Eagle Institute Indonesia (EII) bekerja sama dengan Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kominfo RI, sukses menggelar Eagle Award Documentary Competition bertajuk Bakti Indonesia. Tahun ini Eagle Award Documentary Competition ingin mengangkat semua sisi yang berkaitan dengan upaya pembuktian bakti kepada Indonesia. Khususnya kontribusi yang berkaitan dengan kemajuan teknologi informasi maupun kemudahan akses telekomunikasi yang berpengaruh dan memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat.
Dari puluhan proposal yang dikirim, terpilih lima proposal film yang mendapatkan pendampingan secara bertahap dalam produksi maupun pascaproduksi oleh tim Eagle Institute Indonesia untuk kemudian dilombakan.
Para Finalis EADC 2019
Sebagai puncak dari kompetisi, Eagle Institute menggelar pemutaran dan Awarding kelima film finalis di CGV Grand Indonesia pada 20 November 2019. Kelima film tersebut antara lain:
- Jejak Sinyal di Kaki Egon, sutradara Theresia Sude Malinto & Khatarina Makthildis, Maumere NTT.
- Paguruan 4.0, sutradara Abdi Firdaus & Lyanta Laras, Tanjung, Kalimantan Selatan.
- Emas Hitam, sutradara Charles Ricardo & Andri Muhijril, Makassar.
- Asa Dusun Sri Pengantin, sutradara Siti Rodiah & Aang, Bogor.
- Torang Ma Ampung, sutradara Maryani & Fahimatunnajah, Jakarta.
Tiga dari kelima film dokumenter tersebut terpilih menjadi pemenang Eagle Award Documentary Competition 2019 yang telah dinilai oleh para juri yaitu Sha Ine Febriyanti, Yandy Laurens, dan Anggy Umbara.
Juara Pertama berhasil digaet oleh Paguruan 4.0 yang bercerita tentang perjuangan para tenaga pendidik sekolah-sekolah di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, dalam upaya memanfaatkan kemajuan teknologi sebagai bahan pembelajaran siswa.
Baca juga: JAFF 14 “Revival”: Awal yang Optimis Merespons Perkembangan Sinema Asia
Di juara kedua ada Torang Ma Ampung, film garapan sutradara dari Jakarta ini bercerita mengenai seseorang yang berusaha membuat perkampungannya di Jorong Bukit Malintang, Kecamatan Sungai Aur, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat agar bisa dialiri listrik melalui PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro).
Sementara juara ketiga berhasil diraih film dengan judul Jejak Sinyal di Kaki Egon, yang secara singkat bercerita mengenai perjuangan masyarakat Desa Natakoli Mapitara, Kabupaten Sikka, NTT, dalam mendapatkan sinyal. Masalah minimnya aksesibilitas komunikasi atau jaringan sangat terasa di sana terutama dalam dunia pendidikan dan kesehatan.
Tentang Paguruan 4.0
Film Paguruan 4.0 yang disutradarai oleh Abdi Firdaus & Lyanta Laras digarap selama 10 hari. Tantangan penggarapan film ini adalah tim mencoba mengatur waktu akan kemungkinan yang terjadi ke depan pada pemeran atau subjek mereka. Karena dalam film dokumenter, apa yang akan dilakukan subjek di hari-hari berikutnya tidak akan bisa diprediksi.
“Kita melihat perjuangan guru-guru khususnya di daerah-daerah itu luar biasa, bagaimana para guru di Tabalong berusaha menyeimbangi zaman sekarang ini” ungkap Abdi Firdaus dan Lyanta Laras.
Mereka berdua pun berpesan untuk para sineas muda agar tidak takut berkarya dan berkreativitas tanpa perlu terlalu memikirkan bagaimana hasil akhir karya kita akan seperti apa jadinya. Dalam puncak acara, kelima finalis dianugerahi beasiswa unggulan S2 dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
