Artikel

Pemasaran dan Distribusi Film Mahasiswa

Sesungguhnya tema panel pada PIXEL 4.0 tahun ini tidak begitu berbeda dengan salah satu tema panel yang dihadirkan pada Andalas Film Festival tahun lalu, yaitu Distribusi Pengetahuan Film. Hanya saja, pada konteks tema kali ini lebih mencoba menekankan pada bentuk penyebaran, pemasaran, dan distribusi filmnya secara fisik–dalam artian jejaring ruang-ruang pemutaran yang bisa ditembus oleh film-film yang diproduksi oleh mahasiswa–bukan pada distribusi pengetahuannya. Hal ini tentulah memiliki perbedaan yang kontras dari distribusi pengetahuan lewat film karena setiap ruang-ruang pemutaran, katakanlah dari ruang alternatif yang diadakan komunitas, bioskop mini seperti Kinosaurus, program Senin Sinema Dunia yang diadakan oleh Forum Lenteng, festival-festival film, hingga pada tataran skala yang lebih besar, bioskop, tentunya memiliki klasifikasi, ideologi, dan regulasinya masing-masing dalam hal memutarkan film. Jika kita mencoba mengulik hanya pada “teritori” pemasaran dan distribusi film saja, terkhusus film-film yang diproduksi mahasiswa dan komunitas film tentunya, kita terlebih dahulu mengerucutkan pembahasan kali ini pada jejaring ruang pemutaran alternatif dan festival film, karena pada wilayah inilah mayoritas film mahasiswa mendapatkan layar dan diputarkan ke penonton. Atau jika tidak, menghadirkan ruang pemutaran sendiri dan memutarkan film sendiri setelah film selesai. Mari kita coba mengulik mengenai pemasaran dan distribusi film mahasiswa.

Pemasaran dan distribusi adalah dua hal yang sedikit berbeda secara wilayah kerja, tetapi saling berhubungan dan terkait, dalam artian seiring sejalan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata pemasaran memiliki arti yaitu, proses, cara, memasarkan dagangan. Sementara, distribusi adalah penyaluran (pembagian, pengiriman) kepada beberapa orang atau kepada beberapa tempat. Jika pada ranah film, orang-orang yang melakukan kegiatan pemasaran bisa dikatakan bergerak pada ranah promosi (kelompok yang mengambil peran promosi disebut publicist) seperti yang dilakukan oleh Goodwork dan distribusi biasanya disebut distributor film, seperti wilayah yang dimainkan oleh Button Ijo ataupun Kolektif. Inilah beberapa contoh pos-pos yang diisi oleh mereka yang berkecimpung di film yang mengambil peran pada bidang pemasaran dan distribusi. Mengatur strategi bagaimana film-film tersebut dapat menjangkau banyak penonton. Banyak elemen-elemen film yang sesungguhnya juga harus mendapat pembacaan yang lebih, seperti pemasaran dan distribusi film ini contohnya.

Pada Kolektif dan Button Ijo, mereka berperan mendistribusikan film-film produksi komunitas film atau institusi film untuk diputarkan dipelbagai ruang-ruang pemutaran dengan sistem dan prosedural yang telah mereka tentukan. Sedangkan, Goodwork sudah menjadi publicist untuk film-film seperti Buka’an 8, Naura dan Geng Juara, Filosofi Kopi: Ben & Jody, dan masih banyak lagi (bisa dicek di akun instagram @goodworkid). Belakangan, Goodwork yang didirikan oleh Novi Hanabi dan Ridla An-Nuur ini menjadi publicist sekaligus rumah produksi untuk film Doremi and You yang disutradarai oleh BW Purbanegara. BW merupakan salah satu sutradara muda yang mendapatkan banyak penghargaan di dalam dan luar negeri lewat filmya yang berjudul Ziarah yang pada awal kariernya juga bergerak melalui film-film pendek. Kedua contoh di atas sesungguhnya tidak terlepas dari pertemuan-pertemuan atau kongko-kongko antarkomunitas film yang sering menjadi subprogram di pelbagai festival-festival film. Hingga akhirnya, jejaring terbentuk, segala macam ide dan gagasan kemudian bisa dirembuk. Orang-orang di balik Kolektif, Button Ijo, ataupun Goodwork, adalah orang-orang yang dulunya suka berjejaring lewat forum-forum komunitas. Ada juga platform digital yang menjadi wadah untuk film-film pendek seperti Viddsee. Penonton dapat menonton kapan saja melalui platform tersebut tanpa mengeluarkan biaya. Platform ini bisa juga digunakan sebagai ruang putar digital yang dapat diakses lewat gawai pintar bagi film-film yang diproduksi oleh mahasiswa dan komunitas film, tentunya dengan cara memasukkan film dan harus melewati tahap kurasi terlebih dahulu.

Ruang Alternatif dan Festival Film

Jika kita kembali membicarakan bagaimana cara pemasaran film atau distribusi film mahasiswa (sebelum jauh membicarakan bagaimana film mahasiswa bisa diputarkan di bioskop komersil) maka hal demikian tidak akan pernah bisa kita lepas pembicaraannya ke dalam kehadiran ruang-ruang alternatif dan festival film. Kenapa? Karena kedua ruang inilah yang memiliki sumbangsih besar terhadap pemasaran dan distribusi film-film mahasiswa, dari ruang merintis karier hingga ajang unjuk gigi sebelum melangkah lebih jauh ke dunia insdustri film. Sebagai contoh, jika salah satu komunitas film di Padang memiliki kenalan di jurusan film IKJ, bukan hal mustahil film mereka bisa diputarkan di dalam program pemutaran dan diskusi film yang IKJ jalankan. Begitu pun sebaliknya. Hal demikian akan membuka peluang-peluang baru juga bagi komunitas film lainnya di Padang yang belum memiliki jejaring ke sana–karena salah satu komunitas film di kota Padang telah memiliki akses dan jejaring–sehingga  mudahlah bagi komunitas lain menjangkau hal tersebut. Dengan demikian, akan banyaklah bertumbuhan ruang-ruang alternatif sebelum akhirnya berbagai komunitas film terpetakan di dalam peta komunitas film di Indonesia (pemetaan komunitas film ini pernah dilakukan oleh Badan Perfilman Indonesia atau BPI). Secara tidak langsung kekuatan dan pengaruh jejaring ini cukup besar, sebab itulah segala jejaring yang dimiliki harus dimanfaatkan, kalau bisa lebih diperluas lagi jangkauannya. Jejaring inilah yang nantinya menjadi ruang-ruang bagi pemasaran film-film yang diproduksi oleh mahasiswa maupun untuk mengumpulkan massa yang menyambut dengan gegap gempita jika ingin mengadakan sebuah festival film.

Saya mencoba mengambil contoh pada program apresiasi dari Metasinema, Layar Terkembang. Film yang diputarkan adalah film-film dari komunitas film yang tersebar dari berbagai daerah di Indonesia. Film yang ingin diputarkan tentu saja melalui proses diskusi, pertimbangan, dan pembicaraan terlebih dahulu kenapa film ini harus kita putarkan, apa relevansinya dengan fenomena atau kejadian teraktual, atau bisa jadi film tersebut sedang banyak dibicarakan dipelbagai ruang-ruang diskusi. Setelah disepakati bersama, barulah menghubungi produser atau sutradara film tersebut agar film mereka bisa kita putarkan dengan segala persyaratan-persyaratan yang mereka berikan agar film tersebut tidak disebar dan diputarkan sembarangan. Apalagi sampai diputarkan berbayar tanpa sepengetahuan dan persetujuan si pemilik film. Hal demikian adalah bentuk awal prosedural secara umum bagi si pemilik film guna memasarkan atau mempromosikan filmnya ke pelbagai ruang-ruang alternatif, baik film itu belum atau sudah pernah diputarkan di festival-festival film.

Baca juga: Belajar dari Sesama Bangsa Asia di JAFF 14 “Revival”

Pada festival film pun polanya tidak jauh berbeda. Filmmaker yang ingin filmnya mendapat layar, terlepas dari apakah ia memiliki tendensi besar ingin mendapatkan banyak penghargaan di banyak ajang festival film atau tidak, pastinya ia akan mengirim filmnya ke banyak festival demi mendapatkan banyak kemungkinan pula layar untuk filmnya. Sebab bagi filmmaker pemula di kalangan mahasiswa, kata “apresiasi” sudah seperti berhala yang memiliki nilai agung. Hal demikian tentunya sah-sah saja. Tetapi, agar tepat sasaran, pilihlah festival film yang memiliki tujuan, gagasan, dan maksud yang sama dengan film yang ingin kita masukkan ke sana, agar memiliki peluang yang besar untuk dapat diputar. Bukankah setiap film yang  diproduksi merupakan implementasi dan refleksi dari gagasan si filmmaker dalam melihat dan ingin mengubah sesuatu walaupun itu masih pada skala yang kecil? Bukankah film bagi sebagian orang sebagai media penyembuh fisik dan batin? Semua orang bisa membuat film, tapi tidak semua orang bisa menghidupkan film. Begitulah. Dengan demikian, pilihlah festival film yang berjalan sama dengan cita-cita film yang diproduksi.

Kemudian, hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah mempelajari setiap bentuk ruang alternatif dan festival film, mulai dari tujuannya, ideologinya, film-film yang pernah diputarkan, hingga pola diskusi yang dihadirkan. Hal demikian bermaksud agar si filmmaker memiliki banyak perspektif dan pertimbangan sebelum mengirim film. Biasanya, filmmaker-filmmaker yang baru merintis karier, setelah filmnya selesai–dengan hati yang masih berbalut nuansa euforia pascaproduksi dan kenangan-kenangan produksi yang bertengger di media sosial  setelahnya–kemudian film tersebut dimasukkan ke semua festival film yang sedang Open Submittion. Padahal, tidak semua festival film memiliki ideologi dan tujuan yang sama dengan filmnya. Ada beberapa festival film yang kemudian tidak sesuai dengan film yang ingin mereka submit. Misal, film tersebut secara garis besar bercerita tentang penyekapan aktivis mahasiswa tahun 1998, kemudian film tersebut dikirim ke festival film yang bertemakan agama. Tentu dua hal tersebut bersifat kontradiktif, apalagi filmnya sama sekali tidak mengandung atau menyinggung unsur agama sama sekali.  Di sanalah biasanya filmmaker lengah dalam mempelajari ideologi-ideologi setiap festival film beserta tujuannya sehingga filmnya hanya mendapatkan sedikit layar di berbagai ajang festival film.

Euforia, buek film urang buek film lo awak (buat film orang, buat film pula kita), sikap berlebihan pascaproduksi, hal inilah yang sering menjebak filmmaker untuk tidak mengambil langkah matang dalam mempersiapkan filmnya: mau dikemakanan film ini setelahnya? Atau, jika ingin hanya sekadar mendapatkan pendanaan segar untuk produksi kedepannya dan apresiasi yang bersifat “apok” dan gaung yang luar biasa terderanya, kirimlah film ke festival film yang bersifat “proyek” dalam artian “asal ada” mengadakan festival film di pertengahan atau akhir tahun agar anggaran tahun depan bisa keluar lagi untuk bikin festival lagi dengan hadiah uang yang bernilai fantastis. Kerangka berpikir demikian secara tidak langsung juga sudah termasuk ke dalam bentuk membaca ideologi dari sebuah festival film dan bagaimana mencari celah di dalamnya. Begitulah kira-kira.

Sebab itulah, di tiap-tiap komunitas film setidaknya harus ada orang-orang yang memikirkan hal demikian, yang mengambil peran sebagai sosok yang memikirkan “rumah singgah” bagi keberlangsungan film tersebut ketika ia ingin berkelana, bahkan tidak menutup kemungkinan, ke belahan bumi manapun. Jika rasanya belum sanggup atau belum membutuhkan publicist dan distributor film, setidaknya perbanyaklah jejaring di ruang-ruang alternatif dan festival film, agar bisa menjadi publicist dan distributor film untuk film kita sendiri.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top