Pemutaran

Rupa-Rupa Cinta dalam “Love is a Bird”

Tulisan ini merupakan hasil program apprenticeship Infoscreening.

 

“Bukankah kalian saling mencintai? Kalian punya mimpi yang sama?”

“Mimpi? Mimpi dua orang dungu nggak bakal jadi apa-apa!”

Yah, kira-kira seperti itulah cuplikan percakapan antara Darma (Bront Palare) dan Naira (Ibel Tenny) dalam film Love is a Bird yang diputar premiere, Senin (11/11) lalu di Epicentrum. Entah disengaja atau semesta yang mengatur, pemutaran perdana tepat di angka cantik 11:11.

Kalau dalam dunia spiritual holistik, 11: 11 dimaknai sebagai sesuatu yang aligned; selaras, sesuatu yang seharusnya terjadi, dikultuskan, atau Anda memang sedang berada di tempat yang semestinya.

Sebegitu ribetnyakah untuk menjadikan 11: 11 sebagai pembuka dalam review film Love is a Bird? Karena sesuai dengan tema film ini yaitu “cinta”, ya memang adalah sesuatu yang datang dan pergi dengan semestinya.

Anda tidak pernah bisa menentukan kepada siapa akan jatuh cinta, sampai berapa lama hubungan tersebut bertahan, dan kepada siapa cinta melabuh untuk selamanya. Walaupun cinta penuh dengan ketidakpastian, bukan berarti cinta tidak bisa dijaga pertumbuhannya.

Tapi itu pun Anda harus punya kuncian yang pas. Terlalu erat menggenggam akan menghancurkannya, pegangan yang kendur juga melepasnya. Love is a Bird adalah cerita tentang upaya melepaskan cinta yang tak sepantasnya atau seharusnya.

Darma ingin lepas dari hubungan on-off-nya dengan Kirana (Gemilang Sinatrya), bertemu dengan Naira yang mengalami kekerasan dari pacarnya Jafran (Ibnu Widodo). Apakah Darma akan kembali ke Kirana atau justru menemukan cinta yang baru pada Naira? Atau jangan-jangan ada pilihan yang lain?

Yogyakarta menjadi setting film Love is a Bird. Tampaknya magnet kota ini sebagai pelarian buat mereka yang patah hati dan galau cukup signifikan. Malioboro, Pantai Parangtritis, Kawasan Imogiri menjadi beberapa spot pengambilan gambar film ini.

Sayang, sebagai penyuka Yogyakarta saya kurang mendapatkan “greget” Yogya di film ini. Aksen Jawa pada beberapa pemain yang seharusnya bisa lebih “menghidupkan” suasana juga kurang pas. Kecuali, ketika Jafran ngomong Jowo dan pedagang yang justru malah lebih natural ketimbang pemain profesional.

Tapi lebih dari itu, saya cukup menikmati alur lamban yang disuguhkan dalam film yang disutradarai oleh Richard Oh ini. Di awal film penonton ditunjukkan bagaimana Darma yang seorang fotografer mengikuti Naira yang seorang penari.

Baca juga: Shalahuddin Siregar: Nila Setitik Tidak Seharusnya Merusak Susu Sebelanga

Darma menjadikan Naira sebagai obyek foto-fotonya. Tertarik pada paras, lekuk, dan bakat Naira yang masih sangat “hijau”. Alur yang lamban ini justru menjelaskan bagaimana sebuah rasa bisa tumbuh untuk ditentukan apakah dilanjutkan atau tidak.

Hal menarik lain yang diangkat dalam Love is a Bird adalah fenomena sosial sebuah tempat wisata. Ketika para tour guide lokal tidak hanya menjajakan situs atraktif tetapi juga seks sebagai pelengkap perjalanan. Ketika saya melihat akting Salvita Decorte kurang kuat di Ratu Ilmu Hitam, justru momen sekelebatnya di Love is a Bird ibarat irisan cabai rawit dalam indomie rebus—menggigit. Buat saya film ini tidak menghibur, tetapi bakal meninggalkan kesan dan pembelajaran mengenai pencarian makna cinta.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top