Siaran Pers
“Awalnya kami tidak tahu, dan ketika tahu bahwa ternyata banyak anak yang lahir dan dibesarkan di dalam penjara kami sangat kaget. Buat kami itu tidak adil. Anak-anak itu harus hidup bebas dan bahagia, mendapatkan haknya sama seperti anak lainnya, sama seperti kami waktu kecil. Itu yang mendorong kami untuk membuat film Invisible Hopes, bukan dalam rangka menjelek-jelekkan siapa pun. Kami sebagai filmmaker melakukan apa yang kami mampu, semoga film ini dapat dipakai untuk alat raising awareness, untuk bahan diskusi supaya ada sebuah solusi yang lebih baik bagi anak-anak dan ibu hamil di dalam penjara”, ungkap Lamtiar Simorangkir, pada saat rilis terbatas dan diskusi film dokumenter Invisible Hopes pada 19 Februari lalu. Acara yang dihadiri sekitar 30 orang undangan tersebut dilakukan di studio 1 XXI Plaza Senayan yang berkapasitas 300 kursi dengan menjalankan protokol kesehatan Covid-19.
Rilis Terbatas
Rilis terbatas film ini mengundang Kementerian Hukum dan Ham RI, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komnas HAM, dan Ombudsman RI. Acara sementara ini dilakukan secara terbatas hanya kepada kalangan yang dianggap bersinggungan langsung dengan isi film. Diharapkan acara ini menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti untuk perbaikan kondisi anak-anak yang lahir di penjara, beserta ibu mereka.
“Saya melihat Mba Tiar (nama panggilan Lamtiar Simorangkir) dan teman-teman ini punya passion yang tinggi. Tidak banyak orang yang kerja profesional di film mendokumentasikan hal-hal seperti ini. Ini risikonya besar buat dia dan teman-teman tim, tapi dia ambil itu. Kesulitannya bukan hanya besar, tapi besar sekali! Tapi dia ambil itu. Duitnya gak ada, cuma punya kemauan. Nah, kemauan inilah yang kemudian kita semua tadi lihat. Film ini tanpa narasi pun sudah kelihatan apa yang mau dipotret. Substansinya sangat banyak” ujar Ninik Rahayu anggota Ombudsman RI saat diskusi setelah pemutaran.
“Film ini bisa membingkai bagaimana kondisi perempuan dan anak-anak saat ini. Perempuan hanya punya tubuh tapi tidak punya kuasa. Saya berharap pimpinan dari pemerintah yang hadir bersedia mengomunikasikan dengan pimpinan tertinggi. Mendialogkannya dengan kementerian lembaga terkait, setidaknya kepada Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mereka harus melihat film ini. Ini bagian kecil dari persoalan besar bangsa ini. Tahap berikutnya mesti mengajak menonton aparat penegak hukum kita, kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung dan BNN” lanjut Ninik.
Karya Kolaborasi
Film Invisible Hopes yang disutradarai dan diproduseri oleh Lamtiar Simorangkir merupakan hasil produksi komunitas film Lam Horas Film. Film ini digarap secara kolaboratif dan dengan pembiayaan kolaboratif juga. Menurut Lamtiar, proyek Invisible Hopes dimulai hanya dengan dua orang, dia dan seorang temannya yang berperan sebagai sinematografer. Awalnya film ini akan dibuat dengan format pendek, namun proses pembuatannya berkembang menjadi film panjang. Untuk dapat menyelesaikan proses pascaproduksi, mereka mendapatkan pendanaan (support funding) dari Kedutaan Besar Swiss dan Kedutaan Besar Norwegia.
Sementara itu Putu Elvina, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan apresiasinya kepada tim Lam Horas Film. “Selama penayangan, betul-betul menguras air mata. Betapa beratnya perjuangan seorang narapidana perempuan dan bayi mereka. Berbagai hak narapidana perempuan termasuk anak yang mereka kandung dan lahirkan itu harus kita perjuangkan. Beberapa hak mereka kalau kita lihat di film tersebut, banyak yang terampas atau tidak diperoleh dengan baik. Tentu saja dalam momen ini kami memberikan rekomendasi, mohon agar Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bisa melihat kembali upaya-upaya untuk memperbaiki kondisi mereka,” ungkap Putu.
Baca juga: Melangkah Menuju Masyarakat Inklusif Lewat Film “Sejauh Kumelangkah”
Komnas HAM yang diwakili oleh komisioner Sandrayati Moniaga menyampaikan bahwa ia merasa senang telah diundang untuk melihat film Invisible Hopes sebelum dirilis ke publik. Menurutnya film Invisible Hopes selain punya kekayaan dokumentasi, aspek sinematografinya juga baik, filmnya bisa dinikmati, ada segi keindahannya dan tidak membosankan. “Saya rasa ini satu terobosan yang menarik yang mungkin bisa didiskusikan bapak ibu di Ditjenpas dan Pak menteri tentang peran pembuat film. Bagaimana peran kamera dan orang-orang di balik kamera, merekam situasi yang sesungguhnya di lapas maupun tahanan.”
Kementerian Hukum dan HAM yang diwakili oleh Thurman Hutapea (Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi) menyatakan merasa miris melihat kondisi yang ada di dalam film. “Rutan dan lapas saat ini berlomba-lomba untuk berbenah. Ini masukan yang berharga untuk koreksi kami ke depan.”
Komitmen Bersama
Di akhir acara didapat kesimpulan dan sejumlah rekomendasi. Kesimpulan yang diambil adalah masalah ini merupakan PR bersama. Masalah ini adalah isu bangsa yang besar. Anak-anak ini harus mendapatkan hak-haknya, kepentingan terbaik anak harus didahulukan.
Sementara itu rekomendasi yang dihasilkan antara lain: Kemenkumham penting memimpin dialog serius lintas kementerian untuk membuat kebijakan pemenuhan HAM di penjara, terutama bagi perempuan dan anak. Kedua, perlu ada reformasi criminal justice system, baik dalam proses peradilan maupun pendampingan hukum. Termasuk menciptakan pola edukasi agar warga binaan mempunyai kehidupan sosial yang lebih normal. Ketiga, membuat film Invisible Hopes menjadi ruang dialog dengan aparat penegak hukum yang lain.
Acara pun ditandai dengan penandatanganan bersama poster film Invisible Hopes sebagai simbol semua lembaga terkait dan Lam Horas Film siap bekerja sama mencari solusi terbaik. Film Invisible Hopes menurut rencana akan dirilis ke publik dengan melakukan premier pada awal bulan April mendatang.

Pingback: In-Docs – Cultivating a culture of openness through Documentary Films.