Pemutaran

Menyambut “Keluarga ala Indonesia” Anthology di Jakarta

Menilik kembali film antologi atau omnibus di Indonesia yang muncul beberapa tahun terakhir seperti Cinta Setaman (2008), Jakarta Maghrib (2010), dan Rectoverso (2013) membuat kita rindu akan kumpulan cerita dengan tema tunggal. Kemunculan film-film omnibus tentu saja menjadi pertanyaan bagi para penikmat film, “Akan ada film omnibus apalagi di Indonesia?”

Malam itu (24/07) untuk pertama kalinya “Keluarga Ala Indonesia” Anthology ditayangkan di @america, Pacific Place melalui program Movie Screening and Discussion. Antologi yang berisikan lima cerita yang disutradarai oleh lima pembuat film dari berbagai daerah yaitu Jakarta, Jayapura, Labuan Bajo, dan Yogyakarta turut hadir memeriahkan pemutaran film tersebut.

BERAWAL DARI SEBUAH PROYEK

Kalyana Shira Foundation -sebuah organisasi non-profit yang berfokus pada isu-isu gender, perempuan, dan anak-anak- menginisiasi proyek “Master Class Project Change” sebagai bentuk kontribusi untuk menghidupkan media berekspresi melalui karya audio visual. Proyek ini digagas langsung oleh Nia Dinata selaku pendiri Kalyana Shira Foundation sekaligus produser film.

Baca juga: Menengok Film-Film Pendek Indonesia dan Aktivitas Terkini Pembuatnya dalam Boemboe Forum 2018

Dari awal Master Class Project Change 2015 dimulai, terdapat kurang lebih 180 pendaftar yang memiliki cerita dari daerahnya masing-masing hingga kemudian terpilih 30 pembuat film untuk mengikuti Workshop Master Class Project Change 2015 yang dimentori oleh Nia Dinata, Abduh Azis, Lucky Kuswandy, Dhyta Caturani, dan Myra Diarsi.

Sebelumnya, Master Class Project Change telah dilaksanakan pada tahun 2008, 2009, dan 2013. Beberapa alumninya yang terdengar familiar bagi kita di antaranya Jason Iskandar, Yosep Anggi Noen, Ismail Basbeth, Tunggul Banjaransari, dan Pritagita Arianegara.

KELAHIRAN “KELUARGA ALA INDONESIA” ANTHOLOGY

Setelah mengikuti workshop, para filmmaker diberikan kesempatan untuk melakukan riset selama dua bulan serta mengirimkan kembali proposal pada bulan Maret 2016 dan mempresentasikan hasil riset mereka dua bulan setelahnya.

Dari 30 pembuat film, hanya 18 orang yang berhasil mempresentasikan hasil risetnya di Final Pitching Forum Project Change 2015 sehingga terpilihlah lima karya yang akan diproduseri filmnya. Kelima film tersebut adalah:

  1. Elinah (dir. Ninndi Raras) | Fiksi
  2. Rumah Terakhir (dir. Thyke Syukur) | Dokumenter
  3. Demi Sebuah Prevensi (dir. Wenda Maria) | Dokumenter
  4. Har (dir. Luhki Herwanayogi) | Fiksi
  5. Perfect P (dir. Santosa Amin) | Fiksi

ISU GENDER DAN NIA DINATA

Salah satu film yang ditayangkan, Perfect P menggambarkan seorang siswa SMA bernama Putra yang bekerja paruh waktu di sebuah kafe. Di tengah-tengah bekerja, ayahnya menelepon Putra, bermaksud singgah di tempatnya. Putra menolak, lantas ia menanyakan kepada rekan kerjanya, “Apa arti keluarga buatmu?”

Beralih ke film selanjutnya, Demi Sebuah Prevensi. Film dokumenter yang bersetting di Jayapura mengambil tokoh seorang ibu beranak lima yang bekerja sebagai pendeta. Di tengah-tengah kesibukannya menjadi pendeta, ia pun aktif mengampanyekan pencegahan penularan penyakit HIV AIDS dengan cara mengimbau kepada anak laki-laki di sekitar Jayapura untuk melakukan sirkumsisi atau khitan.

Kampanye ini ternyata tidak mudah dilakukan, berbagai benturan pemahaman yang timbul diantaranya menganggap bahwa sirkumsisi bukan merupakan ajaran agama mereka maupun tentang penularan penyakit HIV AIDS itu sendiri.

Baca juga: Mouly Surya Sutradarai “The XX – We See You Jakarta”

Isu mengenai gender sepertinya tidak bisa dilepaskan dari sosok Nia Dinata. Sederet film yang melibatkan dirinya sebagai sutradara maupun produser seperti Berbagi Suami (2006), Perempuan Punya Cerita (2007), Arisan! 2 (2011), Ini Kisah Tiga Dara (2017), dan film terbarunya Kenapa Harus Bule (2018) bertemakan mengenai gender.

Konsep gender yang telah dikonstruksi secara sosial maupun melalui budaya setempat mendorong Nia Dinata untuk senantiasa menghadirkan film-film dengan tema serupa.

“Saya ingin membuat film yang inklusif karena dunia ini kan enggak cuma milik mereka yang hetero.” ujar Nia Dinata sebagai penutup diskusi film.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top