Tulisan merupakan bagian dari program apprenticeship Infoscreening
Festival film UCIFEST 11 tahun ini kembali digelar. Berbeda dari tahun sebelumnya, UCIFEST kali ini dihelat secara daring (online) melalui Youtube akibat pandemi corona. Di sesi keempat pada hari pertama (21/04), berlangsung seminar bertajuk “Eksistensi Dokumenter di Era Sekarang” yang mengundang Amelia Hapsari (Program Director In-Docs). Penulis Infoscreening berkesempatan mengikuti seminar tersebut dan meliputnya.
Film dokumenter lebih mudah dijumpai di festival film dibandingkan bioskop atau televisi di Indonesia. Alasannya karena filmmaker harus mengeluarkan tenaga besar jika ia ingin karyanya diputar di bioskop. Sebagai contoh, dia wajib mengumpulkan dana untuk membuat Digital Cinema Package (DCP). Filmmaker juga mesti menyediakan anggaran promosi supaya publik datang menonton.
Di sisi lain, stasiun televisi di Indonesia kebanyakan dimiliki swasta yang menayangkan program berdasarkan pertimbangan iklan. TVRI sebagai stasiun televisi publik pun kesusahan menjadi pemutar utama karena masih bergumul dengan persoalan pendanaan dan sebagainya. Ekosistem film dokumenter, pada akhirnya, belum sepenuhnya terbentuk di negara ini. Lantas, bagaimana filmmaker mesti menyikapi keadaan tersebut?
Melihat sebagai tantangan
Film dokumenter tak pernah lepas dari realitas. Oleh karenanya, ia berpotensi besar menggugah dan membuka cara pikir orang. Lewat perspektif sang filmmaker, film jenis ini dapat mengajak publik bergerak untuk berbuat sesuatu. Dokumenter juga mampu menyajikan hal yang luput dari perhatian media arus utama.
Karakteristik ini, menurut Amelia Hapsari, bisa menjadi kekuatan filmmaker yang ingin membuat film dokumenter di tengah ekosistem yang belum sepenuhnya terbentuk. Alih-alih dipandang sebagai hambatan, Amelia mengatakan pembuat film justru perlu melihatnya sebagai tantangan sekaligus kesempatan.
Baca juga: UCIFEST 11: Mereka yang Menang dan Meraih Penghargaan D.A Peransi
“Film dokumenter itu memiliki potensi yang amat besar tetapi saat ini belum terealisasi terutama di Indonesia karena ekosistem yang belum terbangun. Tapi, kita harus melihat hal ini sebagai tantangan kepada diri kita juga. ‘Oke, kalau seperti itu apa yang bisa kita lakukan? Bagaimana kita bisa berperan secara unik dengan kemampuan dan kesempatan yang kita miliki?’”
Amelia menjelaskan banyak cerita yang bisa dikupas tentang Indonesia mengingat negara ini unik jika dilihat dari kacamata geopolitik. Misalnya, Indonesia yang telah merdeka sekarang masih berkutat dengan masalah kesenjangan. Demokrasi hasil reformasi tahun 1998 pun kini sedang mendapatkan tantangan.
Dari sisi lingkungan hidup, luas hutan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua terus berkurang meski hutan Indonesia dianggap sebagai salah satu paru-paru dunia. Hal ini, menurut Amelia, membuat filmmaker Indonesia berpotensi berbicara lebih lantang lewat dokumenter.
Menemukan suara otentik
Walaupun ekosistem dokumenter belum sepenuhnya terbentuk, filmmaker bisa memanfaatkan program dari sejumlah pihak atau organisasi. Pemanfaatan itu agar karya mereka dapat dikembangkan, diputar, atau didistribusikan. Di In-Docs, ada dua program yang bisa diikuti, Docs By The Sea dan Good Pitch.
Amelia menjelaskan Docs By The Sea merupakan platform kerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia yang memiliki agenda menghubungkan talenta film dokumenter di Asia Tenggara dengan dunia internasional. Selama tiga tahun terakhir sebanyak 74 proyek dokumenter telah didukung lewat program ini dan 20 di antaranya telah selesai.
“Docs By The Sea itu kami memilih 30 proyek dari Asia Tenggara yang belum jadi untuk dipresentasikan ke lebih dari 30 pengambil keputusan dari seluruh dunia yang nantinya bisa berkolaborasi. Kolaborasi itu entah memberikan pendanaan, mentorship, atau semakin menghubungkan film ini dengan kesempatan di seluruh dunia,” ujarnya.
Sementara itu, program Good Pitch berusaha menghubungkan dokumenter dengan penggerak perubahan seperti pemerintah, LSM, dan pendidik. Tujuannya agar peran film tersebut semakin besar dan lebih banyak orang yang menonton dokumenter itu.
Menurut Amelia, seseorang mesti menemukan suara otentik jika ia ingin mengambil keuntungan dari platform seperti Docs By The Sea atau Good Pitch. Makanya pembuat film mesti membangun pengetahuan dan mengulik hal yang ingin ia bahas.
Baca juga: Berdaya di Tengah Pandemi: Upaya Pekerja Film Menjaga Kewarasan
“Dokumenter tergantung pada perspektif. Nah, somehow kita harus menemukan suara sendiri yang tidak sama dengan yang lain. Dan untuk menemukan itu, caranya kita harus melihat dunia itu sendiri dan membangun pengetahuan. Supaya kita tahu ini adalah narasi yang ditawarkan dunia tapi yang aku tawarkan adalah ini sehingga tawarannya berbeda, otentik, serta unik,” jelasnya.
Selain suara yang otentik, Amelia juga menekankan pentingnya mendapatkan kepercayaan dari kalangan artistik dan industri. Kemampuan berinovasi serta usaha membuat perjalanan berkreasi menjadi berkelanjutan pun turut dibutuhkan.
“Menyeimbangkan antara kepercayaan kalangan artistik dan industri penting untuk bisa bertahan dan berkembang di panggung film dokumenter. Dan dengan ketidakpastian dunia dokumenter, belum ada industri besar yang membuat pergerakan uang jadi pasti. Kita juga mesti mencari cara supaya bisa berkelanjutan, dengan misalnya mengajar atau sebagainya. Ketiga, harus selalu bisa beradaptasi dan tak lelah jadi pemula karena kita saat ini hidup di era disrupsi,” katanya.
Disrupsi terbesar yang sedang terjadi, menurut Amel, adalah virus corona yang telah menginfeksi lebih dari tiga juta orang di seluruh dunia. Pandemi itu membuat masyarakat tidak tahu dengan pasti apa yang bakal terjadi di masa mendatang. Oleh karena perubahan akan terus datang, para pembuat film dokumenter harus bisa berinovasi dengan melakukan eksperimen sehingga mampu beradaptasi.
