YOGYAKARTA (Siaran Pers Bersama):
Masyarakat dengan agama minoritas dan penganut aliran kepercayaan adalah bagian keragaman Indonesia. Selain 6 agama yang diakui, Indonesia juga memiliki ratusan agama kepercayaan. Berdasarkan data dari Direktur Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2104, tercatat ada 239 Organisasi Penghayat terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Data lain di tahun yang sama dari Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri mencatat jumlah yang lebih banyak yakni 295 organisasi dengan jumlah penghayat 9.976.720 orang. Namun demikian, jumlah penghayat di seluruh Indonesia diperkirakan lebih besar karena banyak penghayat yang memilih tidak melaporkan kepada pemerintah atau terpaksa memilih satu dari 6 agama mayoritas agar tidak terkendala persoalan administrasi kependudukan.
Sampai saat ini, warga penghayat masih menghadapi banyak tantangan di Indonesia, termasuk remaja penghayat yang menjadi bagian di dalamnya. Remaja-remaja ini juga membutuhkan akses yang sama seperti remaja Indonesia lainnya untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan yang diimpikan, kemandirian secara ekonomi dan usaha untuk meneruskan pengetahuan. Hingga saat ini, kami memperkirakan sedikitnya ada sekitar 2,5 juta remaja penghayat dari 63 juta remaja Indonesia dan mereka adalah bagian dari bonus demografi.
Untuk mempromosikan hak-hak warga penghayat termasuk anggota masyarakat remaja, Yayasan TIFA bekerja sama dengan Yayasan Kampung Halaman (YKH), akan meluncurkan sebuah film dokumenter pendek berjudul “Ahu Parmalim” pada 16 November 2017, bertepatan dengan peringatan hari Toleransi Internasional. Film ini merupakan bagian dari upaya mengangkat suara asli, cara pandang dan sikap remaja penghayat dalam usaha mewujudkan cita-cita dengan berpegang
pada ajaran agama yang ia yakini.
Film ini menggambarkan kehidupan pemeluk Ugamo Malim dari pengalaman keseharian seorang remaja bernama Carles Butar-Butar, si pemilik cerita. Ugamo Malim adalah salah satu agama yang bertahan dan berkembang di Indonesia. Agama ini berawal dari gerakan spiritual yang dipimpun oleh Sisingamangaraja XII untuk melawan penjajahan dari pemerintahan Hindia Belanda. Agama Malim memuja Debata Mulajadi Nabolon sebagai pencipta kehidupan dan menuntut pemeluknya untuk kembali menjalani budaya Batak. Penganut ajaran agama ini kemudian disebut Parmalim.
Carles yang berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi menengah kebawah dan bercita-cita menjadi polisi adalah bagian dari 63 juta remaja Indonesia. Ia membutuhkan akses yang sama seperti remaja Indonesia lainnya untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan yang diimpikan, kemandirian secara ekonomi dan usaha untuk meneruskan pengetahuan.
Film Ahu Parmalim ini mulai diproduksi pada Februari 2017 melalui proses kolaborasi pembuat film dengan remaja mengenai isu yang dianggap penting dan genting oleh remaja. Carles, adalah remaja penghayat Parmalim yang menjalani dua peran besar sebagai anak laki-laki dan remaja yang kemudian dituturkan melalui cara pandang/kreativitas pembuat film.
Pembuatan film ini diawali dengan riset dan diskusi kelompok terarah dengan melibatkan warga penghayat, kelompok remaja, orang tua, guru dan akademisi. Yayasan Kampung Halaman kemudian menemukan persamaan inti ajaran Ugamo Malim dengan agama lain yakni tentang menjalani hidup bersama dalam kebaikan. Hal lain menarik dari Ugamo Malim adalah sejarah pendidikan Parmalim yang membuka diri pada hal-hal baru. “Pertanyaan besar saya tentang bagaimana remaja Parmalim menjalani kehidupannya terjawab lewat Carles. Remaja 17 tahu ini sudah berusaha menyeimbangkan diri, antara berbakti pada keluarga dan memenuhi keinginan pribadinya. Carles mengurus dirinya sebaik yang dia usahakan. Saya percaya sikap Carles tersebut berkaitan dengan apa yang Carles yakini sebagai Parmalim,” ungkap Cicilia Maharani, sutradara Ahu Parmalim.
Yayasan Kampung Halaman dan Yayasan TIFA berharap film Ahu Parmalim ini dapat membuka pemahaman kepada orang tua untuk memberikan kepercayaan kepada remaja dalam melakukan kegiatan yang disukainya, menentukan cita-cita dan cara mencapainya. Selain itu film ini juga bisa digunakan sebagai media pendidikan dan belajar toleransi untuk remaja, masyarakat dan pemerintah. Kami mendorong Anda untuk memutarkan dan membuat ruang diskusi tentang remaja dan keberagaman secara terbuka.
Pihak produksi percaya, relasi sosial antara Carles dengan teman-temannya yang memeluk agama lain dalam film ini dapat digunakan untuk mengajarkan nilai-nilai toleransi antar pemeluk agama. Dari film ini kita bisa memahami bahwa toleransi terbentuk lewat interaksi sosial yang memungkinkan orang-orang dengan kepercayaan berbeda saling belajar dan mengalami keberagaman dalam kehidupan sehari-hari.
Selain pembuatan film dokumenter, Yayasan Kampung Halaman juga mengajak Carles dan remaja lainnya untuk berlatih membuat video diary. Peserta bekerja dalam kelompok dan secara mandiri mengidentifikasi pengalaman mereka berkawan di sekolah dan menggali tentang toleransi. Selanjutnya, temuan-temuan mereka diramu menjadi vidoe diary untuk disampaikan kepada publik. Video Diary diharapkan dapat menjadi media bagi mereka untuk menceritakan dan menyatakan sikapnya tentang apa yang terjadi pada diri dan sekitarnya, melalui kisah pengalaman personalnya. Pembuatan video diary ini juga akan menantang kreativitas para remaja, sehingga setiap pribadi dapat mengeluarkan potensi dirinya, berdiskusi, menyelesaikan persoalan yang muncul, dan bekerja sama dalam tim.
Film Ahu Parmalim dirilis sekaligus didistribusikan secara online melalui website ahuparmalim.kampunghalaman.org pada tanggal 16 November 2017 bertepatan dengan Hari Toleransi Sedunia. Sebelum tanggal tersebut, tepatnya sejak tanggal 4 November 2017, website ahuparmalim.kampunghalaman.org sudah dapat diakses oleh publik untuk mengetahui informasi-informasi terkait Ahu Parmalim seperti Trailer, Artikel, hingga form bagi masyarakat yang ingin mengajukan pemutaran. Kami juga terus-menerus melakukan pengenalan website ahuparmalim.kampunghalaman.org kepada publik dengan cara menyebarkan melalui media sosial. Pilihan mendistribusikan film Ahu Parmalim secara online tidak lain untuk kemudahan akses dan penyebaran film Ahu Parmalim. Diharapkan, semakin banyak orang yang menonton Ahu Parmalim, semakin banyak pula orang yang semakin memahami nilai-nilai toleransi.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
Rachma Safitri, Direktur Eksekutif Yayasan Kampung Halaman | Tel: 0821-3292-1342 | Email: fitri@kampunghalaman.org
Yusuf Safary, Media & Engagement Manager Yayasan Kampung Halaman | Tel: 081-667-8183 | Email:
yusuf@kampunghalaman.org
Adlan, Publisis Yayasan Kampung Halaman Yayasan Kampung Halaman | Tel: 0896-4994-5558 | Email :
adlan@kampunghalaman.org
SINOPSIS AHU PARMALIM
Carles Butar Butar (17 tahun) adalah remaja Parmalim yang menjalani dua peran besar dalam hidupnya, sebagai anak yang membantu ekonomi keluarga dengan bekerja di sawah serta remaja yang berusaha meraih cita-citanya sebagai Polisi. Cita-cita tersebut tidak sepenuhnya didukung oleh keluarga karena kemampuan ekonomi mereka. Meski demikian, Carles memiliki caranya sendiri dalam menyikapi hal tersebut. Ia terus berusaha dan berpegang pada ajaran agama yang ia yakini. Bagaimana Carles menjalani kedua peran tersebut? Apa ajaran Parmalim yang ia yakini? Apa usaha Carles untuk mencapai cita-citanya?
DIRECTOR’S STATEMENT
Mengenal Ugamo Malim rasanya seperti déjà vu. Inti ajarannya serupa dengan ajaran agama saya, ajaran agama yang juga serupa dengan agama-agama yang lain. Rasanya beragam agama dan kepercayaan tersebut pernah bersepakat tentang bagaimana hidup bersama dalam kebaikan. Hal baru yang saya temukan dalam Ugamo Malim adalah bahasa, cara beribadah, ritual, lantunan gondang, simbol-simbol agama serta ekspresi khusyuk para penghayatnya yang disebut Parmalim.
Hal yang sungguh menarik adalah sejarah pendidikan Parmalim. Sedari dulu mereka terbuka akan hal-hal baru. Remaja Parmalim didorong untuk mempelajari beragam hal, baik perempuan maupun laki-laki. Bagaimana remaja Parmalim menjalani kehidupannya? Ini adalah pertanyaan besar saya sedari awal.
Lalu saya bertemu dengan Carles Butar Butar yang menyapa saya terlebih dahulu. Dengan ramah, dia menanyakan hal-hal yang ingin dia ketahui tentang saya. Remaja ini ingin tahu dan berani, saya terkesan. Carles membuka dirinya, senang bercerita dan tidak keberatan untuk ditanya tentang apapun. Carles dan keluarganya menerima kedatangan dan maksud saya dengan baik, saya beruntung.
Selama mengikuti Carles, saya menyadari saya bertemu dengan manusia berumur 17 tahun dengan tanggung jawab besar yang melebihi usianya. Terutama jika dibandingkan dengan remaja lain pada umumnya, termasuk saya saat usia remaja. Tanggung jawab serupa Carles, saya dapatkan ketika saya berumur 25 tahun, saat lulus kuliah dan sepatutnya mandiri. Saya saat itu hanya berusaha mencukupi
diri saya sendiri. Carles di usia 17 tahun sudah membantu ekonomi keluarga besarnya. Kegiatan Carles padat dari pagi sampai malam, waktu santai untuk dirinya sendiri tiba di pukul 20.00 WIB tiap harinya.
Hari Sabtu adalah hari beribadah dan bersantai. Hari Minggu tetaplah hari bekerja, justru di hari itu Carles dan keluarganya dapat bekerja di sawah “full team” karena sekolah libur.Di luar tanggung jawab tersebut, Carles tetaplah remaja yang ingin berkelana, bergaul, bersantai dan memiliki cita-citanya sendiri. Hal yang paling menarik bagi saya adalah di usia belianya, Carles sudah berusaha menyeimbangkan diri, antara berbakti pada keluarga dan memenuhi keinginan pribadinya.
Carles mengurus dirinya sebaik yang dia usahakan. Saya percaya sikap Carles tersebut berkaitan dengan apa yang Carles yakini sebagai Parmalim. Untuk itu saya, juga Anda, adalah orang yang amat beruntung dapat mengenal sosok seperti Carles.
