Berita

Melihat Realitas Hutan dan Masyarakat Papua di Festival Film Papua IV

Posted on

Festival Film Papua (FPP) kembali diselenggarakan tahun ini. Setelah sukses dihelat tiga kali, Festival Film Papua IV diadakan secara daring pada 7 hingga 9 Agustus lalu. 

Ketua Panitia FPP IV Roberto Yekwam mengatakan kegiatan nonton dan diskusi serta lokakarya (workshop) dilakukan selama festival. Tak ketinggalan, kompetisi film juga digelar pada FPP IV. Sebanyak 29 film yang diproduksi di berbagai wilayah di Papua mulai dari Jayapura, Keerom, Sorok, Kaimana, Merauke, dll bersaing dalam kompetisi tahun ini. 

Akademisi Universitas Cenderawasih Elvira Rumkabu mengatakan ia bersama juri lain yakni Max Binur dari Papuan Voices dan sutradara film dokumenter Dandhy Laksono mengapresiasi seluruh film yang ikut berkompetisi. Menurutnya, film menjadi media alternatif yang dapat mengangkat hal terkait Papua yang tidak biasa dibahas.  

Baca juga: Festival Film Documentary Days Ke-10

“Juri mengapresiasi sebesar-besarnya untuk teman Papua karena dalam situasi Papua yang semua media ekspresinya ditutup ini media film itu jadi alternatif dan kreatif untuk bisa menunjukkan sisi kemanusiaan Papua yang tidak biasanya dibicarakan di luar,” katanya lewat video di saluran Youtube Papuan Voices pada Senin (9/8).

Meski demikian, ia menjelaskan para juri memilih empat film yang dinilai berhak menjadi juara kompetisi FPP IV. Keempat film tersebut, selain matang dalam hal teknis, dianggap memenuhi aspek non-teknis yaitu cara dan alur bercerita juga data yang jadi unsur penilaian kompetisi. 

Dari 29 film, Elvira mengumumkan film Siklus Hidup menjadi juara I sedangkan film Dari Hutan Kitong Hidup mendapat penghargaan nomor dua. Sementara itu, film Penjaga Dusun Sagu buatan Esau Klagilit dan Hana karya Emooz Kofit ditetapkan sebagai pemenang III dan favorit.

Membicarakan Identitas dan Pangan Papua lewat film dokumenter

Hidup Cosmas Boryam sekeluarga selalu bersinggungan dengan hutan. Selain berkebun, pendapatan yang diperoleh dari penjualan hasil buruan sanggup membiayai sekolah anak-anaknya. 

Hutan tempat Cosmas berburu salah satunya terletak di Kampung Wembi, Kabupaten Keerom. Ia mengatakan daging rusa yang ia dapatkan dihargai Rp 70 ribu per kilo. Jika dirinya memperoleh rusa berukuran besar maka uang Rp 1,5 juta bisa dibawa pulang. Penghasilan itu masih ditambah dengan penjualan sayur-sayuran seperti daun pisang dan tanaman lain.   

Setelah bercerita kisah di atas, film Dari Hutan Kitong Hidup buatan Kristina Soge serta Denis Tafor menunjukkan bagaimana Cosmas dan keluarga berburu di hutan. Lewat video yang ditayangkan di saluran Youtube Papuan Voices pada Sabtu (7/8), Denis mengatakan ide cerita Dari Hutan Kitong Hidup datang dari rekannya Kristina Soge yang sempat mengunjungi keluarganya di Wembi.

“Agak beda dengan syuting di kampung atau kota kalau di hutan itu memang tong harus coba beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Waktu berburu itu momen paling seru. Tapi ada kesulitan saat adegan anjing sudah kejar binatang susah kasih stabil kamera,” katanya.

Pendiri Papua Jungle Chef Charles Toto mengatakan hutan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Papua. Perkara pangan, rumah, atau kesehatan hampir semua berurusan dengan hutan. Meski begitu, program pemerintah seperti food estate dan pembukaan lahan untuk kebun sawit jadi ancaman terhadap keberadaan hutan di Papua.

Tak hanya itu, Charles juga meminta pemerintah untuk bijak menghadapi perusahaan besar yang mau mengangkat sagu sebagai pangan lokal. Hal ini dikarenakan sagu merupakan sumber pangan warga yang pengolahannya dilakukan secara turun-temurun. Kehadiran perusahan besar dikhawatirkan justru bisa jadi ancaman sebab ia bisa menguasai lahan milik masyarakat adat. Belum lagi jika pabrik tersebut diam-diam mengerjakan kebun sawit di area perluasan pembukaan hutan.

Siklus Hidup buatan Yosef Levi serta Tri Arisanti, di sisi lain, menceritakan kehidupan masyarakat di Distrik Samenage, Kabupaten Yahukimo yang mewarisi tradisi nenek moyang untuk bertahan hidup sekaligus membuka diri terhadap dunia melalui pendidikan formal. Yosep menjelaskan Siklus Hidup merupakan film kedua yang ia produksi bersama Arisanti. Film mereka yang pertama lebih fokus pada pendidikan di Kampung Samenage.

Film Siklus Hidup di Kanal Youtue Yosef Levi

“Saya terlibat dalam film ini di dua bagian yaitu praproduksi dan pascaproduksi sedangkan gambar yang ambil Bu Arisanti. Kami membuat film ini supaya penonton lebih dekat dengan kehidupan masyarakat Kampung Saminage mulai dari aktivitas mereka sehari-hari dengan segala persoalan yang dihadapi. Mulai dari kelahiran sampai kematian,” ujarnya lewat video di saluran Youtube Papuan Voices pada Minggu (8/8).

Bagi Yosep, film menjadi media yang ia gunakan untuk mengarsipkan kehidupan masyarakat Papua. Sejarah tentang Papua, lanjutnya, hanya bersumber dari tulisan para misionaris. Ia berharap film yang dibuat bisa diputar dan jadi bahan refleksi untuk mencari jalan keluar bersama.

Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) Pendeta Benny Giay lebih lanjut mengatakan arsip tentang kehidupan masyarakat Papua sangatlah penting. “Kalau saya jalan yang diambil teman-teman yang menggumuli film Papua ini memang harapan orang Papua karena kebudayaan kita, identitas kita, kita berkomunikasi dengan sesama, dengan Tuhan, tanah, lingkungan alam, juga leluhur itu sudah dihancurkan. Kita sudah mengalami disorientasi,” katanya.

Ia pun berharap para pembuat film untuk lebih sering “menimba dari sumur sendiri” alias menggali apa yang dimiliki masyarakat Papua. Oleh karenanya ia mengapresiasi film-film di FFP IV yang berbicara soal identitas orang Papua.

Artikel menarik lainnya dari Nindias dapat dibaca pada halaman berikut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

Copyright © 2016 Infoscreening.

Exit mobile version