Artikel
Bincang Kajian Film, dari Inggris Sampai ke Indonesia
Pada penghujung masa SMA tahun 2012 dulu, ada momen di mana guru Geografi memberi rekomendasi kami satu per satu pilihan kampus. Semua dengan lancar diberi rekomendasi. Hingga tibalah saat saya mengatakan ingin menjadi sutradara. Ya, saya ingin sekolah film. Guru saya lantas terdiam sejenak, kemudian menjawab sekenanya. Saya lupa apa pasti perkataannya, yang jelas saya tidak tercerahkan.
Apabila pertanyaan yang sama disampaikan sekarang, tampaknya beliau masih tetap akan kesulitan menjawab. Tapi beliau mungkin akan dimudahkan dengan adanya ponsel pintar dan mesin pencari google. Namun, bagaimana kalau pertanyaannya lebih spesifik, misal saya ingin mendalami kajian film.
Delapan tahun berlalu, pilihan sekolah film kian bertambah. Pada Maret 2017 saja, seperti dikutip dari artikel tirto.id “Sekolah Film: Penting atau Tidak?” mencatat ada 22 sekolah film, jurusan film, atau lembaga pendidikan khusus film. Namun, jurusan-jurusan yang ada saat ini lebih banyak memfokuskan diri pada bidang produksi. Orang-orang yang meminati film sebagai kajian perlu sedikit tenaga ekstra mencari informasinya.
Tulisan ini adalah liputan diskusi daring (9/06/2020) di Instagram Ekky Imanjaya dan Eric Sasono tentang pengalaman mereka menempuh pendidikan kajian di Inggris. Juga dilengkapi dengan obrolan saya dengan Luna Andriana, salah satu mahasiswa kajian film di IKJ. Mencatat obrolan-obrolan ini penting–seperti cerita di atas–setidaknya dapat sedikit memberi gambaran bagi mereka yang ingin menekuni kajian film. Semisal kampus mana yang memiliki jurusan kajian film dan kampus dengan kajian film seperti apa yang baik. Berikut dengan kiat-kiat bagaimana menjalani studi kajian film, apalagi di negeri orang.
Ekky dan Eric di Inggris
Ekky Imanjaya dan Eric Sasono mungkin oleh publik di Indonesia lebih dahulu dikenal sebagai kritikus film. Keduanya sama-sama pernah bergiat untuk Rumah Film, sebuah etalase daring yang memuat tulisan-tulisan kritik film. Tak hanya itu, kesamaan lainnya, keduanya pun mengambil pendidikan doktoral kajian film di Inggris, Ekky di universitas East Anglia dan Eric di King’s Collage, London.
Bagi Eric, salah satu yang perlu kamu pastikan sebelum memilih untuk melanjutkan pendidikan di kajian film adalah mengetahui profil kampus. Eric menekankan pentingnya mengetahui tradisi intelektual kampus yang akan kamu pilih.
“King Collage tradisi literernya kuat, tradisi formalisnya juga sangat kuat…Secara umum sangat konservatif” ungkap Eric.
Senada dengan Eric, Ekky pun menekankan pentingnya mengetahui calon kampus yang akan dituju. Kampus Ekky, East Anglia, sendiri merupakan salah satu dari empat kampus film tertua di Inggris. Ekky menyebut kampusnya itu kuat dalam kajian arsipnya.
“Karena kuat kajian arsipnya, ngomongin Charlie Chaplin, diputar film-filmnya, terus dikasih arsip-arsip, review tahun itu men!” papar Ekky mengenang salah satu momen mengesankannya di kampus.
Lebih lanjut Ekky dan Eric pun menyebut pentingnya supervisor yang “klik” dan mumpuni di bidangnya. Karena selama menjalani masa pendidikan, supervisor akan menjadi rekan intens, yang bahkan oleh Ekky ia sebut pengganti orang tua. Disebut demikian karena kerap kali supervisor tak hanya membantu urusan akademik namun juga urusan-rusan di luar itu, semisal masalah keluarga.
“Banyak kasus teman-temanku gagal hanya karena berantem sama supervisor. Entah karena beda metodologi, beda aliran school of thought (mazhab keilmuan). Kalau aku menyarankan, supervisor bagaimana yang bagus? Supervisor yang paling sering kamu baca (karyanya).”
Baca juga: Mencari Film Madani Bersama Ekky Imanjaya
Eric menambahkan pentingnya supervisor yang mau meluangkan waktu, memberi mentoring bahkan lebih dari sekadar formalitas. Semisal membantu membuat surat lamaran, CV, dan proposal. Eric bahkan menyebut ia secara reguler bertemu dengan supervisornya, baik untuk urusan akademik atau sekadar nongkrong sambil minum dan makan siang.
Selain itu, Eric dan Ekky juga menyebut pentingnya supervisor yang well Connected. Well connected dalam arti ia bersedia menghubungkan kamu dengan jejaringnya di dunia film, khususnya kajian film. Entah itu dalam bentuk undangan menulis, konferensi, dan sebagainya.
Hal terakhir yang sama-sama disampaikan Ekky dan Eric adalah pentingnya disiplin diri. Bertahun-tahun di negeri orang, menjalani studi kajian film dengan setumpuk tugas tentu membutuhkan disiplin yang kuat.
Luna di IKJ
Seperti yang sempat disinggung di awal, di Indonesia tidak semua sekolah seni memiliki jurusan film. Lebih mengerucut lagi, tidak semua memiliki jurusan kajian film. Kampus-kampus yang menyediakan jurusan film masih didominasi bidang penciptaan (produksi). Sebagian bahkan masih “setengah hati” mengukuhkan diri sebagai fakultas/jurusan film, karena menggabungkannya dengan televisi.
Setelah mendapat sedikit gambaran soal kajian film di Inggris beserta kiat menyelesaikan studi, saya pun berkesempatan ngobrol dengan Luna Andriana. Luna adalah mahasiswa dari kampus film tertua di Indonesia Institut Kesenian Jakarta (IKJ), yang mengambil jurusan kajian film strata 1. Luna semasa sekolah mengaku mengetahui dua jurusan kajian film, yaitu di kampusnya IKJ dan di Binus International.
“Kalau tau IKJ ada kajian film dari keluarga, karena 3 saudaraku kuliah di IKJ. Kalau Binus International tau dari internet…Untuk luar Jakarta aku tidak tau sih” ujar Luna.
Luna pun mengatakan peminat kajian film di kampusnya masih tergolong minim. Mula-mula sebelum masuk ke konsentrasi kajian film seluruh mahasiswa film selama dua tahun akan berada di satu kelas penciptaan. Baru setelahnya diberi pilihan untuk memilih kajian film atau tetap di penciptaan.
“Peminat kajian film untuk angkatanku 2015 saja tiga orang. Angkatan 2017 malah cuman satu orang. Jadi kalau digabung, 10 orang itu sudah lintas angkatan” ungkap mahasiswa yang tengah menggarap skripsi ini.
Baca juga: Studio Tumbuh Rilis Dokumenter Pendek “Tak Ada Udara Segar Hari Ini”
Bidang kerja lulusan kajian film menerut Luna untuk saat ini memang masih cenderung menjadi pengajar/akademisi. Seperti yang saat ini tengah dijalaninya sebagai asisten dosen. Namun baginya, tidak menutup kemungkinan seorang pengkaji film menjadi praktisi, termasuk pembuat film. Menurut Luna pentingnya mengkaji film, salah satunya kita dapat mengetahui hal-hal yang mungkin sudah kita miliki atau sudah kita terapkan namun tak kita sadari. Hal ini yang membuat kita seharusnya tak perlu melulu melihat ke negara-negara luar.
Setelah lulus, Luna pun masih memiliki keinginan melanjutkan studi. Bukan lagi di kajian, Luna ingin mempelajari penciptaan film. Karena baginya, akan menarik memproduksi film dengan pendekatan kajian film yang dimilikinya.
Mari kita doakan semoga keinginan Luna tercapai. Semakin banyak pula para guru di sekolah-sekolah yang update dengan sekolah film, termasuk kajian film. Serta semakin banyak portal-portal penyedia informasi tentang sekolah film. Agar tak ada lagi anak-anak yang galau karena seolah memilih jalan yang antah-berantah.