Film dokumenter adalah perlakuan kreatif terhadap keadaan atau kejadian yang sebenarnya, dan seringkali aktor serta adegan yang asli lebih baik dalam menggambarkan dunia dibanding cerita fiksi, ujar John Grierson, salah satu bapak dalam dunia dokumenter.[1] Film dokumenter merupakan pemaparan kenyataan yang disajikan apa adanya tanpa rekayasa. Oleh karena itu, kehadiran film dokumenter sangat penting untuk menunjukkan keadaan dan perkembangan suatu isu di suatu tempat. Adakalanya film dokumenter dibuat dengan modal murah dengan peralatan seadanya. Tapi untuk mencakup keseluruhan isu, jangka waktu observasi dan proses pembuatan, lokasi yang ditempuh, dan lain sebagainya, membuat film butuh dana yang layak. Tidak gampang mencari pendanaan untuk sebuah proyek dokumenter, mengingat kebanyakan dokumenter sendiri pada dasarnya bukanlah film komersial, melainkan karya yang diharapkan ke depannya memiliki dampak yang signifikan untuk subjek dokumenter itu sendiri maupun orang banyak.
Tentang Good Pitch Indonesia
Good Pitch Indonesia hadir untuk mengatasi kendala tersebut. Program mentoring dan live crowd-sourcing ini mempertemukan para pembuat film dokumenter dengan para investor dan orang-orang penting lainnya. Pada penyelenggaraannya yang pertama tahun 2017 (Pada saat itu bernama Good Pitch Asia Tenggara), program ini berhasil membentuk 100 lebih kolaborasi dan menggalang dana hingga USD 160,000.00. Jumlah yang besar untuk proyek-proyek film dokumenter.
Suasana lempar bola proyek dokumenter dan pemberian dukungan dalam Good Pitch 2017
Good Pitch Indonesia diinisiasi oleh In-Docs, yakni sebuah organisasi nonprofit yang sejak tahun 2002 memiliki komitmen untuk membentuk ekosistem dokumenter yang dapat membina, mendanai, mendistribusikan serta menyebarkan dampak sosial berbagai proyek film dokumenter. Good Pitch Indonesia merupakan adaptasi dari program sejenis yang pertama kali diadakan tahun 2008 oleh Doc Society (sebuah organisasi nonprofit yang didirikan tahun 2005, berbasis di London dan New York). Sejak saat itu, Good Pitch telah diselenggarakan di 15 negara (termasuk Indonesia), mengakomodasi lebih dari 250 proyek film dokumenter, menggalang dana hingga USD 30 juta dan didukung oleh 4.200 organisasi. Film-film lulusan Good Pitch juga berhasil diputar di berbagai festival bergengsi, seperti Sundance, IDFA, dan Hot Docs, serta dinominasikan di ajang Academy Awards dan Emmy Awards.
Baca juga: Docs By The Sea: Pencarian Jaringan, Dana dan Distribusi untuk Dokumenter Asia Tenggara
Pada penyelenggaraan Good Pitch Indonesia tahun ini, In-Docs berkolaborasi dengan Bekraf dan mitra lainnya, telah terpilih 5 proyek dokumenter dengan ragam latar dan isu. Kelima proyek ini berbicara tentang pendidikan pesantren, pendidikan terhadap anak-anak difabel, penanganan bencana, mempertahankan hutan, dan pengelolaan sampah plastik. Selain isu-isu penting tersebut, menurut Mandy Marahimin (In-Docs, Outreach Director) dan Amelia Hapsari (In-Docs, Program Director) lima film dokumenter tersebut terpilih karena rekam jejak para pembuatnya, trailer yang mereka serahkan, dan kembali, dampak film-film tersebut ke depannya. Proyek-proyek ini akan dipresentasikan secara langsung (selama 7 menit untuk tiap proyek) di depan para investor dan orang-orang penting dari berbagai kalangan dan latar belakang. Mereka harus menjelaskan dengan rinci film-film dokumenter yang tengah mereka selesaikan, terutama rencana dampak yang akan dihasilkan film-film tersebut. Live event ini bertujuan untuk mengetahui subjek film lebih banyak, menggali berbagai kemungkinan untuk berkolaborasi dengan berbagai kalangan, menemukan strategi kampanye, serta menjodohkan para pembuat film dengan para mitra potensial dan mendiskusikan langkah-langkah selanjutnya.
Lima Proyek Film Dokumenter Terplilih
- Pesantren
(Shalahuddin Siregar)
Film dokumenter ini menunjukkan pada kita Pondok Kebon Jambu Al-Islamy, yaitu salah satu pondok pesantren terbesar di daerah Cirebon yang memiliki kurang lebih 1.200 santri. Menariknya pondok pesantren ini dipimpin oleh ulama perempuan dan mengajarkan pentingnya toleransi dan mengasihi semua ciptaan Tuhan.
Dampak sosial film ini diharapkan menjadi contoh bagaimana sebuah pendidikan yang berbasis agama bisa menjadi dasar yang kuat untuk memupuk toleransi terhadap sesama manusia dan menghilangkan paham radikal.
- Bara (The Flame)
(Arfan Sabran)
Dalam film dokumenter ini, kita dipertemukan dengan seorang lelaki Dayak asli yang bernama Iber Djamal. Lelaki yang berusia 77 tahun ini berusaha dengan sekuat tenaga, termasuk lewat jalur hukum, untuk membebaskan hutan adat yang tersisa di Kalimantan dari keserakahan proyek perluasan perkebunan kelapa sawit.
Film ini diharapkan dapat membuka mata orang-orang “penting” tentang besarnya dampak negatif atas berkurangnya hutan yang merupakan bagian terpenting untuk kelangsungan kehidupan.
- Hidup Dengan Bencana (Living On Top Of The Fault)
(Yusuf Radjamuda)
Film ini mencoba menyampaikan kondisi Sulawesi Tengah pascagempa dan tsunami akhir September lalu yang merenggut lebih dari 4.000 jiwa. Munculah sebuah komunitas penting yang bergerak untuk membawa kembali kearifan lokal dalam menghadapi bencana. Sementara itu, pemerintah bersama lembaga-lembaga bantuan asing bersiap untuk membangun benteng sepanjang pantai Sulawesi Tengah yang bernilai miliaran dolar.
Nantinya proyek ini diharapkan akan dapat membantu memberikan mediasi bagaimana melakukan penanganan dan pencegahan yang tepat untuk bencana yang sebetulnya sering terjadi di Indonesia.
- Menggapai Bintang (Aim For The Stars)
(Ucu Agustin)
Salsa dan Dea adalah dua gadis remaja yang memiliki kekurangan dalam penglihatan. Namun mereka harus berpisah lantaran Dea dibawa oleh orang tuanya ke Amerika Serikat, sementara Salsa tetap tinggal di sebuah asrama di Jakarta. Tapi mereka tetap bisa berbagi cerita lewat berbagai media. Salsa ingin sekali menjadi seorang guru matematika, sementara Dea ingin jadi penulis. Mereka tetap berusaha semangat terlepas dari kenyataan yang mereka hadapi sehari-hari.
Lewat film ini, penonton ataupun orang-orang yang memiliki kuasa dapat menyaksikan berbagai kendala yang dihadapi oleh remaja-remaja difabel dan pentingnya meningkatkan akses pendidikan untuk mereka.
- Waste On My Plate
(David Darmadi)
Jadi begini, sampah-sampah yang dihasilkan oleh manusia dikumpulkan ke suatu tempat pembuangan besar yang berisi gunungan sampah. Gunungan sampah tersebut merupakan salah satu tempat para ternak untuk mencari makan. Ternak tersebut nantinya akan dikonsumsi juga oleh manusia. Terbentuklah sebuah rantai makanan.
Melanjutkan rantai ini atau memutuskannya tentunya ada di tangan manusia itu sendiri. Film ini mencoba memaparkan pentingnya pengelolaan sampah yang secara tidak sadar kembali ke piring para makhluk yang disebut manusia.
Proyek-proyek film dokumenter ini akan dipresentasikan secara langsung pada tanggal 5 September 2019. Bagaimana agar film-film ini ke depannya memiliki dampak sesuai dengan yang direncanakan? Tentunya peran berbagai pihak sangat penting dalam hal ini, mulai dari usaha para pembuat film itu sendiri, para investor, pembuat kebijakan, orang-orang yang memiliki wewenang, media, komunitas, serta orang-orang yang memiliki pengalaman langsung dengan isu yang diangkat. Saya sendiri berharap, disertai dengan penyuluhan, film-film ini bisa disaksikan bukan cuma kita, para manusia yang masih bisa bertegur sapa di ruang ber AC dan membicarakan isu-isu mutakhir, tapi juga mereka yang yang bersentuhan langsung dengan isu-isu tersebut. Para petani, warga yang terdampak bencana, komunitas adat, penjual sayuran di pasar, anak-anak sekolah di perkampungan, serta orang-orang yang lebih patut mendapatkan hal-hal yang kita ketahui.
[1] Peter Morris. ‘Re-thinking Grierson: The Ideology of John Grierson’. In T. O’Regan & B. Shoesmith eds. History on/and/in Film. Perth: History & Film Association of Australia, 1987. 20-30.
http://wwwmcc.murdoch.edu.au/ReadingRoom/hfilm/MORRIS.html