Artikel
Suarakan Keberagaman, Pesantren Buka Madani Film Festival 2021
JAKARTA – Film dokumenter arahan Shalahuddin Siregar, Pesantren, membuka Madani Film Festival 2021, Sabtu (27/11/2021). Pesantren (atau A Boarding School) merupakan karya dokumenter ketiga arahan Shalahuddin setelah 13 September (2005), dan Negeri di Bawah Kabut (2011).
Film Pesantren yang menggambarkan kehidupan pendidikan formal dan spiritual dari para santri di Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Ciwaringin, Cirebon, ini sebelumnya terpilih untuk diputar di International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA) 2019. Sebelum diputar di Madani Film Festival 2021, dokumenter yang berdurasi kurang lebih 120 menit ini sempat diputar di pemutaran alternatif lainnya. Namun, pemutaran di Madani merupakan yang pertama dilakukan di layar bioskop.
Pesantren dibuka dengan seorang santriwan mengaji di dalam masjid, dalam suasana gelap sebelum salat subuh. Suatu penggambaran yang autentik dan sahih tentang sebagian besar kehidupan di kota santri, di mana hari akan dimulai dari kegiatan di masjid saat fajar. Setelah itu, kamera mengajak para penonton untuk melihat suasana malam di mana para santri di pondok pesantren Kebon Jambu sedang terlelap, sebelum dibangunkan untuk salat berjamaah dan memulai kegiatan keseharian.
Sepanjang film, Pesantren tidak hanya menyuguhkan penonton bagaimana gambaran proses pendidikan yang dikenyam oleh santriwan dan santriwati. Akan tetapi, film dokumenter ini turut menyoroti secara gamblang interaksi ilmiah dan sosial orang-orang di dalamnya. Shalahuddin menangkap momen di mana para santri dan asatiz (para guru) berdialog dan bermuhasabah tentang berbagai hal mulai dari kesetiaan seekor anjing yang kerap dianggap najis, sampai dengan perlunya persetujuan atau consent perempuan dalam pernikahan.
Dengan kombinasi penggambaran keseharian santri dan penyorotan personal ke subyek dokumenter, Shalahuddin terlihat ingin mendobrak stigma negatif yang dikaitkan ke pesantren. Terutama, stigma yang erat tentang radikalisme, anti keberagaman dan perbedaan, serta posisi perempuan di dalam Islam. Suryani Liauw, Impact Producer dari Pesantren, yang hadir di opening Madani Film Festival mengatakan film tersebut merupakan pesan yang kuat akan menghargai perbedaan.
Baca juga: Ruang Aman dalam Alteraksi dan Pesantren
“Film ini ‘pesan’ yang sangat kuat soal menghargai perbedaan, di mana mereka tetap saling menghargai walaupun mereka beda pendapat. Ada satu adegan digambarkan secara eksplisit di mana mereka debat tentang [hukum] pernikahan lewat video call. Mereka tidak berantem, berbeda pendapat itu biasa saja,” jelasnya ke Infoscreening.
Festival Director Sugar Nadia menyebut Pesantren merupakan film yang mewakili visi yang ingin disampaikan oleh Madani Film Festival, yaitu keberagaman dalam mempelajari atau menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan. “Keberagaman itu yang kita lihat di Pesantren, dan memang momennya pas dengan tema ‘Light’, lalu pertama kali diputar di bioskop, maka kami pilih film ini.”
Tidak hanya Pesantren, Sugar juga mengatakan lineup film-film yang akan diputar di Madani Film Festival memiliki spirit yang sama yaitu keberagaman dalam Islam, baik dalam mengajarkan kebaikan dan kejenakaan. Seperti tema yang diangkat yaitu “Light: Sufism and Humor”, festival ini ditujukan untuk menyajikan berbagai potret keberagaman dalam Islam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia.
Sugar menilai adanya Madani Film Festival tahun ini tidak hanya berperan sebagai respons yang relevan terhadap situasi dan kondisi beragama di dalam maupun luar negeri. Akan tetapi, juga sebagai respons terhadap film-film bertema Islam dalam ranah arus utama atau mainstream, khususnya di Indonesia. Menurutnya, kehadiran Madani adalah untuk memperlihatkan keberagaman dalam Islam, bukan untuk memperlihatkan Islam yang seragam.
“Madani Film Festival tidak berniat untuk dakwah Islam, tetapi lebih untuk mendorong keterbukaan diri terhadap kisah-kisah dari Muslim yang berasal dari berbagai kultur. Kita ingin memberikan keragaman dalam cerita, dalam film, terutama yang berlatarkan Islam. Kita punya banyak film-film serupa di bioskop, tapi apakah itu sudah menggambarkan kultur Islam yang beragam? Bahkan, kalau kita nonton di bioskop, justru yang sering ditemukan lebih banyak yang seragam,” ujarnya.
Madani Film Festival 2021 dibuka pada 27 November 2021, dan akan diselenggarakan sampai dengan 4 Desember 2021. Madani di tahun kedua pandemi Covid-19 akan menayangkan 13 film, serta tujuh diskusi dengan tema berbeda dengan menghadirkan 20 narasumber, selama tujuh hari pelaksanaan. Untuk menikmati film yang diputar, Kineforum telah menyiapkan ruang menonton secara daring melalui kineforum.eventive.org.
Film-film yang akan diputar di antaranya yaitu Amor dan Humor karya Usmar Ismail dan Bulan Tertusuk Ilalang karya Garin Nugroho. Tahun ini, Madani juga akan menggelar diskusi dengan narasumber Internasional; Hassan Abdul Muthalib (Malaysia), Amir Massoud Soheli (Iran), Dag Yngvesson (Malaysia), dan segenap narasumber tanah air yang ahli dan berpengalaman. Festival nantinya akan ditutup dengan pemutaran film Casablanca Beats oleh Nabil Ayouch (Maroko). Film yang bertemakan musik rap ini merupakan salah satu kompetisi utama atau official selections dari Cannes Film Festival 2021. Casablanca Beats akan ditayangkan secara luring pada 4 Desember 2021, di Epicentrum XXI.
Sugar menyatakan bahwa Madani ingin menyuarakan sudut pandang alternatif tentang Islam, yang beragam dan jenaka. Oleh sebab itu, film-film yang diputar pun beragam dari sisi negara asal, lanskap sosial-politik, dan juga tokoh-tokoh Muslim dalam perfilman seperti salah satunya Benyamin Sueb.
“Inti festival ini sebenarnya ingin memberikan alternatif atau berbagi cerita bahwa Islam menjunjung tinggi toleransi, cinta perdamaian, dan humanis. Kita banyak mendengar dari negara luar bahwa Islam itu dekat dengan terorisme, strict, atau radikal,” pungkas Sugar.