Rabu tanggal 13 Oktober yang lalu, sineroom, ruang pemutaran sinema alternatif di Semarang, kembali mengadakan pemutaran di Spiegel Bar & Bistro Semarang setelah lebih dari setahun tidak mengadakan pemutaran offline. Sinema Dialog, program sineroom yang melibatkan diskusi dengan isu yang relevan, mengangkat tema “Sinema dan penyakit lainnya”, di mana film-film yang ditampilkan saling berkelindan erat dengan kedukaan dan tekanan sosial, hal yang saya rasa merefleksikan pergolakan masyarakat selama hampir dua tahun belakangan ini.
Baca juga: Menuang Keresahan dari Mengalami Film dalam Tulisan – Catatan Mengikuti Rasan-rasan Sinema
Film pertama yang diputar adalah The Secret Club of Sinner, film pendek yang bercerita tentang seorang kepala keluarga yang harus mencari nafkah di kala covid-19 melanda dan mau tak mau menyalahi protokol kesehatan. Film kedua dilanjutkan dengan Kembalilah Dengan Tenang, narasi pendek yang menyoroti seorang ayah yang kesulitan mencari makam untuk almarhum anaknya. Film pendek terakhir, Ballad of Blood and Two White Buckets, menyoroti kehidupan penjual saren (darah sapi yang dimasak) dalam dunia yang semakin tidak memberikan ruang bagi mereka untuk dapat bernafas dengan tenang.

Setelah ketiga film ditayangkan, sesi diskusi pun dimulai. Sesi diskusi sendiri diisi oleh Ardian Agil Waskito (pendiri sineroom), Haris Yulianto (sutradara The Secret Club of Sinner), dan saya sendiri yang diberi kesempatan untuk membantu memoderasi keberlangsungan acara. Dalam diskusi, Haris menceritakan bahwa ide cerita filmnya datang dari keinginan ibunya yang hendak berwisata di kala pandemi. Ardian dalam sesi diskusi menceritakan bahwa acara ini berangkat dari keresahan yang terasa selama pandemi ini berjalan. Ia berharap bahwa dengan diadakannya acara ini, penonton juga dapat ikut merefleksikan kegetiran yang terasa familiar lewat film-film yang ditayangkan.
Penonton yang hadir juga antusias dalam memberikan kesan-kesan mereka seusai menonton menonton. Salah satu peserta bertanya bahwa mengapa perspektif yang diberikan hanyalah perspektif dari penduduk yang termarjinalkan? Lalu juga mengapa film-film yang ditampilkan menularkan perasaan yang tidak nyaman ketimbang sebaliknya? Hal tersebut membuat saya tertawa dalam hati lalu bertanya kepada Mas Ardian, mengapa kita lebih suka menonton, mendengar, dan membaca hal-hal yang menyedihkan ketimbang sebaliknya?

Meskipun Kembalilah dengan Tenang dan Ballad of Blood and Two White Buckets tidak memiliki hubungan sama sekali dengan pandemi, tapi rasa nyeri ketika melihat pergulatan sosial yang ada di dalam kedua film tersebut terasa dekat dengan dampak pandemi yang ada. Ada satu pertanyaan yang muncul dalam benak kepala saya seusai mengikuti acara ini, yakni bagaimana bila roda kehidupan manusia itu bisa tidak bergerak sama sekali? Bagaimana bila ada banyak orang yang hanya bisa terus berada di bawah, mengalami pahitnya kehidupan tanpa diberikan satu kalipun kesempatan untuk bergerak ke atas dan mendapat penawaran hidup yang lebih baik?
Saya harap rasa tidak nyaman yang tertular lewat acara ini tidak berakhir menjadi perasaan-perasaan sesaat saja, melainkan menjadi penggerak bagi para penonton untuk terus berusaha membuat dunia ini menjadi tempat yang sedikit lebih baik. Terasa naif memang, tapi hal itulah yang mungkin mendorong pembuat film untuk terus membuat film, pemrogram film alternatif untuk terus mengadakan pemutaran, dan saya untuk terus menulis.
Baca juga artikel lain dari Timothy pada halaman berikut
