Rasan-Rasan Sinema kembali hadir di tengah kebutuhan penonton Semarang akan film-film pendek menarik yang asyik untuk didiskusikan (26/1). Program ini kembali terselenggara berkat kolaborasi apik antara sineroom dan Impala Space. Pada kesempatan kali ini, penonton dihibur sekaligus diedukasi oleh film-film yang datang dari buah pikir dua sutradara, Rafif Sujatmoko dan Makbul Mubarak. Tidak hanya itu, malam ini, program Rasan-Rasan Sinema dilengkapi oleh kehadiran Avicenna Raksa Santana (Cinema Poetica) dan Panji Mukadis (Infoscreening). Salah dua orang yang bergeliat di penulisan terkait semesta perfilman.
Pemutaran dibagi menjadi empat sesi yang masing-masingnya diselingi oleh diskusi dari dua pembicara tersebut. Mr. Bombastic, karya Rafif Sujatmoko, menjadi sajian pembuka, disusul dengan ketiga film karya Makbul Mubarak, yaitu Irasaimase, Sugih, dan ditutup oleh Ruah. Sajian komplit ini didampingi obrolan sesuai tema; Film dalam Tulisan, Tulisan dalam Film, berkenaan kritik maupun pelaporan terkait dengan mengalami film.Salah satu poin diskusinya adalah bagaimana sebuah kritik film dapat menjadi salah satu indikator pencapaian sebuah karya. Salah satu penonton yang hadir adalah seorang filmmaker, Tunggul Banjaransari, mengamini pernyataan tersebut. “Penulisan [kritik film] kalo buat saya, ya untuk ukuran pencapaian karya yang dibuat. Atau gini deh, dilihat dulu sebenarnya seberapa penting sih film di masyarakat?” seloroh Tunggul menanggapi jalannya diskusi.
Dihadiri oleh 30 penonton, acara ini sepi tukar pendapat. Terutama tiap kali moderator memberi kesempatan untuk mengkritisi film-film yang tersedia dalam menu malam itu. Namun, ada segelintir pertanyaan menarik terkait pembahasan program ini. Salah satunya diajukan oleh programmer sineroom, Erma Yuliati. “Sebenarnya tujuan dari membuat tulisan kritik film itu kan salah satunya agar memberi dampak nih di masyarakat, nah gimana sih kalian memviralkan tulisan kalian agar impact dari tulisan kalian ini sampai? Bisa aja setelah kalian nulis, penonton jadi tahu mana film bagus, baik, layak ditonton, mana film yang istilah kasarnya, film sampah.” ujarnya.
Tanggapan dari dua narasumber yang hadir malam itu lebih menarik lagi. Panji Mukadis menanggapinya dengan upaya-upaya Infoscreening untuk meningkatkan engagement antara pihaknya dan komunitas-komunitas film Indonesia. “Kami juga bikin akun LINE Square yang lebih mudah diakses oleh siapapun. Meski misalnya mereka tidak berasal dari komunitas yang sama atau bahkan belum kenal satu sama lain. Tapi dengan adanya ini, ya semua orang bebas membagikan informasi yang mereka punya.” ujarnya. Lain halnya dengan Avicenna Raksa Santana, “kalo CP [Cinema Poetica] sih peduli setan ya, bisa dibilang sama memviralkan tulisan. Mau yang baca cuma satu orang, ya kita hajar aja, nulis aja.Karena ya, sayang aja kalo pengalaman menonton tadi cuma berakhir setelah pemutaran film.” ungkapnya.
Cinema Poetica, seperti yang dipaparkan oleh Avicenna, memilih untuk menjatuhkan konten dan konsep pada bagian deskripsi kritik dari karya yang dikritisi. Selanjutnya, penulis akan berelaborasi berkenaan konteks film dalam opininya. “Siapapun bisa jadi kritikus film. Siapapun bisa ngritik, bahkan status Facebook seseorang tentang pengalaman dia menonton suatu film, ya itu juga boleh dibilang kritik film.” tambahnya. Dirinya mengaku bahwa selama menjadi penulis, ia menulis karena pada dasarnya ingin memberi tahu sesuatu pada khalayak. Khusus soal kritik film, dorongannya untuk menulis akan semakin besar kala belum ada orang lain yang menulis kritik terhadap karya tersebut atau sebenarnya ada, namun masih bisa digali lebih dalam kelengkapan kritisinya. Melalui tulisan, dua narasumber ini pun berhasil mengisi ruang publik. “Jangan menyesatkan penonton dengan kalimat-kalimat atau padanan kata dalam review yang kita buat. Karena pada dasarnya, film jelek itu bukan serta-merta ketidakmampuan pembuat film.” pungkasnya.
Sedangkan bagi Panji, ia memberi penjelasan dari dua kerja yang ia lakukan dan dituliskan di website Infoscreening, pertama sebagai reporter ala-ala, ia merasa ada ceruk yang dilewatkan oleh berita-berita media arus utama kala hadir di festival-festival. Kedua sebagai programmer. Ia mengaku jika pilihannya untuk menulis terkait dengan pekerjaannya sebagai programmer di sebuah pemutaran rutin di Jakarta. “Jadi, buat saya nulis itu bukan ditujukan untuk snob-snob (berlagak) soal selera film atau pengen pamer. Tapi bentuk pertanggungjawaban sebagai programmer. Setidaknya kita punya alasan yang kuat untuk pemilihan film-film yang kita putar.” tandasnya.
Penulisan; kajian, reportase, maupun kritik, terhadap semesta film sebenarnya merupakan kebutuhan yang selama ini belum kunjung awam. Budaya mengkritisi karya lewat tulisan masih belum kunjung membumi di Indonesia, atau setidaknya di kota program ini terselenggara, Semarang. Target pembacanya pun masih ambyar; jika pun ada yang menulis, sebenarnya siapa yang perlu membaca? Padahal literasi yang baik akan turut berdampak dalam skema produksi sebuah karya. Yang diharapkan kemudian adalah dampak baik, seperti memperkaya wawasan penonton atau bahkan sang pembuat film. Saya berharap lahir bentuk nyata yang dapat menindak lanjuti program ini.
