Artikel
Kerja Sama Falcon Pictures-Lionsgate dan Pasar Indonesia yang Kian Dilirik
Saat mata dunia sedang tertuju pada film asal Korea Selatan, Parasite, dari dalam negeri kabar baik diumumkan oleh rumah produksi Falcon Pictures. Rumah produksi yang didirikan H.B. Naveen itu mengumumkan kerja samanya dengan perusahaan hiburan Lionsgate. Falcon Pictures resmi menjadi anggota ke-14 dalam konsorsium Globalgate, sebuah inisiatif untuk memproduksi dan mengedarkan film berbahasa lokal ke pasar internasional. Dengan begitu, Falcon Pictures akan bergabung bersama anggota lain dari berbagai belahan dunia seperti Lionsgate (AS/Inggris/Kanada), Televisa (Amerika Latin), TF1 (Prancis), Nordisk (Skandinavia), Kadokawa (Jepang), Lotte (Korea), Tobis (Jerman), Rai (Italia), TME (Turki), Belga Filmes (Belgia, Belanda, Luksemburg), ParisFilmes (Brasil), CineColombia/Dynamo (Kolombia), dan Viva Communications (Filipina).
Bergabungnya Falcon Pictures dalam konsorsium ini tak lepas dari capaian menakjubkan yang telah diraih di dalam negeri. Hingga saat ini, Falcon telah memproduksi 3 film dengan capaian jumlah penonton terbesar di Indonesia, yaitu Warkop DKI Reborn 1, Dilan 1990 dan Dilan 1991. Selain fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk terpadat keempat di dunia. Globalgate, seperti yang dilansir dalam Variety.com, menyebut semenjak dicabutnya industri film dari daftar negatif investasi pada 2016, terjadi lonjakan jumlah layar bioskop dua kali lipat menjadi lebih dari 2.000 layar. Indonesia pun memproduksi lebih dari 130 film per tahun, dan pangsa pasar film lokalnya telah meningkat menjadi 38%.
Kerja Sama Kian Intens
Sutradara dan produser asal Singapura, Eric Khoo, yang sudah beberapa kali bekerja sama dengan pekerja film Indonesia pun mengungkapkan hal senada.
“Indonesia sangat potensial. Saya rasa, di banyak negara, film domestik bisa berkembang karena kultur yang kuat dan bahasa lokal. Sayangnya, di Singapura tidak seperti itu karena sangat kecil. Kalian punya itu, kalian punya kultur kuat, dan bahasa lokal. Populasi kalian sangat besar dan menjanjikan.” (Kompas 21/04/2019)
Baca juga: Film “Beta Mau Jumpa”, Upaya Merawat Damai Pascakonflik Ambon
Layanan televisi dalam jaringan HBO Asia pun tak segan-segan menggencarkan kerja samanya dengan perusahaan/pekerja film Indonesia. Proyek-proyek yang pernah digarap HBO Asia dengan Indonesia beberapa tahun terakhir adalah Grissie yang melibatkan Adinia Wirasti, Folklore dan Halfword season 1 yang melibatkan sutradara Joko Anwar, juga ada Food Lore yang melibatkan sutradara Billy Christian. Jessica Kam, Senior Vice President of HBO Asia Original Production menyebut “Kalian mempunyai populasi yang sangat besar. Pasar film paling menjanjikan di Asia.” Jessica pun membandingkan dengan negara asal Eric Khoo, “Singapura misalnya, mereka memiliki banyak aktor dan aktris, tetapi mereka terbatas pada produksi dan jumlah penonton.” (Kompas 24/03/2019)
Lagi-lagi, Indonesia sebagai pasar film bagi perusahaan hiburan dunia kembali disinggung. Tampaknya memang hal tersebut patut disyukuri, mengingat tidak semua negara memilik kelebihan tersebut. Seperti yang diungkapkan sutradara asal Makau, Chan Ke Keong, pada tahun 2017 Makau hanya memproduksi dua film. Chan memang mengakui produksi film di Makau sangat kecil, tidak sampai 5 film diproduksi per tahunnya. “Pasar kami sangat kecil, bioskop hanya 4 dan penduduknya hanya 650.000 orang.” (Kompas 4/03/2018)
Persiapan Lintas Sektor
Namun di sisi lain, sama halnya dengan prediksi bonus demografi yang akan kita lalui, kesempatan emas potensi pasar film Indonesia akan sia-sia apabila kesiapan tidak dilakukan. Misalnya, yang menjadi catatan sejumlah perusahaan dan pekerja film luar adalah belum cukup memadainya kuantitas dan kualitas pekerja film Indonesia. Apalagi, saat ini layanan VOD (Video on Demand) seperti Netflix, Iflix, Viu, Hooq dll kian pesat berkembang. Praktis kebutuhan akan konten semakin banyak dan menuntut kulitas yang baik. Kualitas menjadi pertimbangan penting karena persaingan tidak lagi dengan perusahaan dan kreator lokal, namun juga dengan negara-negara lain.
“Kami tak menyangka web series orisinal pertama kami, Switch, sangat diminati penonton di negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi. Serial Halustik terkenal di Hong Kong, Malaysia, dan Singapura.” ujar Country Manager Viu di Indonesia, Varun Mehta dalam Kompas (24/11/2019)
Baca juga: Memutar Balik Kehidupan dalam Film Ala Wahyu Agung Prasetyo
Berbicara soal kesiapan, tak hanya dari swasta dan pekerja film yang perlu bersiap, pemerintah dalam hal ini pun dinanti gebrakannya. Misalnya pemerintah dalam beberapa waktu lalu sempat mengeluhkan, minimnya pemasukan yang diberikan perusahaan-perusahaan layanan VOD seperti yang disebutkan di atas. Belum cukup cepatnya peraturan perpajakan kita mengikuti laju perkembangan zaman ditengarai menjadi salah satu sebab. Sehingga perusahaan-perusahaan yang rata-rata berbasis di luar Indonesia itu minim memberi kontribusi bagi negara. Kementerian Komunikasi dan Informatika pun yang sempat menjadi sorotan karena “kealergiannya” pada konten-konten luar diharapkan bisa lebih progresif lagi. Serta tentunya tidak kerap kumat memblokir tayangan-tayangan berdasarkan standar moral yang tidak jelas.
Kembali pada film yang menarik perhatian dunia saat ini Parasite. Korea Selatan pada tahu 1950-an bukanlah negara kaya, memasukin tahun 70-an hingga 90-an perekonomian negara itu mulai berkembang. Hingga tahun 2000-an Korea Selatan mulai menggenjot sektor filmnya. Berkat strategi kebudayaan lintas sektornya, negeri ginseng ini kini menarik perhatian dunia, bukan lagi hanya dari boyband/girlband-nya, tapi juga perfilmannya.
Kini pilihan ada di tangan kita, mau sekadar jadi penikmat atau ikut andil?