Ia ditawari untuk mengikuti Pemuda Rakyat oleh kenalannya ketika pindah ke Jakarta. Utati pun masuk dan mengikuti aktivitas organisasi tersebut di bidang tari dan menyanyi. Mudji bergabung dengan Pemuda Rakyat karena dorongan sang ayah yang ingin dirinya terlibat dalam kegiatan berorganisasi. Dia lantas menjadi anggota paduan suara dan olahraga. Mudji juga mengikuti aktivitas kerja bakti yang diadakan kelompok tersebut.

Mudji mendekam di Penjara Bukit Duri selama enam tahun. Ia lantas dipindahkan ke Kamp Plantungan, Jawa Tengah dan ditahan di sana delapan tahun. Sementara itu, Utati menghabiskan 11 tahun di Penjara Bukit Duri. Keduanya ditahan tanpa pernah diadili serta tidak tahu kapan bisa kembali kepada keluarga. Oleh petugas, Utati dan Mudji diminta untuk mengakui perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan di bawah ancaman pukulan, setrum, dan lain-lain.

Selama di dalam penjara, baik Utati maupun Mudji tetap aktif berkesenian. Kesukaan pada seni tersebut kemudian mereka salurkan kembali ketika bergabung dengan Paduan Suara Dialita yang beranggotakan ibu-ibu penyintas kejadian tahun 1965. Kegiatan kelompok Dialita, termasuk cerita para pegiatnya juga lagu yang mereka nyanyikan dalam album musik pun direkam dengan baik oleh Shalahuddin Siregar dalam film dokumenter Lagu untuk Anakku. Film ini diputar perdana melalui kanal Youtube Negeri Films pada Sabtu (12/03) kemarin.

Shalahuddin Siregar menjelaskan bahwa Lagu untuk Anakku merupakan film dokumenter panjang keduanya, sebagaimana unggahan di akun Instagramnya. Beberapa pihak seperti DMZ Doc Fund dan In-Docs memberikan pendanaan kepada film yang direkam antara tahun 2016 hingga tahun 2019 tersebut.

Lagu untuk Anakku tadinya hendak dirilis pada bulan Desember tahun 2019, namun rencana ini gagal dan pandemi membuatnya harus beradaptasi dengan ruang pemutaran” jelas Shalahuddin

Baca juga: Memori, Imajinasi, dan Terapi dalam Film Indonesia Sejak Tahun 1998

“Seperti tujuan awal bahwa film ini untuk ditonton sebanyak mungkin orang, maka Youtube adalah platform yang paling tepat. Tidak semua film harus dirayakan di ruang menonton yang proper supaya pengalaman menonton lebih kaffah. Menunda rilis film sama sekali bukan pilihan karena kita tidak pernah tahu kapan pandemi ini terkendali dan orang bisa berkumpul untuk menonton dengan aman, terutama buat para lansia seperti para anggota Dialita,” tambahnya, dikutip dari unggahan Instagram.

Di samping penayangan perdana Lagu untuk Anakku, sebuah diskusi yang dimoderatori penyanyi sekaligus aktivis Kartika Jahja juga diadakan pada hari yang sama. Pada kesempatan tersebut, Utati dan Mudji hadir sebagai pembicara mewakili Paduan Suara Dialita. Utati menjelaskan bahwa lagu-lagu yang dinyanyikan Dialita, antara lain; Kupandang Langit, Lagu untuk Anakku, Kabut Putih, dan Taman Bunga Plantungan diciptakan selama mereka berada di penjara. Ia dan Mudji mengumpulkan arsip dokumentasi serta penulisan ulang lagu-lagu tersebut.

Utati mengatakan bahwa musik menjadi penguat dirinya dan para ibu lain ketika dipenjara lebih dari 10 tahun tanpa ada kejelasan terhadap kesalahan apa yang mereka perbuat dan kapan mereka akan pulang. “Sebelum masuk Bukit Duri saya di Koramil Kebayoran Baru. Saya dan dua teman lain menyanyi ketika kantor sepi saat malam hari. Masuk Bukit Duri ketemu orang yang sama yang berkesenian. Tidak hanya menyanyi tetapi ada yang suka dagelan. Walau hanya di halaman, daripada otak ini kopyor lebih baik menyanyi dan melucu,” terangnya.  

Buatnya menyanyi menjadi cara untuk terhindar dari tekanan batin yang berlebihan. Utati menceritakan bahwa ia dan para ibu lain kerap menampilkan kesenian pada perayaan hari besar seperti Natal dan Lebaran. Acara semacam itu boleh diselenggarakan dan diizinkan oleh petugas penjara. Pertunjukan seni yang ditampilkan bermacam-macam, mulai dari drama, puisi, tarian, paduan suara, menyanyi, serta deklamasi.

“Tanpa seizin petugas, di luar hari besar dan malam Minggu, kami juga menyanyi dan menari, atau main drama. Bakat-bakat kami jadi tersalurkan. Jika sudah selesai dan petugas masuk, ya kami bubar masuk kamar masing-masing. Jadi saya merasa dengan menyanyi itu kadang-kadang tekanan batin bisa lepas. Bercanda dengan saling memanggil nama julukan atau poyokan itu sebuah hiburan juga,” jelasnya.

Baca juga: Film Maha Guru Tan Malaka: Dari Cita-cita, ke Film Pendek, Menuju Film Panjang

Mudji lantas mencontohkan dagelan yang ia lakukan agar dirinya tidak menjadi orang yang terus bersedih. “Ada ibu paling tua di Bukit Duri yang cadel. Saya lalu bilang embah coba nyanyi. Dia bertanya, nyanyi lagu apa terus saya jawab lagu ‘Ilir-Ilir’. Saya dibilang kurang ajar karena lirik lagu itu kan banyak huruf ‘r’-nya,” katanya sembari tertawa.

Selain itu, Mudji juga menyebut bahwa dirinya kuliah di INP alias Institut Negeri Plantungan. “Saya kuliah 14 tahun mbak. Istilahnya kuliah. Kuliah saya di Institut Negeri Plantungan. Sebutan kayak kuliah kan jadi yang dengar ketawa. Kami menghibur diri dengan nyanyi serta dagelan dan itu yang menjadi pengikat kami jadi keluarga,” ujarnya.

Utati lebih lanjut mengatakan lagu-lagu yang dinyanyikan Dialita dibuat oleh para ibu sesuai dengan keadaan yang mereka hadapi saat itu. “Misalnya ada tahanan anak-anak usia 14 tahun atau 15 tahun. Itu kan mereka tidak tahu salah apa. Kami semua juga tidak tahu salah kami apa. Semua hak sudah hilang. Kapan pulang gak ngerti. Nah kami kan tidak mau gila di situ. Jadi ibu-ibu membuat lagu yang disesuaikan dengan kondisi seperti Ujian. Kemudian lagu Salam Harapan, dan Tetap Senyum Menjelang Fajar, itu kan untuk menguatkan kami,” jelasnya.

Alih-alih penuh dengan rasa marah atau dendam, lagu-lagu yang diciptakan dalam tahanan tersebut justru memiliki pesan cinta yang kuat terhadap tanah air, dan keluarga. Kartika Jahja menyebut bahwa puluhan lagu yang dibawakan Dialita dalam dua album musik sangat manusiawi juga berempati. “Salah satu anggota Dialita, bu Uchi, bilang lagu-lagu ini adalah tentang perdamaian dan persahabatan. Bahwa lagu-lagu ini punya arti meluruskan sejarah, dan lain-lain itu memang benar. Tetapi sukmanya adalah cinta terhadap sesama, tanah air, serta untuk pemulihan,” katanya.

Baca juga: Kuburan Berjalan : Surat Cinta Dua Sutradara “Ajaib” kepada Era Awal Dekade Lalu

Hal ini turut diamini oleh musisi Junior Soemantri yang ikut dalam diskusi. Junior menceritakan bahwa kakeknya tergabung dalam Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang dilarang saat Orde Baru karena dianggap berafiliasi dengan PKI. “Mama bersusah payah buat melindungi atuk saat itu. Dia juga harus berbohong ayahnya meninggal supaya tidak hilang atau dibunuh,” ujarnya.

Karena pengalaman tersebut, Junior mengaku menyimpan dendam terhadap Orde Baru. Namun hal tersebut berubah ketika ia berjumpa dengan ibu-ibu Paduan Suara Dialita. “Aku masih membawa dendam itu waktu ketemu ibu-ibu Dialita. Cuma pas berjumpa kok situasinya sangat hangat bukan yang sedih. Lalu aku merasa sepertinya harus ada yang diusut lagi. Akhirnya perjalanan membuat film ini yang bikin aku berpikir ini bukan tentang dendam,” katanya.

Junior mengatakan apa yang dilakukan para ibu Paduan Suara Dialita adalah menyampaikan sejarah yang sudah terlalu banyak ditutupi. Setelah proses yang ia alami selama pembuatan film Lagu untuk Anakku, Junior merasa dirinya disadarkan lewat musik dan lirik dalam lagu juga sejarah para ibu Paduan Suara Dialita.

“Aku ingat banget saat aku ngobrol dengan bu Uchi, aku bilang bahwa aku membawa misi dendam. Kemudian bu Uchi bilang buat apa membawa dendam, itu tidak akan menghantarkanmu pada suatu tujuan. Dia bilang dengan suara yang sangat halus. Dari situ aku sadar aku menjalani misi yang salah dan kini aku berusaha meneruskan perjuangan Dialita,” terangnya.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

Copyright © 2016 Infoscreening.

Exit mobile version