Uncategorized
“Tupon” Soroti Perjuangan Panjang Kelompok Rentan Melawan Mafia Tanah, Tayang Di Festival Film Dokumenter November 2025
Dari siaran pers
Sebuah film dokumenter yang lugas dan menggugah, “TUPON”, hadir sebagai cermin getir ketidakadilan pertanahan yang dialami kelompok rentan di Indonesia. Melalui lensa sutradara peraih nominasi FFI, Riandhani Yudha Pamungkas, film ini menyoroti kisah Mbah Tupon (70 tahun), seorang lansia yang harus berjuang mati-matian setelah tanah warisan seluas 1.655 meter persegi—yang selama ini menjadi tempat tinggalnya—hilang secara misterius, diduga kuat akibat praktik mafia tanah.
Alih-alih menikmati masa tua dengan tenang, Mbah Tupon justru mendapati sertifikat tanahnya telah beralih nama ke orang asing dan bahkan dijadikan jaminan bank, menempatkannya dalam ancaman pengusiran dari rumahnya sendiri. Melalui “TUPON”, kisah personal ini diangkat menjadi sebuah kritik struktural terhadap ketimpangan agraria yang menahun.
Motivasi: Mengisi Ruang Kosong dalam Narasi Publik
Riandhani, yang sebelumnya menggarap Etanan (2018) dan Maramba (2022), menjelaskan bahwa film ini lahir dari kegelisahan mendalam.
“Motivasi saya lahir dari kegelisahan yang tidak bisa lagi saya abaikan. Kita hidup di tengah tumpukan data dan regulasi, tetapi sering kali melupakan manusia di balik setiap peristiwa,” ujar Riandhani.
Ia menilai bahwa kisah Mbah Tupon membuka ruang kosong dalam narasi publik—ruang yang menuntut pemahaman lebih intim, kritis, dan jujur.
“Dokumenter ini adalah upaya advokasi yang bisa saya lakukan sebagai filmmaker untuk keluarga Mbah Tupon. Dengan film ini, saya harap suara manusia yang sering tidak terdengar bisa digaungkan dan dipertontonkan,” tambahnya.
Tantangan Etis dan Menjaga Jarak Empati
Dalam proses produksinya, “TUPON” menghadapi tantangan kompleks dalam menjaga keseimbangan antara objektivitas sinematik dan tanggung jawab etis kepada subjek yang rentan.
“Kesulitan terbesar adalah menghadapi kerentanan, baik dari subjek maupun dari diri saya sendiri. Ketika seseorang membuka kisah hidupnya yang penuh konsekuensi, kami memikul tanggung jawab etis yang sangat besar,” jelas Riandhani.
Ia menegaskan pentingnya menjaga batas empati:
“Tantangannya bukan hanya teknis, tetapi emosional: bagaimana tetap objektif namun tidak kehilangan empati? Bagaimana menjaga jarak, tetap netral, dan mempertanggungjawabkan film sebagai kisah yang sebenarnya?”
Mbah Tupon: Simbol Perlawanan terhadap Ketimpangan Struktural
Fenomena mafia tanah yang ditangani Kementerian ATR/BPN—yang mencapai puluhan ribu kasus—menunjukkan bahwa persoalan pertanahan bukanlah isu yang berdiri sendiri.
“Ini adalah bagian dari konfigurasi struktural yang kompleks: ketimpangan relasi kuasa, minimnya literasi hukum, serta dinamika ekonomi,” ujar Riandhani.
Bagi sang sutradara, Mbah Tupon bukan hanya korban, tetapi simbol perlawanan.
“Mbah Tupon adalah simbol harapan baru bagi setiap korban, bahwa situasi ini masih bisa dilawan dengan cara-cara yang terstruktur. Di balik angka-angka yang tampak impersonal, selalu ada tubuh, emosi, dan sejarah personal.”
Harapan: Keadilan dan Dialog Lintas Disiplin
Menjelang penayangan perdananya, Riandhani menyampaikan harapan kuat terhadap dampak film ini.
“Saya berharap film ini bisa menjadi cara untuk melawan, untuk mendapatkan kembali tanah Mbah Tupon,” katanya.
Ia juga berharap “TUPON” menjadi medium refleksi lintas disiplin, tidak hanya bagi penonton umum, tetapi juga bagi pemangku kebijakan dan praktisi.
“Jika TUPON dapat memicu percakapan yang lebih jujur tentang keadilan, tanggung jawab, dan kemanusiaan, maka film ini telah menjalankan tugasnya.”
Press release ini juga berfungsi sebagai undangan bagi publik untuk memikirkan dan menjaga isu konflik agraria, serta bagi para penulis untuk turut mengupas dan menyebarkan film ini agar dapat diakses lebih banyak orang.
Jadwal Pemutaran Perdana
“TUPON” akan diputar perdana di Forum Film Dokumenter,
Kedai Kebun Forum,
23 November 2025, pukul 13:00 WIB.