Film Review

Review – Prenjak (Wregas Bhanuteja, 2016)

Posted on

“Everything in the world is about sex. Except sex. Sex is about power.” – Oscar Wilde

Menyoal seks dan kuasa memang perkara lawas, tapi bagaimana menerjemahkannya dalam sebuah film pendek berdurasi 12 menit tanpa harus bertele-tele? Kisahnya dalam film Prenjak sederhana, Diah (Rosa Sinegar), tengah kesulitan keuangan. Diah akhirnya menawarkan kepada Jarwo (Yohanes Budyambara) untuk membeli korek api seharga Rp 10 ribu per batang. Dengan korek api itu, Jarwo bisa melihat vagina Diah.

Yang terjadi selanjutnya adalah transaksi kuasa antara siapa yang punya modal dan apa yang pemodal itu bisa lakukan dengan modalnya. Sudah jelas hubungan Jarwo dan Diah adalah hubungan transaksional belaka. Ini dibumbui kalimat-kalimat Jarwo yang seolah biasa saja namun menyimpan muatan misogynist seperti “Kenapa nggak cari suami saja biar kamu nggak usah kerja”.

Ini adalah kalimat sederhana yang orang Indonesia sering dengar tiap hari, namun menegaskan stigma bahwa perempuan di rumah saja, laki-laki bekerja. Sebuah pembagian peran yang seharusnya tidak statis apalagi dipaksakan secara sosial. Secara narasi, film yang dibuat Wregas Bhanuteja di sela-sela menjadi kru film Ada Apa Dengan Cinta? 2 ini tidak sulit dicerna.

Baca juga: Catatan Focus on Wregas Bhanuteja dalam Sinema Sabtu

Prenjak bukan film yang penuh simbol metafora atau alegori laksana film-film eksperimental, namun menggugah penonton untuk berpikir, “wah ternyata ada ya orang orang sampai harus merendahkan harga dirinya demi sesuap nasi dengan cara seabsurd ini”. Ini bukan “pornografi kemiskinan”, sebab film-film pendek dan independen memiliki kebebasan artistik untuk menyuarakan hal-hal yang jarang disuarakan media atau film-film arus utama.

Di sinilah kekuatan Prenjak. Kemenangannya di ajang Cannes menjadi “iklan gratis” yang tentu akan membuat mereka yang jarang menonton film independen, apalagi pendek, menjadi berminat, sekaligus membuka rasa penasaran dan siapatahu menginspirasi yang lain untuk mengangkat keragaman tema yang jarang diangkat film-film arus utama.

Satu hal yang pasti, film ini akan membuka perdebatan mengenai apa yang pantas ditampilkan secara gamblang dan apa yang tidak di Indonesia. Tidak perlu protes “Kok film Indonesia yang tayang di festival luar negeri menonjolkan yang jelek-jelek saja sih”. Wah apakah kita pernah mendengar warga Jerman protes pada Spielberg ketika membuat Schindler’s List? Atau warga Amerika Serikat kesal karena 12 Years A Slave menyorot masa perbudakan yang kelam?

1 Comment

  1. Pingback: Prenjak, Ciblek, dan Burung Lainnya | Youth Proactive

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

Copyright © 2016 Infoscreening.

Exit mobile version