Event
Upaya Misbar Group Membuka Alternatif Baru Ruang Putar
Jumat (6/9) malam film Portrait of A Lady on Fire ditayangkan perdana secara eksklusif di Indonesia. Bertepatan dengan premier filmnya di Toronto International Film Festival (TIFF). Film asal Prancis ini baru saja memenangkan Best Screenplay Cannes Film Festival 2019.
Kedatangan Portrait of A Lady cukup spesial. Biasanya, film-film yang beredar di festival internasional baru akan mampir di Indonesia dan diputar di ruang alternatif dengan jeda cukup lama. Namun, film yang diputar di IFI, Thamrin, Jakarta Pusat, dengan 180 penonton ini baru beberapa bulan memboyong penghargaan di Cannes, pada Mei lalu. Bahkan waktu diputar di Indonesia berbarengan dengan momentum premiernya di Toronto.
Infoscreening berbincang dengan CEO Misbar Group, Dysan Aufar seusai pemutaran. Kami berbincang seputar rencana Misbar Group sebagai platform yang berbasis komunitas kedepannya, serta hambatan dalam mendatangkan film internasional. Berikut petikan wawancaranya.
Kenapa tiba-tiba datangkan film “Portrait of A Lady”?
Sebagai platform, tujuannya lebih untuk membuka opsi baru lagi. Di Jakarta kan sudah ada ruang alternatif. Dengan adanya kami, jadi menambah opsi lain. Kenapa film Portrait of A Lady yang diputar, karena kami ingin membuka dengan film yang menangkap perhatian masyarakat.
Kenapa bawa ke Indonesia, karena juga lagi ada momentum, menang best screenplay Cannes 2019. Pada hari yang sama juga diputar premier di Toronto. Selain itu juga, ini film yang value-nya cukup tinggi sebagai suatu seni, sekaligus animonya ada di Indonesia, untuk orang yang mau nonton film seperti ini.
Jadi berperan sebagai distributor juga?
Kalau disebut buat distributor, belum juga sih. Meskipun kita memang mendatangkan Portrait of A Lady ke sini. Sejauh ini rencananya ya untuk mendatangkan film-film dengan penghargaan bergengsi di internasional, tapi yang enggak ada di bioksop.
Kami juga masih memantau festival internasional seperti Toronto, Venesia, mana lagi nih yang potensial mendatangkan animo penonton, dan belum ada opsinya, yang pasti film yang memang tidak bakalan masuk di bioskop komersial.
Apakah ke depan film yang diputar khusus genre “arthouse”?
Kita enggak mengkhususkan. Melihat film yang kami putar ini tergabung di program apa yang mau kami bawa. Seperti Portrait of A Lady ini tergabung di program cinema obscura, yakni program yang mendatangkan film baru, fresh, dan menang award, tetapi tidak masuk bioskop.
Kami juga punya segmen lain, Kinetalks, menayangkan film-film yang memiliki kesamaan tema yang kami angkat di program itu, lalu kami bahas dalam talkshow bersama pembicara yang punya kredibilitas dalam bidang tema yang kami angkat.
Baca juga: Visi dan Perspektif Sinema Richard Oh
Jadi Misbar Group hadir untuk?
Buat ruang apresiasi. Dan publik butuh lebih banyak opsi, dengan hanya mengandalkan bioskop, apa yang bisa diakses masyarakat ya hanya yang ada di dalam. Dengan makin banyaknya ruang alternatif, masyarakat akan makin terpapar, banyak pilihan dari yang disodorkan. Makin terbiasa beragam film dengan bermacam background, negara, dan culture. Ini membantu proses dan progres masyarakat dengan mencerna berbagai macam seni. Jadi sangat penting kenapa kita butuh ruang apresiasi.
Sehingga penting untuk menonton film-film internasional termasuk genre “arthouse”?
Bukan masalah penting ditonton atau tidak. Namun apakah orang sudah terekspos dengan film seperti itu. Kalau sudah terbiasa, bukan menjadi komoditi langka lagi. Akan terbiasa dengan film yang dibilang arthouse, makin banyak tahu. Baiknya orang Indonesia nantinya akan tahu film berkualitas dan layak itu yang seperti apa. Kemampuannya lebih baik, untuk istilahnya menilai ini film “bagus atau jelek” dengan film yang mereka tonton. Jadi penting kenapa ada film arthouse, menyediakan sumber bagi publik untuk menonton, untuk memperkaya referensi orang supaya makin sadar film apa yang layak ditonton.
Hambatannya seperti apa sih mendatangkan film internasional?
Mendatangkan film bergengsi, meski enggak masuk bioskop, tentu harganya juga enggak murah. Butuh tenaga ekstra untuk kumpulkan bujet, kami bahkan memulai prosesnya sejak 2-3 bulan lalu.
Selain itu juga menerka film seperti apa yang punya animo di masyarakat sekali pun tidak masuk bioskop. Proses mencari film yang enggak mudah, benar-benar meraba mencari film yang ada di festival internasional. Apakah masuk ke taste penonton di sini.
Masih jauh menurut gue rencananya sampai untuk bener-bener datengin film apa pun orang akan menonton. Ini step awalnya. Sampai terbiasa dengan film itu, mudah diakses, baru akan datengin apa saja, seleksi filmnya itu yang jadi concern utama. Jadi hambatan kami yang berbasis komunitas untuk mendatangkan film bergengsi ya bujet dan seleksi filmnya.
Harapan Misbar Group?
Harapannya ya ruang alternatif, khususnya di Jakarta dulu, kan sudah banyak yang ternama juga, bagaimana supaya penyedia ruang alternatif bisa bekerja sama satu sama lain, menyediakan program menarik dan dikonsumsi masyarakat. Sehingga ekosistem semakin baik, tujuan tercapai untuk menyediakan banyak opsi.