Artikel

Sidi Saleh Bicara Pai Kau: “Ini Bukan Film Tentang Etnis”

Posted on

Sepak terjang Sidi Saleh sebagai sutradara dimulai sejak film pendek berjudul Full Moon yang menjadi bagian dari film omnibus Belkibolang pada 2011. Setelah itu Sidi sudah beberapa kali menyutradarai film pendek di antaranya: Love Me Please (2012), Fitri (2013), Silent, (2014), Maryam (2014), dan yang terbaru Interfe-rest (2017). Film-film pendeknya juga berhasil menembus festival film dalam dan luar negeri seperti Jogja NETPAC Asian Film Festival (JAFF), Clermont-Ferrand International Short Film Festival, hingga Venice Film Festival.

Puncaknya Sidi sukses membawa pulang piala Orrizonti (horison) lewat Maryam yang menjadi film pendek terbaik pada Venice Film Festival ke-71 pada 2014. Prestasinya tersebut menjadikan pria alumni Institut Kesenian Jakarta ini sebagai orang Indonesia pertama yang meraih piala pada festival film tertua di dunia. Maryam juga mempertemukan Sidi dengan Irina Chiu dan Tekun Ji yang menjadi produser film panjang perdananya, Pai Kau.

“Suatu hari ada pemutaran film-film pendek di bioskop ternama. Kebetulan kita tonton Maryam, filmnya Sidi Saleh. Saat nonton kita terpukau sekali. Kita suka maknanya keterampilannya, dan segalanya. Setelah acara selesai, saya berkenalan dengan Sidi,” ujar Irina Chiu menceritakan awal perkenalannya dengan Sidi Saleh di acara “Diskusi bersama Sidi Saleh, Produser, dan Pemain Film Pai Kau”pada Rabu (17/1) di IFI Jakarta. Selain Irina, hadir pula Sidi Saleh, Tekun Ji, serta beberapa pemain film Pai Kau: Anthony Xie, Ineke Valentina, dan Tjie Jan Tan.

Pai Kau berasal dari bahasa mandarin Pai Gow yang berarti permainan domino. Pai Kau bercerita tentang hari pernikahan yang menegangkan bagi pasangan Lucy (Irina Chiu) dan Edy Wijaya (Anthony Xie). Di hari pernikahan mereka, tiba-tiba muncul seorang tamu yang tak diundang. Dia adalah Siska (Ineke Valentina), seorang perempuan yang akan mengubah segalanya. Film ini tayang serentak mulai 8 Februari mendatang.

Setelah diskusi selesai, Rasyid Baihaqi dari Infoscreening berbincang-bincang dengan Sidi Saleh mengenai proses pembuatan film Pai Kau,kedekatannya dengan etnis tionghoa, pandangannya soal perempuan dan seksualitas, sampai perfilman Indonesia. Berikut petikannya.

Bagaimana awal mula proyek film Pai Kau?

Awalnya mereka (Irina Chiu dan Tekun Ji) tertarik bikin film. Akhirnya kita ngobrol-ngobrol. Tapi kalau saya sendiri sebenarnya ketika mau bikin film; untuk mengajak pemain gak sesederhana itu. Karena kadang belum tentu cocok juga. Ketika ada cerita A, belum tentu bisa mengajak pemain A ini dong. Jadi saya bilang, “Gimana kalau saya bikin cerita saja buat kamu?” Segampang itu. Karena itu jauh lebih mungkin untuk kita berkolaborasi. Kalau menunggu saya bikin cerita, terus mengajak kamu. Belum tentu, karena di dalam film ada yang namanya casting. Casting itugak bisa diarahkan mau yang ini. Itu kan gak mungkin. Jadi lebih baik ya sudahfilm ini memang didesain untuk dia (Irina Chiu).

Jadi idenya sendiri dari siapa?

Kalau ide sih dari saya. Saya yang bikin ceritanya tapi kita diskusikan bareng. Akhirnya ketemu format yang sekarang, lalu saya tulis naskahnya.

Kenapa akhirnya memutuskan ide film Pai Kau ini yang diproduksi?

Sebenarnya untuk memutuskan filmnya, tidak ada yang pernah spesifik. Maksudnya gini, rencana banyak tapi yang mana yang jalan itu gak ada. Akhirnya saya mencoba semuanya dan yang palingmemungkinkan, itu yang dilanjutkan. Jadi kenapa pilih yang ini? Karena paling memungkinkan dan bisa dikerjakan. Jadi dijalani terus dan ternyata prosesnya itu lancar.

Prosesnya berapa lama dari awal sampai sekarang?

Kalau proses utuhnya 1,5 tahun, mulai dari ceritanya sampai filmnya jadi. Tapi kalau sampai rilis berarti hampir 2 tahun.

Bagaimana proses mencari para pemain dalam film ini? Apa kriterianya?

Yang pasti, yang paling cocok dengan naskahnya. Seingat saya itu gini, kita coba untuk ambil dari aktor (professional) tapi karena aktor dengan keturunan orang tionghoa itu gak banyak, boleh dibilang gak banyak, masih terhitung jari. Akhirnya kita gak putus di situ, kita coba terus sampai akhirnya mencoba untuk ya sudah acak saja. Jadi ada yang menyebar poster casting, ada yang saya ketemu di jalan, ada yang di mall.

Oh pernah ketemu di jalan dan di mall?

Banyak. Beberapa kali. Saya ketemu satu orang di depan Taman Ismail Marzuki (TIM). Awalnya saya ketemu, terus kenalan. Saya memberi tahu kalau saya pembuat film.

Apa yang dilihat dari orang itu?

Kadang-kadang saya sudah punya gambaran karakternya kayak apa. Jadi pemilihan yang kayak gitu, langsung saya yang milih. Saya lihat kalau pas, terus ya ambil.

Lalu orang itu diminta casting?

Iya kemudian orang itu ikut casting. Kalau terlalu parah, maksudnya harus dipoles banyak atau memang sulit untuk menyesuaikan karakternya. Atau misalnya secara fisik oke, tapi ternyata ngomongnya indo gitu. Ya gak mungkin kan diubah. Ya sudah kita cari lagi yang lain.

Dalam poster casting tertulis pemain harus bisa bahasa mandarin?

Iya memang karena ada beberapa adegan yang menggunakan bahasa mandarin.

Tadi saat diskusi Anda mengatakan bahwa sekitar 80% pemain dalam film ini adalah pendatang baru. Bagaimana Anda mengarahkan para pendatang baru ini?

Yang pasti ada reading dulu. Ada coaching. Karena mereka memang bukan aktor/aktris (professional), saat coaching itu kadang mereka ada yang bisa dan tidak. Jadi sebisa mungkin saya menggunakan berbagai cara saja. Ada yang caranya baku seperti acting coach, ada yang diajak ngobrol, ada yang dibikin gimana kalo gini. Jadi segala macam cara untuk bisa mencapai itu. Salah satunya kayak tadi (saat diskusi) tiap orang mukanya beda-beda ya (dalam adegan bahasa mandarin). Dari situ akhirnya pelan-pelan sih.

Apa tantangan dalam membuat film ini?

Waduh kalau tantangannya karena sudah banyak saatshooting. Shooting dan bisa tayang saja sudah tantangan semua tuh isinya. Nah sekarang tinggal masalah ekspektasi ya. Kayak tadi (saat diskusi) ada salah satu penulis senior bilang bahwa ukuran film itu adalah penonton atau ticket sales. Tapi buat saya sekarang, masalah nanti filmnya laku atau tidak. Itu gak mau saya pikirkan juga. Dengan berhasil sampai sini saja buat saya sudah cukup baik sih. Buat saya pribadi ya.

Meskipun ini film komersil?

Kalau saya pikirkan juga. Itu jadi satu hal yang lain lagi. Jadi saya pikir, yang pasti sebagai pembuat film,saya coba memenuhi apa yang kita buat dan desain, dan jadi kurang lebih sekian persen sampai. Jadi ketika masalah film ini laku atau tidak, buat saya film laku atau tidak itu mungkin tidak terlalu berhubungan dengan filmnya bagus atau tidak. Karena banyak contohnya juga. Anomalinya terlalu banyak. Kalau ditanya statistiknya, saya juga gak tahu. Saya cuma sesederhana, kalau memang film ini nasibnya baik ya baik; kalau tidak pun tidak apa-apa karena menurut saya sampai di titik sekarang pun sudah baik.

Apakah promosinya akan gencar di media sosial?

Kebetulan saya gak pandai melakukan itu dan saya juga bukan selebriti media sosial. Jadi saya pasrah saja sih. Yang pasti saya terbuka dengan teman-teman yang mau belajar film atau apa gitu. Saya terlalu terbuka. Saat ada orang yang ngajak ngobrol dan ngasih film, saya akan menghargai itu, karena buat saya setidaknya saya bisa membantu mereka juga.

Tapi kalau saya mengiklankan atau sibuk promosi, saya rasa followers saya juga gak banyak-banyak amat. Capek-capek juga (tertawa). Followersnya juga cuma seribu. Seribu juga dia-dia lagi kok gitu. Saya sibuk promo pun gak bakal nambah. Tapi saya yakin ketika filmnya dibuat dengan sebaik-baiknya dan semoga memberikan kesan buat yang nonton. Semoga kesan itu bisa jadi bahan kabar gembira buat yang belum nonton.

Adakah kedekatan dengan budaya tionghoa?

Kayak tadi (saat diskusi) saya bilang sih, masih sangat dekat. Bukan dekat atau tidak. Tapi saya hidup di daerah itu lumayan lama. Keluarga saya, paman dan lain-lain, banyak yang tinggal di Jembatan Lima dulu. Jadi saya sering bolak-balik ke sana terus. Dari SD sampai SMA, saya sudah mengenal budaya tionghoa. Dulu saya tinggal di Kebon Kacang, rumah kakek, ada toko namanya bahasa mandarin, tempat saya beli-beli barang di situ. Ada teman SD juga.

Jadi kalau bilang itu otentik orang tionghoa Indonesia, saya juga gak tahu itu otentik atau enggak. Tapi paling enggak, saya coba merepresentasikan yang saya tahu. Itu pun saya diskusikan dengan orang-orang yang memang orang tionghoa beneran. Tapikadang orang tionghoa beneran juga gak sedetail saya ternyata. Buat saya film ini bukan film tentang etnis, film ini hanya cerita umum tentang cinta segitiga dan rasa sakit hati dengan latar belakang tionghoa.

Lalu bagaimana riset untuk mendalami film ini?

Sebenarnya gak ada riset yang direncanakan tapi riset yang secara tidak sadar saja. Saya hanya menggunakan apa yang saya lihat, jadi risetnya benar-benar otentik saja. Kalau kronologi menceritakan sebuah kasus tertentu, itu beda lagi. Kita harus tahu perkaranya benar-benar. Kalau ini enggak, ini hanya kesan estetik, jadi memang gak ada kebutuhan khusus untuk risetnya. Jadi untuk kebutuhan visualnya, saya menggunakan apa yang saya tahu dan memori yang saya punya.

Dalam film ini tampil White Shoes and The Couples Company, kenapa memilih mereka untuk tampil?

Lagunya. Saya tertarik dengan lagu “Aksi Kucing” dan saya teringat yang membawakan itu terakhir White Shoes. Jadi saya coba pinang mereka dan ternyata berjodoh. Mereka jadi salah satu tokoh yang akan meramaikan panggung di acara pernikahan.

Setelah diputar di bioskop, apakah akan didistribusikan ke festival film?

Sebenarnya film ini gak ditujukan untuk masuk festival, tapi andai kata nanti ada festival film yang mau memutarkan film ini, ya silakan. Tapi film ini memang tidak dibuat untuk festival sih. Kalau pengamat yang mengerti festival mungkin akan melihat film ini bukan ketegori festival film. Film ini memang ringan dan sederhana. Kita hanya mengangkat suatu kondisi dan kesan estetiknya yang kita angkat.

Sebelumnya membuat film pendek bertema hari-hari besar seperti tahun baru, idul fitri, dan natal, sementara film ini akan diputar untuk merayakan tahun baru imlek. Ada apa dengan hari-hari besar?

Sebetulnya sih untuk jadwal pemutaran film itu karena ada momen besar. Buat saya sih kalau bikin film di hari raya itu direncanakan tapi kalau memutar film di hari raya itu untuk kebutuhan promosi.

Kalau membuat film tentang hari-hari besar?

Kalau Fitri itu karena pernah dengar ada film tentang pelacur di malam lebaran, terus jadi kepikiran tapi gak nonton-nonton. Akhirnya bikin. Kebetulan juga jadi ingat, kadang kalau malam lebaran kita semua bahagia dan senang tapi gimana ya orang-orang yang istilahnya secara fakta dalam 300 hari kemarin bekerja sebagai orang-orang yangmungkin pekerjaannya secara normal tidak baik. Rasanya apa ya buat mereka. Kalau Maryam itu masalah pluralis. Saya coba untuk mengerti bahwa sebenarnya apa sih yang selalu jadi konflik. Sebenarnya ini kan sama-sama manusia saja, yang satu melihat yang satu; yang satu melihat yang lain.

Dalam film-film pendek Anda tokoh utamanya selalu perempuan dan berhubungan dengan seksualitas. Ada apa dengan perempuan dan seksualitas?

Sebenarnya sih perempuan itu selalu jadi hal yang menarik. Karena semua punya relasi dengan perempuan. Laki-laki pun lahir dari perempuan. Buat saya itu jadi otomatislah. Kadang kalau karakter laki-laki itu jadi hal yang lebih sulit lagi. James Bond itu jadi menarik karenacowok maco tapi kalau cowonya mellow, kita kan jadi males nontonnya. Tapi kalau cewek mellow, kita masih okelah nontonnya. Jadi sebenarnya soal isu film Pai Kau ini tentang catfight: perempuan dan perempuan bertengkar. Itu jadi hal yang menarik buat saya.

Kalau seksualitas itu otomatis sih menurut saya. Itu jadi kayak paket. Karena biasanya percintaan pasti ada hubungan sedikit-sedikit dengan itu. Karena itu sesuatu yang boleh dibilang garisnya tipis antara love dan lust. Jadi itu sesuatu yang selalu jadi paket; ada ini pasti ada itu atau sebaliknya. Saling keterkaitannya tinggi.

Bagaimana pengaruh latar belakang Anda sebagai seorang penata sinematografi dalam membuat film?

Bayangan visualnya lebih gampang sih karena sudah terlatih. Karena terbiasa mengolah gambar, setiap kali ada adegan atau naskah jadi sudah bisa dibayangkan.

Seringkali Anda merangkap sebagai sutradara dan penata sinematografi, bagaimana pembagian kerjanya?

Yang pasti ada yang bantu mengoperasikan kamera. Jadi memang ketika bikin adegan, ada yang mengoperasikan kameranya. Kebetulan itu salah satu produser saya di film Maryam, dia kameramen juga. Setiap adegan itu saya cuma menentukan warna dan lain-lain. Dia yang mengontrol kameranya.

Kenapa akhirnya memutuskan jadi sutradara setelah lama menjadi penata sinematografi? Lalu apa bedanya menyutradarai film panjang dan pendek?

Karena selama belasan tahun ini hidup di film. Jadi ya udah coba jadi sutradara. Lalu, film-film yang saya buat itu diskusinya tinggi, jadi ya udah itu semua jadi otomatis.

Bedanya banyak sih, kalau film panjang jauh lebih sulit. Intinya kalau film pendek semua bisa dikontrol sendiri dari mulai keuangannya, timya, semuanya kita yang kontrol. Artinya lingkupnya jauh lebih kecil, kalau film panjang itu boleh dibilang gak gampanglah. Sangat sulit.

Apa ada pendekatan khusus dalam membuat film Pai Kau? Misalnya film-film hongkong?

Film-film hongkong sih sudah pasti tapi judulnya banyak yang lupa. Kalau yang dekat film-filmnya Ang Lee, Wong Kar Wai, Zhang Yimou itu sudah pastiditonton. Tapi sebenarnya jauh sebelum itu ada lagi film-film yang sudah tonton dari zaman dulu. Boleh dibilang itu cukup kuat memorinya. Jadi ingat banget.

Siapa sineas yang mempengaruhi/menginspirasi Anda dalam berkarya?

Sebagai pembuat film, kalau sutradara saya belajar dari banyak nama, misalnya Garin Nugroho, Riri Riza, Nan T. Achnas, Aria Kusumadewa, Hanny Saputra, Hanung Bramantyo, atau Joko Anwar. Bisa dibilang kita belajar satu sama lain. Kalau saya sendiri, saya menonton film-film mereka. Ketika nonton film kita saling melihat, yang dia bikin gini, oke saya bikin ini gitu. Jadi kayak melengkapi sih menurut saya.

Ada sutradara favorit? Dalam atau luar negeri?

Dulu saya nonton film-filmnya Nya Abbas Akup, saya suka banget tuh.Saya juga suka film Keluarga Markum.Saya nonton film-film itu, atau kayak Teguh Karya atau Daun di Atas Bantal-nya Mas Garin itu saya nonton. Buat saya itu cukup wow.

Ada film Indonesia favorit di tahun 2017?

Saya gak ada yang favorit banget sih. Karena saya sendiri gak pernah merasa film ini lebih baik dari film itu. Buat saya sesederhana, diamembuat film ini karena cara dia berpikir atau dia punya kesukaan di sini. Tapi buat saya yang paling berkesan sih sekarang itu film-filmnya para stand up comedian yang cukup berhasil. Saya perlu belajar dari mereka yang membuat film seperti itu. Selain itu, pembuat film kita sekarang juga tetap berkarya dengan gayanya masing-masing. Jadi paling menarik buat saya di tahun 2017 itu fenomena sutradara-sutradara yang latar belakangnyastand up comedian. Mereka berhasil mendapatkan penonton yang luar biasa. Sebagai pembuat film, saya perlu belajar dari mereka juga karena itu sangat menarik untuk dibahas.

Bagaimana perkembangan film Indonesia saat ini?

Harusnya bagus ya. Karena makin ke sini penonton makin banyak. Kesempatan bikin filmnya juga makin banyak. Apalagi film-film yang bujetnya besar juga banyak, kayak Wiro Sableng 212 dan Benyamin yang lagi dibikin. Artinya pasar kita semakin baik.

Masa depan perfilman Indonesia sendiri kira-kira bakal seperti apa?

Menurut saya, semakin banyak orang Indonesia, masa depannya semakin baik (tertawa). Semakin banyak orang berarti semakin banyak penontonnya. Harusnya ya.

Akan seperti apa Anda dalam sepuluh tahun mendatang?

Saya tidak tahu. Semoga tetap baik ya (tertawa). Saya berharap tetap bikin film. Kalau gak bikin film saya gak tahu bakal gimana.

 

Pertanyaan trivia soal sineas Indonesia. Apa pendapat Sidi Saleh dan apa yang Anda pelajari darinya?

 Anggun Priambodo

Unik ya. Maksudnya dia selalu nyeleneh. Sebagai kameramen dulu saya sering bekerja bersama The Jadugar, selama itu banyak hal yang saya dapat. Saya melihat sinematografi jadi berbeda.

Tumpal Tampubolon

Kalau Tumpal sebenarnya belum pernah kerja bareng secara utuh ya. Karena sekali-kalinya pernah coba nulis tapi ternyata belum jadi. Pernah jadi astrada tapi waktu itu astrada kerja komersil. Kalau secara utuh belum tahu. Tapi kalau lihat dari beberapa film, karyanya cukup unik dan cukup punya talenta yang menarik sebagai penulis skenario.

 Amalia Trisna Sari

Wah kalau ini rekan lama banget. Amalia itu salah satu yang ikut jadi skuad saya di kamera sampai akhirnya jadi produser Maryam. Banyak hal sangat penting dan sangat terbantu, karena banyak proyek bareng Lia.

Meiske Taurisia

Awalnya dulu waktu Babibuta mau dibikin, saya yang merekomendasikan Meiske untuk jadi produser Babibuta ke Edwin. Dari situlah kita bikin Babibuta sampai Postcards from The Zoo, tapi kalau sekarang saya sendiri, Meiske sama Edwin. Mereka bikin Palari Films.

 Edwin

Kalau Edwin sudah pasti ya dekat banget. Saya rasa di penyutradaraan pun, saya banyak belajar dari Edwin. Di film pendek, saya banyak terlibat di produksi film-filmnya Edwin. Jadi kalau soal penyutradaraan, saya banyak mendapatkan hal-hal menarik dari Edwin. Dia salah satu yang memberikan wawasan, baik secara langsung ataupun tidak. Saya banyak belajar dari dia.

1 Comment

  1. Pingback: ARTIKEL Sidi Saleh Bicara Pai Kau: “Ini Bukan Film Tentang Etnis” – Merawat Ingatan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

Copyright © 2016 Infoscreening.

Exit mobile version