Proses pembelajaran tidak hanya terjadi di bangku sekolah di dalam kelas. Di luar kelas, banyak kegiatan yang dapat mengajarkan nilai-nilai yang sulit disampaikan melalui teori dan materi belaka. Hingga kini, tidak sedikit para pelajar tersebut berkegiatan dan berkarya di luar sekolah, salah satunya melalui film. Baik fiksi maupun dokumenter, proses pembelajaran melalui film dapat terjadi dalam berbagai hal. Kerja sama, kreativitas hingga kemampuan beradaptasi pada situasi tak terduga adalah beberapa poin yang tidak kalah penting dari nilai-nilai edukasi di dalam kelas. Dengan begitu, mulai dari proses hingga hasil karya yang berhasil diciptakan, film pelajar tanah air perlu mendapat tempat apresiasi dan perhatian khalayak.
Menanggapi fenomena ini, Festival Film Dokumenter (FFD) ke-15 yang akan berlangsung pada 7 hingga 10 Desember 2016, kembali menyajikan 6 film karya para pelajar yang telah lolos proses kurasi. Keenam film tersebut akan akan diputar pada penyelenggaraan festival dalam bingkai program kompetisi dokumenter kategori pelajar. Melalui keragaman demografi para pembuat film, bentuk, gaya penceritaan dan isu yang diangkat, keenam film finalis ini membawakan narasi seputar fenomena dan gejala sosial dengan cara yang menarik untuk kita perhatikan, khususnya dalam bingkai edukasi yang menguji sikap kritis dan kedewasaan menghadapi berbagai macam persoalan.
Pembacaan terhadap film karya pelajar terkurasi
Tema seputar keadaan sosial dan berbagai aspek lainnya dibahas oleh para pelajar pada beberapa film. Melalui Setitik Asa dari Kita (Rizkia Tarisa & Rizqa Ananda MP), kita diajak mengintip relasi antara kebudayaan, agama dan keadaan sosial masyarakat dalam menghadapi penyakit Thalassaemia yang menyerang salah seorang anggota keluarga. Menariknya, film ini sedikit sekali menampilkan si penderita, alih-alih menjadikannya sebagai tokoh utama. Kita justru diajak melihat tarik-ulur emosi yang terjadi pada orang-orang di sekitar. Lain lagi dengan film 1880 mdpl (Riyan Sigit W & Miko Saleh). Kisah mengenai kehidupan keluarga Supandi, petani kopi, yang susah payah mengolah lahan pertanian warga transmigran di ketinggian 1880 meter di atas permukaan laut. Berbagai persoalan mulai dari tanah yang kurang cocok untuk berladang, himpitan ekonomi hingga ketidak jelasan status lahan pertanian dengan kawasan hutan lindung milik pemerintah, tampil secara halus dan mempertegas kompleksitas persoalan. Masalah-masalah tersebut muncul satu persatu sebagai lapisan persoalan yang mengelilingi keluarga Supandi dan keluarga-keluarga transmigran lainnya.
Tema seputar industri juga tidak ketinggalan menjadi pembahasan menarik dalam film Galian C (Wely Alfian) dan Arang Bathok (Defi Hikmawati). Kedua film ini sama-sama menampilkan persoalan yang disusul dengan tawaran solusi yang ditampilkan secara halus melalui permainan alur. Galian C mengupas penuturan-penuturan para pengusaha tambang jenis C yang bertanggung jawab memperbaiki kondisi jalan di sekitar tambang. Porsi yang sama juga diberikan kepada masyarakat dan pemerintah kelurahan setempat sebagai pemangku kepentingan. Sementara itu, Arang Bathok menyoroti sebuah industri rumahan pembuat arang dari tempurung kelapa di Cilacap, Jawa Tengah. Kemajuan teknologi yang sempat menurunkan permintaan arang, tak lantas menjadikan industri ini gulung tikar. Dengan kreatifnya, Defi justru dapat menunjukkan bagaimana teknologi yang terus berkembang dapat juga membawa angin segar bagi industri ini. Belum lagi, berbagai kebiasaan masyarakat sekitar yang masih memegang erat kebudayaan lokal, masih menyediakan pasar yang dapat membantu penghidupan dapur industri. Penjabaran mengenai strategi produksi, pemasaran dan pemetaan distribusi produknya dijelaskan dalam film secara komprehensif melalui kreativitas si pembuat dalam mengolah visual. Terlepas dari persoalannya masing-masing, kedua film sama-sama menggaris bawahi relasi kuat antara hadirnya industri dan terciptanya lowongan pekerjaan bagi masyarakat sekitar.
Dua film terakhir yang juga sangat menarik baik dari segi isu atau bentuk datang dari Waktu Makan (Erika Filiyani & Ikhwanto) dan Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal! (Ilman Nafai). Waktu Makan membawa bentuk dan gaya penceritaan yang terbilang “lain” bagi film dokumenter pelajar. Pembuat film mampu menyajikan serangkaian visual mumpuni yang didukung oleh tangkapan suara sekitar yang semakin memperkuat kesan yang dibangun. Tidak ada narasi maupun penuturan verbal dalam film berdurasi 3 menit 30 detik itu. Terakhir, film Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal! membawa kita pada penuturan para tokoh mantan tahanan politik sekaligus mantan anggota pasukan Tjakrabirawa yang dituduh terlibat dalam kasus Gerakan 30 September. Dengan terbukanya penuturan-penuturan para tokoh tersebut, kita diajak untuk melihat kembali persoalan dan dialog yang tidak berujung selama puluhan tahun ini. Sebagai film yang diproduksi oleh pelajar, kita patut berbangga dengan bukti kedewasaan dan kepekaan pembuat film menangkap cerita dan persoalan yang ada di masyarakat.
Pada penyelenggaran FFD tahun ini juga, program kompetisi membuka kesempatan bagi film-film mancanegara untuk berpartisipasi dalam kategori dokumenter panjang internasional. Dengan tampil pada satu program yang sama, kategori dokumenter pelajar tahun ini diharapkan menjadi stimulus yang lebih kuat untuk mendorong para pelajar pembuat film tanah air untuk tetap konsisten berkarya melalui film dokumenter, sebagai proses edukasi dan proses kreatif. Lebih jauh lagi, melalui wadah ini, diharapkan akan terbentuk angkatan baru sineas Indonesia yang mampu bersaing dan menciptakan karya-karya film berkualitas di masa yang akan datang.