Artikel

Sawalasoka oleh Sewon Screening #7: Menonton dan Berdiskusi Lewat Dokumenter

Sewon Screening kembali digelar tahun ini oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Televisi, Fakultas Seni Media Rekam, ISI Yogyakarta. Pertama kali diadakan tahun 2015, Sewon Screening #7 nantinya akan menyuguhkan film masa kini yang memiliki keterkaitan dengan periode atau hal lain di masa lampau yang menjadi cerminan perkembangan sinema di Indonesia.

Sebelum festival film dilaksanakan, Sawalasoka sebagai program pemutaran pra-event Sewon Screening #7 diselenggarakan. Di minggu kedua bulan September, Sawalasoka yang membahas isu kesehatan mental serta lingkungan diadakan dengan menghadirkan komunitas Satu Persen dan Green Welfare Indonesia. Sementara itu, dua acara yang fokus pada bahasan teman tuli serta LGBTQ+ dengan tamu komunitas Fantasi Tuli dan Arus Pelangi berlangsung Sabtu (25/9) serta Minggu (26/9).

Isu lingkungan yang jadi perhatian

Program Sawalasoka dengan topik obrolan terkait isu lingkungan dilaksanakan pada Minggu (12/9) lalu secara daring. Di acara tersebut, dua film yakni Living in ROB (2017) karya Fuad Hilmi Hirnanda dan TAKE BACK! (2019) buatan Mada Ariya diputar. Pada sesi diskusi, selain sutradara serta produser kedua film tersebut, hadir pula Dahliza Nurfitri dari Green Welfare Indonesia. Kolaborasi antara filmmaker dan komunitas diharapkan membantu penonton mendapatkan informasi yang tepat dan benar seputar isu yang dibicarakan.

Living in ROB menceritakan kisah masyarakat di Pekalongan yang hidup di daerah banjir rob dan bagaimana cara mereka beradaptasi dengan keadaan di sana. Sementara itu, film TAKE BACK! menyoroti Prigi Arisandi, Direktur Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) yang getol mengawal problem sampah plastik dari negara lain yang masuk Indonesia lewat impor sampah kertas bekas.

Rimandha Tasya, produser Living in ROB, mengatakan banjir rob di Pekalongan sudah dirasakan warga sejak tahun 2014 yang membuat mereka kesusahan beraktivitas, termasuk melakukan kegiatan masak.mandi, dan cuci. Keadaan itu lantas mendorong timnya bersepakat mengangkat masalah tersebut ke dalam film dokumenter.

Selanjutnya, sutradara TAKE BACK! Mada Ariya mengatakan dirinya mengenal LSM Ecoton sejak penggarapan film Lakardowo Mencari Keadilan. Lewat film ini, ia ingin menjelaskan bahwa problem sampah plastik di Indonesia tidak hanya disebabkan perilaku masyarakat tetapi juga karena sumbangan sampah plastik dari negara lain.

Fuad Hilmi, sutradara Living in ROB, menjelaskan pemerintah telah melakukan tindakan berupa peninggian jalan dan pembuatan tanggul di pinggir pantai. Namun, menurut salah satu warga, hal tersebut tidak menyelesaikan persoalan karena air masih menggenangi wilayah di sana. Oleh karena itu, ia ingin film ini terus dibicarakan agar isu yang diangkat mendapatkan perhatian hingga masalah selesai.

Baca juga: Dokumenter di Indonesia: Tetap Berkreasi meski Ekosistem Belum Jadi

“Sebisa mungkin film ini harus dibicarakan karena isu ini sampai sekarang belum terselesaikan. Padahal climate change semakin hari semakin parah dan berita banjir di setiap kota di pesisir itu ada. Entah di Semarang, Pekalongan, Tegal, bahkan di Jakarta,” katanya.

Sementara itu, Mada Ariya berpendapat butuh ada kolaborasi antara pembuat film dengan pihak lain seperti LSM dan masyarakat agar problem yang muncul bisa tertangani. Menurutnya, film tidak bisa berdiri sendiri untuk membuat perubahan.

“Butuh kolaborasi lalu rencana jangka panjang film ini nanti bakal dijadikan apa atau diputar di mana. Karena filmnya dokumenter, ia harus ditayangkan sebebas-bebasnya dan dari situ baru ketahuan dampaknya. Mungkin nanti bakalan ada respon dari penonton atau pemerintah,” ujarnya.

Terkait persoalan sampah plastik, Mada Ariya menekankan perlunya mengambil sikap untuk berhenti menggunakan plastik sekali pakai. Plastik, katanya, dibikin agar kegiatan penebangan pohon buat pembuatan kertas berkurang. Tetapi, demi kepraktisan, ia diproduksi untuk penggunaan sekali pakai. Meski ada mekanisme daur ulang, Mada mengatakan tidak semua sampah plastik bisa didaur ulang dan jika dapat di­-recycle proses tersebut memakan energi yang besar.

Hal yang dibahas Mada di atas lalu mendapat tanggapan dari Dahliza Nurfitri. Menurut pegiat di Green Welfare Indonesia tersebut perubahan kecil yang bermanfaat buat lingkungan perlu didukung.

“Di kampus aku ada mahasiswa yang ikut kejuaraan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dan menang. Mereka bikin bungkus bumbu mi instan yang diklaim ramah lingkungan. Itu bisa banget didukung tapi bisa jadi dukungan itu meredup karena enggak banyak orang yang peduli. Jadi penting buat kita untuk mendukung hal sekecil apapun yang bermanfaat buat lingkungan,” katanya.

Baca juga reportase lainnya dari Nindias pada pada halaman berikut

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top