Artikel
Mencari Film Madani Bersama Ekky Imanjaya
Tulisan merupakan bagian dari program apprenticeship Infoscreening
Menjamurnya film bertemakan Islam di Indonesia merupakan sebuah fenomena yang tidak bisa kita ingkari. Sejak dirilisnya film Ayat-Ayat Cinta karya Hanung Bramantyo pada tahun 2008, antusiasme penonton terhadap film bertemakan Islam kian meningkat. Karenanya, tidak aneh jika setiap tahun kita dapat menyaksikan berbagai film yang diasumsikan bergenre religi di bioskop-bioskop nasional kita. Namun, apa itu film religi?
Ekky Imanjaya selaku peneliti, kritikus film Indonesia, dan dosen tetap di Prodi Film Universitas Bina Nusantara mampu membantu kita untuk menjawabnya. Melalui buku kumpulan esai dan artikel dari 2008–2018 yang berjudul, “Mencari Film Madani: Sinema dan Dunia Islam”, Ekky Imanjaya mengajak kita untuk bersama-sama memahami apa itu film bernapaskan Islam. Tepat pada tanggal 25 November 2019, Infoscreening pun mendapatkan kesempatan untuk berbincang santai bersamanya.
Secara singkat, apa itu Film Madani?
Saya tuh sebenernya males ngomongin masalah definisi karena terlalu banyak definisi mengenai istilah tersebut. Bahkan ada yang sebut Film Islam, Film Dakwah ataupun Film Islami. Contohnya, seperti Chairul Umam yang bilang kalo film bernapaskan Islam itu yang cerita dan pengadeganannya tidak meresahkan orang beriman. Nah, yang meresahkan itu seperti apa? Kan masing-masing beda.
Tapi, karena saya kebetulan anggota dari Festival Film Madani dan sering juga menulis tentang film-film terkait dunia Islam, jadi saya namakan Film Madani. Bagi saya, Film Madani merupakan film tentang dunia Islam dan bukan tentang Islam. Jadi, lebih bagaimana Islam itu dijalankan dan dihayati. Makanya, kalo di Festival Film Madani disebutkan, “Celebrating Moslem Diversity” karena semua orang menghayati Islam dengan cara yang berbeda-beda. Saya ingin tahu bagaimana masyarakat Islam itu direpresentasikan melalui berbagai macam permasalahan yang identik dengannya. Bisa dibilang, beberapa ciri khasnya seperti imigran, terorisme, pendatang, dan identitas. Nah, yang menarik dari tulisan saya adalah artikel-artikel yang sebagian saya tulis di Rumah Film. Di sana, kita sering kali mem-frame sebuah film yang biasanya orang umum tidak anggap sebagai film Madani atau film Islam. Misalnya seperti Laskar Pelangi. Seperti yang dikatakan Aida Begic, semakin tidak berdakwah, semakin baik.
Intinya, Film Madani adalah film mengenai living Islam, Islam yang dihayati pemeluknya dan permasalahan khasnya.
Artikel-artikel dalam buku ini merupakan kumpulan tulisan Mas Ekky dari tahun 2008 hingga 2018. Bagaimana proses sampai akhirnya buku ini lahir?
Awalnya, buku ini tidak berjudul, “Mencari Film Madani”. Tapi, ketika saya masuk sebagai bagian dari Festival Film Madani kok rasanya visi dan misinya sama dengan saya, yaitu berbicara mengenai umat Islam. Apalagi, Festival Film Madani dirangkumnya sebagai living Islam. Jadi, sekalian saja bukunya saya namakan , “Mencari Film Madani”. Jadi kalo ada yang kritik, saya bisa bilang, kan masih mencari. Kebetulan Komite Film Dewan Kesenian Jakarta saat itu sedang mencari naskah untuk Seri Wacana Sinema. Dan, naskah itu diterima. Alhamdulillah.
Salah satu artikel yang paling menarik adalah, “Film Genre Rasa Islam”. Ternyata banyak genre di dalam Film Madani, ya?
Saya pribadi ingin bilang bahwa film Islam itu bukan cuma drama. Tapi ada loh film Islam bergenre horor, seperti Munafik dan Makmum, atau film islami yang memasukkan unsur silat seperti film Yasmin yang merupakan sebuah kolaborasi antara pembuat film Brunei, Indonseia, dan Malaysia.
Baca juga: Shalahuddin Siregar: Nila Setitik Tidak Seharusnya Merusak Susu Sebelanga
Kalau di Barat, enggak jarang kita menemukan film-film yang memiliki semangat spiritual. Misalnya, film Home Alone yang memiliki adegan merayakan hari Natal. Bahkan, perdebatan mengenai film Die Hard itu film Natal atau tidak pun hadir di sana. Tapi, di Indonesia, setidaknya pas saya sedang menulis tulisan saya di buku tersebut, jarang sekali ada film yang berlatarkan Idul Adha dan Idul Fitri. Bisa dibilang, hampir gak ada.
Sedangkan, film-film Indonesia terdahulu bisa dikatakan lebih modern. Film Nada dan Dakwah milik Chairul Umam itu menceritakan tentang fikih tanah. Kiri banget, itu! Coba sekarang dibikin film seperti itu, bahaya. Meskipun, kala itu ada film seperti Atheis yang disupervisi oleh Hamka, sehingga bisa membantu meredakan suasana.
Jadi, zaman dahulu film Islam lebih ekstrem?
Eggak lebih ekstrem, sih. Hanya lebih terbuka saja. Apalagi, zaman dulu kan belum ada media sosial.
Kalau begitu, Mas Ekky setuju enggak dengan istilah genre religi?
Wah, itu susah juga ya. Film genre religi itu kan cuman untuk memudahkan pemetaan penonton. Cuman di dalam buku, “Mencari Film Madani”, saya lebih fokus pada film-film yang problematikanya dapat relate oleh orang muslim. Misalkan, kita bandingkan film Bukan Cinta Biasa dengan Ayat-Ayat Cinta. Yang pertama memiliki family value, sedangkan yang kedua lebih pada pencapaian personal. Kemudian, mana yang lebih islami? Yah, bisa dikatakan zaman dahulu lebih mengenai masyarakat, sedangkan sekarang lebih ke personal. Ini hal-hal yang dibahas bersama teman-teman Rumah Film dulu.
Ada kata kunci dominan dalam buku ini yaitu “multikulturalisme”. Kenapa memilih untuk membahas film bernapaskan Islam menggunakan pendekatan multikulturalisme?
Salah satu alasan saya ada di tulisan mengenai Festival Film Aceh. Waktu itu, saya diundang ke sana. Bagi mereka, Aceh itu kan singkatan, yaitu Arab, Cina, Eropa dan Hindia. Tapi, saat itu, yang disebut Islam itu Arab. Jadi, pas diputar film Captain Abu Raed dari Jordan yang memperlihatkan seorang pilot perempuan tidak memakai hijab, mereka bilang itu bukan film Arab! Lah, Arab kan banyak, ada yang ateis, sosialis, dan bahkan Kristen. Tapi, orang yang nanya saya tetap yakin pokoknya Islam itu Arab, Arab itu Islam karena Islam datang dari sana. Bukan itu saja, seorang sosiolog Aceh yang menjadi pengulas pada acara itu pun menyatakan bahwa film tidak bisa menjadi representasi karena film ini Perancis banget. Tapi, itu kan film dari Arab.
Saya cuman pengen nunjukin sebenarnya banyak cara dalam ber–Islam. Di Indonesia, apalagi. Jadi, selama masih ada dalilnya, ya silakan saja.
Jadi, buku ini respons untuk kehadiran film-film bernapaskan Islam di Indonesia?
Eggak juga sih, ini merupakan kurasi saya akan film-film Islam yang baik menurut saya.
Termasuk film Dua Garis Biru yang juga masuk dalam pembahasan di buku ini, Mas?
Wah, film itu Islam sekali. Ceritanya kan ngomongin surga-neraka, tentang bersikap dengan orang tua dan permasalahan harus menikah serta talak. Walaupun, banyak film yang memperlihatkan adegan pernikahan, tapi di film ini ada alasan kuat kenapa dia harus menikah. Apalagi, terdapat jurang di antara dua keluarga tokoh, yang satu Islam konservatif dan yang satu lebih liberal. Berbagai perbedaan itu kan hal-hal yang terjadi di masyarakat Muslim.
Baca juga: Proyek Film Terbaru Mouly Surya Dapatkan Dukungan Hubert Bals Fund Voices
Buku ini merupakan terbitan dari Seri Wacana Sinema milik Komite Film Dewan Kesenian Jakarta. Boleh jelaskan alasan dan harapannya, Mas?
Mungkin orang bingung, “Kok Komite Film ngeluarin buku?”, tapi Hikmat Darmawan selaku ketua Komite Film ingin membuka percakapan-percakapan tentang wacana film. Nanti akan ada 6 buku dengan berbagai pembahasan. Kemungkinan semuanya akan rampung pada bulan Desember tahun ini. Saya berharap dengan dirilisnya 6 buku dari Seri Wacana Sinema dapat menjadi pancingan agar masyarakat Indonesia mulai bergairah pada kajian film, budaya, maupun budaya populer.
Kalau Festival Film Madani akan diselenggarakan kapan lagi, Mas?
Tahun depan, di bulan Oktober.
Temanya?
Jangan dulu dong! Masih rahasia! (tertawa)
Jika ingin memiliki buku, “Mencari Film Madani: Sinema dan Dunia Islam”, maka pembaca Infoscreening dapat mendapatkannya secara gratis dengan mengklik link ini: . Dengan ongkos kirim ditanggung penerima dan selama persediaan masih ada.