Sinema Indonesia kembali menorehkan prestasi di kancah internasional melalui film pendek “Little Rebels Cinema Club” karya Khozy Rizal. Little Rebels Cinema Club sendiri berkisah tentang perjalanan seorang bocah 14 tahun yang mereplikasi adegan film zombie menggunakan handycam tua milik sang kakak. Berlatar. Melalui sentuhan tangan Khozy, film ini berhasil memenangkan penghargaan Crystal Bear di Festival Film Berlin (Berlinale) 2024, sebuah pencapaian yang membanggakan bagi industri film Tanah Air.
Bagi Khozy, penghargaan ini bukan sekadar pengakuan atas karyanya, tetapi juga bukti bahwa film pendek bisa menjadi medium yang kuat untuk bercerita dan menyentuh hati penonton. Meski demikian, Khozy menuturkan bahwa penghargaan hanyalah bonus dari kecintaannya pada film. Terus menerus berkarya dan mengeksplorasi dari ragam aspek film adalah yang paling bermakna.
Inspirasi di Balik “Little Rebels Cinema Club”
Khozy Rizal mengungkapkan bahwa gagasan terkait film ini sebenarnya hadir dari lama, berdasarkan ingatan awal mula sosok belianya mencintai film. Khozy menyimpan memori manis perkenalannya dengan film dari pengalaman masa kecilnya yang dekat dengan dunia film. “Rumahku dekat dengan rental VCD. Aku lebih memilih menonton film daripada bermain dengan teman sebaya. Bahkan, aku sering menabung uang jajan untuk membeli tiket bioskop,” cerita Khozy.
Film ini juga terinspirasi dari kebiasaannya membuat film bersama teman-teman menggunakan *handycam* milik orang tuanya. “Setelah menonton film, kami sering meniru adegan-adegannya dan membuat film sendiri. Itu momen yang sangat berkesan,” tambahnya.
“Little Rebels Cinema Club” ingin mengajak teman – teman film maker, terutama anak muda, untuk mengingat kembali alasan mereka jatuh cinta pada sinema. “Aku ingin mengajak teman-teman untuk merenung, kenapa mereka memilih berkecimpung di dunia film. Apa yang membuat mereka mencintai sinema?” ujar Khozy.
Proses Pembuatan yang Cepat Namun Sarat Tantangan
Meskipun gagasan film ini sudah lama hadir di benak Khozy, momen perwujudannya baru hadir saat MAXStream Studios Telkomsel membuka sayembara film. Dari sinilah Khozy menyadari bahwa ini merupakan momen tepat mengeksplorasi pengalaman masa kecilnya menjadi sebuah film pendek yang manis dan menggugah
Meski tantangan yang dihadapi tidak terbilang mudah, proses pembuatannya bisa dibilang cepat. “Naskahnya selesai dalam satu atau dua hari. Tapi tantangan terbesar adalah mencari kru dan pemain,” ungkapnya.
Film ini membutuhkan anak-anak dengan dialek Makassar yang berbasis di Jakarta. “Kami akhirnya menemukan dua anak yang belum pernah bermain film sebelumnya, tapi mereka sangat natural dan berbakat,” kata Khozy.
Awalnya, Khozy berpikir penting untuk turut bermain dengan para pemeran anak – anak untuk menciptakan kedekatan, namun justru menimbulkan rasa canggung.
“Mereka punya dunianya sendiri sebagai anak – anak. Mereka bermain di luar shooting dan kurasa itu bagus karena di dalam film pun mereka melakukan adegan bermain. Justru ketika dibiarkan secara natural maka, proses shooting pun bisa menghasilkan adegan yang natural”, Ucap Khozy
Selain itu, Khozy juga menghadapi tantangan dalam pembuatan animasi. “Aku menemukan footage bioskop lama dan mengubahnya menjadi animasi untuk menciptakan momen magis menonton film di bioskop. Proses ini sangat menyenangkan,” ujarnya.
Penghargaan di Berlinale: Pengalaman yang Tak Terlupakan
Memenangkan penghargaan Crystal Bear di Berlinale menjadi momen yang tak terlupakan bagi Khozy. “Awalnya, aku tidak berekspektasi apa-apa karena film-film lain juga sangat bagus. Tapi yang paling berkesan adalah melihat reaksi anak-anak saat menonton film ini. Mereka sangat antusias dan tulus,” ceritanya.
Premier film ini digelar di bioskop tertua di Berlin, Zoo Lapast, yang megah dan sarat sejarah. “Tiketnya sold out, dan penonton memberikan respons yang luar biasa, terutama anak – anak. . Mereka bahkan meminta tanda tangan dan foto bersama. Itu pengalaman sinematik yang sangat spesial,” kenang Khozy.
Visi Khozy Rizal: Membawa Warna Baru ke Sinema Indonesia
Sebagai sutradara, Khozy memiliki visi untuk terus mengeksplorasi cerita-cerita yang belum banyak diangkat di Indonesia. “Aku ingin membuat film yang memantik diskusi dan mengajak penonton berpikir. Yang terpenting adalah memberikan pengalaman sinematik yang mendalam,” ujarnya.
Ia juga berharap industri film Indonesia bisa lebih mendukung filmmaker independen, mengingat kesukaran yang dilalui mereka tidaklah mudah. “Tantangan terbesar adalah pendanaan. Pemerintah perlu memberikan lebih banyak dukungan, terutama untuk film pendek, karena medium ini sangat penting untuk mengeksplorasi ide-ide baru,” tegas Khozy.
Proyek Selanjutnya: “I Wanna Dance Myself”
Khozy saat ini sedang mengerjakan film panjang berjudul *”I Wanna Dance Myself”*, yang bercerita tentang seorang remaja queer. “Film ini masih dalam tahap pengembangan, tapi aku sangat bersemangat untuk mengeksplorasi tema ini,” ungkapnya.
Ia juga terus mempersiapkan film pendek baru, karena baginya, film pendek adalah medium yang tepat untuk bereksperimen dan menciptakan terobosan baru dalam sinema. Terlebih, bila bisa kembali berkolaborasi dengan film maker di tingkat internasional karena bisa saling membantu untuk mewujudkan karya bersama
Selain itu Khozy juga bertutur pentingnya untuk tidak takut bereksperimen dan menggali eksplorasi lebih jauh dalam berkarya. “Menurut saya, film pendek adalah media yang sempurna untuk mengeksplorasi ide-ide kita. Yang terpenting adalah terus berkarya dan mengasah keterampilan,” ujarnya.
Khozy berharap semakin luas kalangan anak muda dan masyarakat dalam menonton dan mendiskusikan film sebagai medium berkembang bersama. “Sinema bukan sekadar hiburan. Ia bisa membuka pikiran kita, memicu empati, dan memantik diskusi. Mari kita rayakan sinema bersama-sama,” tutup Khozy.
